Senin, 15 Juli 2013

Dilema: Jadi Dokter atau Dosen? (part1)

Bismillahirrohmaanirrohiim...
Sebenarnya dua hal di atas merupakan sesuatu yang tak pernah terfikirkan olehku, namun ternyata saat ini saya menjalani keduanya.
Nah, kemarin saya iseng melakukan survei melalui twitter dan BBM, "Manakah yg harus ditinggalkan antara dosen dan dokter?"

Inilah beberapa hasil polling twitter, kebanyakan responden adalah laki-laki:
"Tinggal kan sj dosen, lebih baik fokus ke dokter. Seiring perjalann waktu hetti akan mnjadi dosen min bwt diri sndiri n kelrga"

"Kenapa tidak keduanya? Kalo saya melihat dokter yang bukan dosen kurang update sedangkan dosen yang bukan dokter kurang klinis"

"Dijalani 22 nya kak"

"dosen aja. Lebih cocok jd dokter keknya :D"

Dan ini hasil melalui BBM, sengaja saya pilihkan responden para ibu rumah tangga (IRT) yang saat ini menggeluti dosen dan mengesampingkan profesi dokternya:
"Awalnya tidak kepikiran u jd dosen, tetapi setelah dijalani ternyata nyaman dan lebih cocok ke nurani. Memang kebanyakan org awan pasti menyuruh memilih dokter, orang tua pun memaksa untuk praktek. Tapi aku lebih nyaman jadi dosen, bs bareng suami dan anakku lebih lama.Tapi sekali lagi itu konsekuensi yg harus diterima. Toh ilmu kita kepake ngajar itu jd ilmu yg bermanfaat, salah satu amalan yg tidak pernah putus meskipun kita telah tiada."

"Jadi dosen lebih nyantai, nek jaga klinik iku terikat waktu, selain itu jadi dosen bikin awet muda."

"karena aku suka ngajarin org di jaman kuliah, maka aku memilih jadi dosen. Kalo jaga klinik semua jenisnya sudah dijalani, mulai ptt, jaga RS, klinik di rumah. Ndak suka pacuan adrenalinnya. selalu deg2an nunggu kasus yg datang. Kalo jaga RS bs dipanggil sewaktu-waktu ninggalin keluargamu. Kalo ngajar, ilmu yg sama bisa difikir pelan dan tenang. Kalo aku memilih jd dosen atau jaga praktek yg tidak terikat institusi spt buka praktek d rumah, tapi jeleknya praktek di rumah itu sama aja, pasien dtg sewaktu2, ndak profesional. Lagi asyik2 main sama anak2, sdh jelas ditulis hari libur, ttp aja datang. Ya itu memang sudah konsekuensi jd dokter, tapi kalau sdh urusan keluarga itu jadi prioritas utama. Karena pernah pasien dtg saat aku sedang menyusui anakku, ya sdh aku tinggal si anak dan dia nangis.. jadi ga tega, makanya drpd jatuhnya tidak ikhlas menolong pasien lebh baik ditutup saja."

"Ya tentu dokter yg dtinggalkan itulah makanya berhenti dr praktek. Dokter waktu kerjanya ga jelas, siang, sore, malam, ga bisa dalam keadaan lelah, kerjaannya beresiko. Sedangkan pekerjaan IRT juga waktunya ga jelas, ketika anak masih kecil ya begadang, kalau praktek pulang ke rumah bawa kuman. Tapi kalau ngajar waktu bisa di atur, jam bs disesuaikan."

Sedangkan jawaban dari teman laki-laki yang profesinya dokter:
"Aku mau istriku mengurus anak-anaknya, makanya aku ga mau punya istri dokter dek, beban ke ortunya, masa iya mereka sudah menyekolahkan mahal-mahal, kita larang anaknya untuk jadi dokter. Jadi amannya mencari yg non dokter."

"Istriku aku suruh berhenti praktek, buat apa? uang nya ga seberapa, badannya capek, kasihan, belum lagi harus ngurusin rumah dan aku. Biar aku saja yg praktek, banting tulang cari uang."

"yah suruh berhenti praktek lah, urus anak-anak, percuma ibu bapaknya dokter, berpendidikan tinggi kalau anaknya di urus dg pembantu yg SD aja ga tamat, mau jadi apa anaknya?"

Nah, kalo para pembaca (khususnya yang sedang menggeluti bidang yang sama) gimana nih? Mengalami juga dilema yang dirasakan teman saya ini? :)

-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ini hasil tulisan dari dr. Hetty dengan pengeditan seperlunya, bisa langsung dicek di TKP berikut...
http://www.sakura21saa.com/2013/03/antara-dokter-dan-dosen.html#.Ud7Vt6x34oE