Rabu, 30 Desember 2015

Mekanisme Scriptaid sebagai Inhibitor Histon Deacetylases (HDACs)

Wike Astrid Cahayani

Materi genetik membutuhkan proteksi dan pengemasan dalam menjalankan proses regulasi, seperti transkripsi, replikasi, dan perbaikan materi genetik. Pada eukariota, sebagian besar peran proteksi dan pengemasan untai DNA ini dilakukan oleh protein histon, di mana protein histon merakit untai DNA menjadi nukleosom-nukleosom. Sekumpulan nukleosom bersama dengan sejumlah protein terkait lainnya akan membentuk kromatin. Setiap nukleosom terdiri dari 147 bp DNA yang melilit di sekitar histone core yang berisi dua salinan dari setiap histon, yaitu H2A, H2B, H3, dan H4 (Luger et al., 1997).  Untuk mengaktifkan regulasi DNA yang meliputi beragam proses, protein histon akan mengalami berbagai modifikasi post-translasional, yang meliputi asetilasi, ubiquitilasi, metilasi, fosforilasi, dan sumoilasi (Shahbazian dan Grunstein, 2007).

Sekitar lima puluh tahun yang lalu, Vincent Allfrey dan koleganya menemukan bahwa asetilasi grup ε-amino dari residu lisin pada histon memiliki andil yang penting dalam ekspresi gen (Allfrey et al, 1964). Asetilasi berperan dalam menetralkan muatan positif dari residu lisin histon sehingga dapat mengendurkan konformasi kromatin dan memungkinkan akses yang lebih besar bagi protein-protein terkait untuk melakukan transkripsi. Oleh karena itu, asetilasi secara umum pada histon dikaitkan dengan terjadinya aktivasi gen. Sebaliknya, penghilangan gugus asetil dari histon dapat menginduksi terjadinya kondensasi kromatin dan represi transkripsi pada gen (Haberland et al., 2009). Hal ini kemudian ditetapkan bahwa asetilasi lisin juga terjadi di sejumlah besar protein non-histon, seperti faktor transkripsi dan protein sitoplasma, dan mempengaruhi transkripsi gen dan proses seluler lainnya (Peng dan Seto, 2011). Asetilasi lisin pada histon merupakan bentuk modifikasi reversibel yang dikendalikan oleh aktivitas antagonis dari dua jenis enzim, yaitu histon asetilase (HATs) dan histon deasetilase (HDACs) (Shahbazian dan Grunstein, 2007). HATS mengkatalisis transfer gugus asetil dari asetil KoA ke grup ε-amino dari residu lisin. Sebaliknya, HDACs meningkatkan penghilangan gugus asetil dari residu lisin yang terasetilasi dan melepaskan molekul asetat (Gambar 1) (Peng dan Seto, 2011; Shahbazian dan Grunstein, 2007).

Gambar 1. HDACs mengkatalisis pemindahan gugus asetil dari residu lisin untuk meregenerasi grup ε-amino dan melepaskan molekul asetat. (Sumber: http://ars.els-cdn.com/content/image/1-s2.0-S1574789112000750-gr1.jpg)

HDACs dapat berperan sebagai ko-represor transkripsi yang penting dalam sistem fisiologis dan patologis yang sangat bervariasi. Sampai saat ini, sudah 18 HDACs pada manusia yang telah diidentifikasi dan dikelompokkan menjadi empat kelas berdasarkan homologi dengan protein ragi (yeast), yaitu HDACs kelas I, II, III (sirtuins), dan IV. HDACs kelas I (HDAC1, 2, 3, dan 8) homolog dengan regulator transkripsi ragi RPD3, HDACs kelas II (HDAC4, 5, 6, 7, 9, dan 10) homolog dengan hda1 pada ragi, HDACs kelas III homolog dengan Sir2 (SIRT1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7), dan HDAC kelas IV yang hanya beranggotakan HDAC11 homolog dengan kelas I dan II. HDACs kelas I, II, dan IV juga disebut sebagai HDACs klasik dan  ketiganya merupakan Zn2+ enzim-dependent, sedangkan kelompok sirtuins memerlukan NAD+ sebagai kofaktor (Haberland et al., 2009).

Deasetilasi histon yang dikatalisis oleh HDACs dapat mempengaruhi transkripsi gen eukariot dengan cara menghambat jalan masuk faktor transkripsi, sehingga gen yang bertanggung jawab dalam supresi sel tumor menjadi inaktif. Oleh karena itu, inhibisi pada aktivitas HDACs merupakan strategi yang potensial dalam terapi kanker. Inhibisi HDACs oleh suatu inhibitor spesifik akan menginduksi penahanan pertumbuhan, diferensiasi, dan apoptosis pada sel kanker (Monneret, 2005).


Inhibitor HDACs merupakan kelas baru agen kemoterapi dan telah menunjukkan aktivitas antikanker terhadap jenis kanker yang beragam. Hingga saat ini telah banyak ditemukan senyawa protein yang dapat berperan sebagai inhibitor HDACs, salah satunya adalah 6-(1,3-dioxobenzo[de]isoquinolin-2-yl)-N-hydroxyhexanamide atau yang dikenal sebagai scriptaid. Scriptaid dikandidatkan sebagai salah satu inhibitor HDACs karena kemiripan strukturnya dengan salah satu kelompok inhibitor HDACs, yaitu trichostatin A (TSA) dari kelompok asam hidroksamat (Gambar 2) (Su et al., 2000). Berdasarkan penelitian lanjutan, scriptaid dilaporkan dapat menghambat aktivitas HDACs kelas I, yaitu HDAC1, HDAC3, dan HDAC8 (Hu et al., 2003).



Gambar 2. Kemiripan struktur antara TSA dengan scriptaid (Sumber: Su et al., 2000).

Mekanisme penghambatan HDACs oleh scriptaid tergambar lebih jelas dalam penelitian Lee et al. (2008) yang mengeksplorasi aktivitas scriptaid bersama 5-aza-dC dan TSA pada karsinoma kolorektal. Dalam studi ini, efek scriptaid pada pertumbuhan sel, siklus sel, apoptosis dan perubahan epigenetik diselidiki pada RKO colorectal cancer cell line. 

Pada penelitian Lee et al. (2008), scriptaid menunjukkan efek sinergis dengan 5-aza-dC dalam menghasilkan efek demetilasi dan re-ekspresi pada gen p16 yang mengalami hipermetilasi pada sel RKO. Akan tetapi, efek ini tidak akan timbul apabila scriptaid dan 5-aza-dC tidak dikombinasikan bersama-sama. Hal ini menunjukkan bahwa re-ekspresi yang penuh dari p16 membutuhkan complete reversal dari histon yang termodifikasi pada keadaan eurokromatik, di mana fungsi ini dapat dicapai dengan pengkombinasian scriptaid dan 5-aza-dC.

Asetilasi dan metilasi ekor histon pada kromatin memainkan peran penting dalam regulasi ekspresi gen. Pengaruh scriptaid pada modifikasi histon dalam penelitian Lee et al. (2008) adalah sebanding dengan TSA. Scriptaid dapat menginduksi modifikasi rantai histon yang penting dalam struktur kromatin dengan jalan meningkatkan asetil-H3-K9 dan dimetil-H3-K4 serta menurunkan dimetil-H3-K9, yang penting untuk represi gen pada promotor p16. Fakta bahwa scriptaid dapat memodifikasi histon adalah terlepas dari kegagalan scriptaid (tanpa dikombinasikan dengan 5-aza-dC) dalam melakukan demetilasi dan re-ekspresi pada gen p16 yang mengalami hipermetilasi. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peran yang lebih dominan pada metilasi DNA atas aktivitas histon deasetilase untuk pemeliharaan inaktivasi gen (gene silencing) dalam hubungannya dengan hipermetilasi pada CpG islands di mamalia (Cameron et al., 1999).

Analisis siklus sel pada sel RKO menunjukkan bahwa pemberian scriptaid dengan konsentrasi 0,5 dan 1,0 µM dapat menginduksi G1 arrest dan pemberian scriptaid dengan konsentrasi 2,0 µM dapat menginduksi G1 arrest dan G2/M arrest (Lee et al., 2008). Temuan ini konsisten dengan penelitian lain yang menunjukkan bahwa pemberian inhibitor suberoylanilide hydroxamic acid (SAHA) dengan konsentrasi 2,5 dan 5,0 µM dapat menginduksi G1 arrest pada sel T24 dan pemberian SAHA dengan konsentrasi yang lebih tinggi dapat menginduksi G1 dan G2 arrest (Richon et al., 2000). Dengan demikian, pengamatan tersebut menunjukkan bahwa penghentian siklus sel bergantung pada konsentrasi scriptaid dan inhibitor HDAC lain secara umum.

Induksi penghentian siklus sel oleh inhibitor HDAC sebagian besar terkait dengan penghambatan transkripsi siklin A dan siklin D, atau dengan aktivasi transkripsi dari p21WAF1/CIP1, p27KIP1 dan GADD45α (Lee et al., 2008). Namun, tingkat ekspresi protein-protein tersebut tidak berubah secara signifikan setelah pemberian scriptaid. Sebaliknya, adanya peningkatan ekspresi protein p14 dan GADD45G dan penurunan ekspresi siklin B2 dan siklin E2 setelah pemberian scriptaid menunjukkan bahwa mekanisme yang mendasari penghentian siklus sel dan inhibisi pertumbuhan sel oleh scriptaid mungkin berbeda dengan mekanisme inhibitor HDAC lainnya. 

Di samping menghentikan siklus sel, Lee et al. (2008) juga menemukan bahwa scriptaid dapat menghambat pertumbuhan sel. Pemberian scriptaid dengan konsentrasi 1,0 µM menghambat pertumbuhan sel RKO, di mana tidak ada efek sinergis yang timbul jika scriptaid dikombinasikan dengan 5-aza-dC. Sedikit berbeda dengan penelitian Keen et al. (2003) yang menemukan bahwa scriptaid yang dikombinasikan dengan 5-aza-2'-deoxycytidine (5-aza-dC) dapat meningkatkan ekspresi estrogen receptor alpha yang dapat menekan pertumbuhan sel kanker payudara.

Terkait aspek apoptosis, dalam penelitian Lee et al. (2008) diketahui bahwa scriptaid tidak menginduksi terjadinya apoptosis pada sel RKO, karena hasil perbandingan apoptosis pada kontrol dengan sel yang diintervensi dengan scriptaid tidak menunjukkan perbedaan statistik secara bermakna. Hal ini berbeda dari penelitian yang dilakukan oleh Sharma et al. (2010), di mana mereka menemukan bahwa scriptaid menginduksi terjadinya apoptosis pada sel glioma melalui peningkatan aktivasi Jun N-terminal kinase (JNK). Scriptaid juga meningkatkan ekspresi p21 dan p27 yang terlibat dalam regulasi siklus sel, serta γH2AX yang berhubungan dengan respon kerusakan DNA pada jalur JNK-dependent. Scriptaid juga dapat menurunkan aktivitas telomerase pada jalur JNK-independent pada sel glioma.

Kesimpulannya, scriptaid merupakan inhibitor HDACs yang berpotensi dalam menghambat pertumbuhan, menghentikan siklus sel, modifikasi histon, dan menginduksi terjadinya apoptosis pada sel kanker (sel glioma). Mekanisme yang mendasari peran scriptaid sebagai inhibitor HDACs memiliki kemungkinan yang berbeda dengan mekanisme yang berlaku pada inhibitor HDACs secara umum.

Referensi:
Allfrey V.G., Faulkner R., Mirsky A.E.. 1964. Acetylation and methylation of histones and their possible role in the regulation of RNA synthesis. Proc Natl Acad Sci U S A. 51: 786–794.
Cameron E.E., Bachman K.E., Myohanen S., Herman J.G. dan Baylin S.B. 1999. Synergy of demethylation and histone deacetylase inhibition in the re-expression of genes silenced in cancer. Nat Genet. 21: 103-107.
Haberland M., Montgomery R.L., Olson E.N. 2009. The many roles of histone deacetylases in development and physiology: implications for disease and therapy. Nat Rev Genet. 10: 32–42.
Hu E., Dul E., Sung C.M., Chen Z., Kirkpatrick R., Zhang G.F., et al. 2003. Identification of novel isoform-selective inhibitors within class I histone deacetylases. J Pharmacol Exp Ther.  307(2): 720-728.
Keen J.C., Yan L., Mack K.M., Pettit C., Smith D., Sharma D., Davidson N.E. 2003. A novel histone deacetylase inhibitor, scriptaid, enhances expression of functional estrogen receptor alpha (ER) in ER negative human breast cancer cells in combination with 5-aza 2'-deoxycytidine. Breast Cancer Res Treat. 81(3): 177-186.
Luger K., Mader A.W., Richmond R.K., Sargent D.F., Richmond TJ. 1997. Crystal structure of the nucleosome core particle at 2.8 A resolution. Nature. 389:251–260.
Lee E.J., Lee B.B., Kim S.J., Park Y.D., Park J., Kim D.H. 2008. Histone deacetylase inhibitor scriptaid induces cell cycle arrest and epigenetic change in colon cancer cells. Int J Oncol. 33: 767-776.
Monneret C. 2005. Histone deacetylase inhibitors. Eur J Med Chem. 40 (1): 1-13.
Peng L. dan Seto E. 2011. Deacetylation of nonhistone proteins by HDACs and the implications in cancer. Handb Exp Pharmacol. 206: 39–56.
Richon V.M., Sandhoff T.W., Rifkind R.A. dan Marks P.A. 2000. Histone deacetylase inhibitor selectively induces p21WAF1 expression and gene-associated histone acetylation. Proc Natl Acad Sci USA. 97: 10014-10019.
Shahbazian dan Grunstein, 2007. Functions of Site-Specific Histone Acetylation and Deacetylation. Annu Rev Biochem. 76:75–100.
Sharma V, Koul N, Joseph C, Dixit D, Ghosh S, Sen E. 2010. HDAC inhibitor, scriptaid, induces glioma cell apoptosis through JNK activation and inhibits telomerase activity. J Cell Mol Med. 14(8): 2151-2161.
Su G.H., Sohn T.A., Ryu B., Kern S.E. 2000. A novel histone deacetylase inhibitor identified by high-throughput transcriptional screening of a compound library. Cancer Res. 60(12): 3137-3142.

Senin, 28 Desember 2015

Peran N-linked Glycosylation pada Modifikasi Post-Translasi (Post Translational Modification [PTM]) Protein Toll-Like Receptor 4 (TLR 4)

Wike Astrid Cahayani

Protein Toll-Like Receptor 4 (TLR 4) adalah salah satu anggota keluarga protein TLR pada manusia yang disandi oleh gen TLR4 yang terletak pada kromosom 9q33.1.1 Protein TLR 4 merupakan protein membran yang banyak terdapat pada plasenta, lien, dan sel leukosit. Bersama dengan protein CD14 dan protein MD-2, TLR 4 membentuk reseptor lipopolisakarida (LPS), berupa kompleks multi-protein, yang dapat mendeteksi LPS bakteri Gram-negatif.2 Adanya pengikatan LPS dengan kompleks multi-protein tersebut akan mengaktifkan dua jalur transduksi sinyal intraseluler sekaligus. Jalur pertama yang melibatkan protein adaptor TIRAP dan MyD88 akan mengaktifkan NF-kappa-B dan menginduksi terbentuknya sitokin proinflamasi.2,3 Jalur kedua yang dimediasi oleh protein adaptor TRAM dan TRIF akan mengaktifkan produksi IFN tipe I IRF-3-dependent dan meningkatkan produksi molekul kostimulator.3 Dengan demikian, kompleks TLR 4/MD-2/CD14 berperan penting dalam mengaktifkan respon imun alami dan sebagai umpan awal terjadinya respon imun adaptif.

Agar dapat menjalankan fungsinya sebagai reseptor terhadap LPS, protein TLR 4 mengalami tahapan modifikasi post-translasi berupa N-linked glycosylation. N-linked glycosylation merupakan penambahan oligosakarida pada atom nitrogen, dan biasanya pada residu Asparagin (Asn). Pada TLR 4, N-linked glycosylation yang terjadi pada Asn-526 dan Asn-575 berperan penting dalam memodulasi ekspresi TLR 4 di permukaan membran sehingga dapat berfungsi sebagai reseptor LPS. 4,5,6 Proses N-linked glycosylation ini terjadi di retikulum endoplasma kasar (RE kasar) dan dilanjutkan di apparatus Golgi. Setelah mengalami maturasi di apparatus Golgi, TLR 4 kemudian ditransfer ke membran sel dan berfungsi sebagai protein membran (reseptor LPS).4

Pentingnya peran N-linked glycosylation terhadap TLR 4 telah dibuktikan melalui sejumlah penelitian. Salah satunya, penelitian da Silva Correia dan Ulevitch (2002) yang mendemonstrasikan mutasi gen TLR4 pada human embryonic kidney 293 cell line melalui metode transfeksi liposom. Mutasi tersebut akan menghasilkan protein TLR 4 mutan. Mutasi dikonstruksikan di sembilan tempat N-linked glycosylation pada protein TLR 4 dengan mengganti residu asparagin dengan residu alanin (Ala), yaitu pada posisi Asn-35, Asn-173, Asn-205, Asn-282, Asn-309, Asn-497, Asn-526, Asn-575, dan Asn-624. Dari kesembilan posisi mutasi tersebut, dilakukan konstruksi secara progresif sehingga dihasilkan protein TLR 4 mutan seperti yang tercantum pada tabel 1.

Tabel 1 menunjukkan bahwa mutasi tunggal pada TLR 4 tidak mengubah fungsi maupun ekspresi dari TLR 4 untuk merespon LPS, kecuali mutasi yang melibatkan Asn-526 dan Asn-575. Sebaliknya, mutasi progresif yang terjadi pada beberapa posisi residu asparagin akan mengurangi fungsi TLR 4 dalam merespon LPS secara signifikan, demikian pula ekspresinya di permukaan membran. Sebagai contoh, mutasi pada mut 4.1 dan mut 5 akan menyebabkan TLR 4 sama sekali tidak merespon adanya LPS, meskipun terekspresi di permukaan membran sel. Sedangkan mutasi tunggal maupun progresif yang terjadi pada Asn-526 dan Asn-575, akan menyebabkan protein TLR 4 tidak berfungsi dan tidak terekspresi di permukaan membran sel. Hal ini disebabkan TLR 4 tidak dapat ditranspor dari apparatus Golgi ke membran sel sehingga tidak terjadi respon terhadap LPS.4

Tabel 1. N-linked glycosylation pada protein TLR 4 dibutuhkan untuk ekspresi TLR 4 di permukaan sel dan pengikatan dengan LPS bakteri (TLR4 wt = TLR4 wild type).5

Dari hasil penelitian da Silva Correia dan Ulevitch (2002) tersebut dapat disimpulkan bahwa N-linked glycosylation pada TLR 4, terutama pada posisi Asn-526 dan Asn-575, tidak hanya berperan penting dalam mengatur protein agar berfungsi optimal sebagaimana tugas spesifiknya, tetapi juga berperan dalam mengatur transpor protein dari kompartemen intraseluler (RE kasar dan apparatus Golgi) ke permukaan membran sel.

Selain didukung oleh N-linked glycosylation, fungsi dan ekspresi TLR 4 di permukaan membran sel juga terkait dengan protein lain yang turut berperan sebagai kompleks reseptor LPS. Dalam hal ini, protein MD-2 yang mengandalkan N-linked glycosylation pada modifikasi post-translasinya, berperan dalam melengkapi fungsi TLR 4 sebagai reseptor LPS.4,5,6 Penelitian yang menjelaskan keterkaitan protein MD-2 dengan TLR 4 menunjukkan bahwa mutasi pada tempat terjadinya N-linked glycosylation pada protein MD-2 (posisi Asn-26 dan Asn-114), dapat mempengaruhi fungsi TLR 4 dalam menginisiasi terjadinya transduksi sinyal intraseluler sebagai respon terhadap LPS. Mutasi tersebut memang tidak mempengaruhi ekspresi MD-2 di permukaan membran maupun asosiasinya dengan protein TLR 4. Walaupun demikian, protein MD-2 mutan tidak mampu melengkapi fungsi TLR 4 dalam mengaktifkan NF-kappaB sekalipun terjadi pengikatan dengan LPS. Hal ini mengakibatkan tidak tercapainya transduksi sinyal intraseluler.5

Selain mempengaruhi fungsi optimal dari protein TLR 4, protein MD-2 juga berperan dalam meregulasi ekspresi protein TLR 4 di permukaan membran sel. Diketahui bahwa protein MD-2 terikat pada permukaan konkaf N-terminal dan domain sentral pada protein TLR 4. Regio Glu24-Lys47 pada N-terminal TLR4 bertanggung jawab pada pengikatan MD-2 dengan TLR 4. Adanya mutasi pada regio ini, yaitu residu sistein dimutasi menjadi residu alanin, menyebabkan terbentuknya protein TLR 4 mutan (TLR4C29A, TLR4C40A, dan TLR4C29A,C40A) yang tidak dapat membentuk kompleks reseptor dengan MD-2 dan tidak dapat ditranspor ke permukaan membran. Adapun mutasi yang terjadi selain di regio tersebut, yaitu Cys-88 menjadi Ala-88 (TLR4C88A), juga menunjukkan hasil serupa. Kegagalan dalam membentuk kompleks reseptor bersama MD-2 dan kegagalan ekspresi di permukaan membran ini diduga terkait terjadinya perubahan konformasional pada protein TLR 4, sebagai akibat adanya mutasi residu sistein menjadi residu alanin. Oleh karena itu, timbul asumsi tambahan bahwa MD-2 memiliki kemampuan seperti chaperon, di mana MD-2 seolah dapat menentukan apakah TLR 4 dapat terekspresi di membran atau tidak. Akan tetapi, mekanisme lebih jelas mengenai fenomena tersebut masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.6
Referensi:
  1. Rock F.L., Hardiman G., Timans J.C., Kastelein R.A., and Bazan J.F. 1998. A family of human receptors structurally related to Drosophila Toll. Proc Natl Acad Sci U S A. 95 (2): 588–93.
  2. O00206 (TLR4_HUMAN). http://www.uniprot.org/uniprot/O00206. Last modified September 18, 2013. Version 142. (accessed October 9th, 2013).
  3. Shibata T., Motoi Y., Tanimura N., Yamakawa N., Akashi-Takamura S., Miyake K. 2011. Intracellular TLR4/MD-2 in macrophages senses Gram-negative bacteria and induces a unique set of LPS-dependent genes. Int Immunol. 23(8): 503-510.
  4. da Silva Correia J. and Ulevitch R.J. 2002. MD-2 and TLR4 N-Linked Glycosylations Are Important for a Functional Lipopolysaccharide Receptor. J. Biol. Chem. 277: 1845-1854.
  5. Ohnishi T., Muroi M., and Tanamoto K. 2001. N-Linked Glycosylations at Asn26 and Asn114 of Human MD-2 Are Required for Toll-Like Receptor 4-Mediated Activation of NF-κB by Lipopolysaccharide. J Immunol. 167: 3354-3359.
  6. Nishitani C., Takahashi M., Mitsuzawa H., Shimizu T., Ariki S., Matsushima N., et al. 2009. Mutational analysis of Cys88 of Toll-like receptor 4 highlights the critical role of MD-2 in cell surface receptor expression. Int. Immunol. 21(8): 925–934.

Sabtu, 26 Desember 2015

Mitos, Hoax, dan Fakta Seputar Imunisasi (III)

Alhamdulillah, setelah menuntaskan bahasan imunisasi dari kacamata medis dengan tinjauan berbasis evidence-based medicine (EBM) melalui dua artikel sebelumnya yang ditulis oleh dr. Julian Sunan, kali ini saya akan mengutip tulisan dari teman sejawat lain (terima kasih kepada dr. Raehanul Bahraen) yang membahas imunisasi dari tinjauan syari'at Islam. Sesuai judulnya, semoga bahasan artikel berikut dapat memberikan penjelasan yang tuntas dan menentramkan bagi pembaca sekalian. Wallahu'alam bis shawwab.


Permasalahan Imunisasi dan Vaksinasi Tuntas -Insya Allah-


Tuntas bagi kami pribadi, saat ini dan “mungkin” sementara karena bisa jadi suatu saat kami mendapat tambahan informasi baru. Kami hanya ingin membagi kelegaan ini setalah berlama-lama berada dalam kebingungan pro-kontra imunisasi. Pro-kontra yang membawa-bawa nama syari’at. Apalagi kami sering mendapat pertanyaan karena kami pribadi berlatar belakang pendidikan kedokteran. Pro-kontra yang membawa-bawa nama syari’at inilah yang mengetuk hati kami untuk menelitinya lebih dalam. Karena prinsip seorang muslim adalah apa yang agama syari’atkan mengenai hal ini dan hal itu.
Sebagai seorang muslim, semua jalan keluar telah diberikan oleh agama islam. Oleh karena itu kami berupaya kembali kepada Allah dan rasul-Nya.

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya),” [An-Nisa-59]

Sebelumnya kami ingin menyampaikan bahwa imunisasi dan vaksinasi adalah suatu hal yang berbeda dimana sering terjadi kerancuan.
-Imunisasi: pemindahan atau transfer antibodi [bahasa awam: daya tahan tubuh] secara pasif. Antibodi diperoleh dari komponen plasma donor yang sudah sembuh dari penyakit tertentu.
-Vaksinasi: pemberian vaksin [antigen dari virus/bakteri] yang dapat merangsang imunitas [antibodi] dari sistem imun di dalam tubuh. Semacam memberi “infeksi ringan”.
[Pedoman Imunisasi di Indonesia hal. 7, cetakan ketiga, 2008, penerbit Depkes]

Pro-kontra imunisasi dan vaksin
Jika membaca yang pro, kita ada kecendrungan hati mendukung. Kemudian jika membaca yang kontra, bisa berubah lagi. Berikut kami sajikan pendapat dari masing-masing pihak dari informasi yang kami kumpulkan.

Pendapat yang kontra:
  • Vaksin haram karena menggunakan media ginjal kera, babi, aborsi bayi, darah orang yang tertular penyakit infeksi yang notabene pengguna alkohol, obat bius, dan lain-lain. Ini semua haram dipakai secara syari’at.
  • Efek samping yang membahayakan karena mengandung mercuri, thimerosal, aluminium, benzetonium klorida, dan zat-zat berbahaya lainnya yg akan memicu autisme, cacat otak, dan lain-lain.
  • Lebih banyak bahayanya daripada manfaatnya, banyak efek sampingnya.
  • Kekebalan tubuh sebenarnya sudah ada pada setiap orang. Sekarang tinggal bagaimana menjaganya dan bergaya hidup sehat.
  • Konspirasi dan akal-akalan negara barat untuk memperbodoh dan meracuni negara berkembang dan negara muslim dengan menghancurkan generasi muda mereka.
  • Bisnis besar di balik program imunisasi bagi mereka yang berkepentingan. Mengambil uang orang-orang muslim.
  • Menyingkirkan metode pengobatan dan pencegahan dari negara-negara berkembang dan negara muslim seperti minum madu, minyak zaitun, kurma, dan habbatussauda.
  • Adanya ilmuwan yang menentang teori imunisasi dan vaksinasi.
  • Adanya beberapa laporan bahwa anak mereka yang tidak di-imunisasi masih tetap sehat, dan justru lebih sehat dari anak yang di-imunisasi.
Pendapat yang pro:
  • Mencegah lebih baik daripada mengobati. Karena telah banyak kasus ibu hamil membawa virus Toksoplasma, Rubella, Hepatitis B yang membahayakan ibu dan janin. Bahkan bisa menyebabkan bayi baru lahir langsung meninggal. Dan bisa dicegah dengan vaksin.
  • Vaksinasi penting dilakukan untuk mencegah penyakit infeksi berkembang menjadi wabah seperti kolera, difteri, dan polio. Apalagi saat ini berkembang virus flu burung yg telah mewabah. Hal ini menimbulkam keresahan bagi petugas kesahatan yang menangani. Jika tidak ada, mereka tidak akan mau dekat-dekat. Juga meresahkan masyarakat sekitar.
  • Walaupun kekebalan tubuh sudah ada, akan tetapi kita hidup di negara berkembang yang notabene standar kesehatan lingkungan masih rendah. Apalagi pola hidup di zaman modern. Belum lagi kita tidak bisa menjaga gaya hidup sehat. Maka untuk antisipasi terpapar penyakit infeksi, perlu dilakukan vaksinasi.
  • Efek samping yang membahayakan bisa kita minimalisasi dengan tanggap terhadap kondisi ketika hendak imunisasi dan lebih banyak cari tahu jenis-jenis merk vaksin serta jadwal yang benar sesuai kondisi setiap orang.
  • Jangan hanya percaya isu-isu tidak jelas dan tidak ilmiah. Contohnya vaksinasi MMR menyebabkan autis. Padahal hasil penelitian lain yang lebih tersistem dan dengan metodologi yang benar, kasus autis itu ternyata banyak penyebabnya. Penyebab autis itu multifaktor (banyak faktor yang berpengaruh) dan penyebab utamanya masih harus diteliti.
  • Jika ini memang konspirasi atau akal-akalan negara barat, mereka pun terjadi pro-kontra juga. Terutama vaksin MMR. Disana juga sempat ribut dan akhirnya diberi kebebasan memilih. Sampai sekarang negara barat juga tetap memberlakukan vaksin sesuai dengan kondisi lingkungan dan masyarakatnya.
  • Mengapa beberapa negara barat ada yang tidak lagi menggunakan vaksinasi tertentu atau tidak sama sekali? Karena standar kesehatan mereka sudah lebih tinggi, lingkungan bersih, epidemik (wabah) penyakit infeksi sudah diberantas, kesadaran dan pendidikan hidup sehatnya tinggi. Mereka sudah mengkonsumsi sayuran organik. Bandingkan dengan negara berkembang. Sayuran dan buah penuh dengan pestisida jika tidak bersih dicuci. Makanan dengan zat pengawet, pewarna, pemanis buatan, mie instant, dan lain-lain. Dan perlu diketahui jika kita mau masuk ke beberapa negara maju, kita wajib divaksin dengan vaksin jenis tertentu. Karena mereka juga tidak ingin mendapatkan kiriman penyakit dari negara kita.
  • Ada beberapa fatwa halal dan bolehnya imunisasi. Ada juga sanggahan bahwa vaksin halal karena hanya sekedar katalisator dan tidak menjadi bagian vaksinContohnya Fatwa MUI yang menyatakan halal. Dan jika memang benar haram, maka tetap diperbolehkan karena mengingat keadaan darurat, daripada penyakit infeksi mewabah di negara kita. Harus segera dicegah karena sudah banyak yang terjangkit polio, Hepatitis B, dan TBC.
Terlepas dari itu semua, kami tidak bisa memastikan dan mengklaim 100% pihak mana yang benar dan pihak mana yang salah. Kami hanya ingin membagi kelegaan hati kami berkaitan dengan syari’at. Berikut kami sajikan bagaimana proses dari kebingungan kami menuju sebuah kelegaan karena kami hanya ingin sekedar berbagi.

Kewajiban taat terhadap pemerintah/waliyul ‘amr
Hal ini berkaitan dengan program “wajib” pemerintah berkaitan dengan imunisasi -yang kita kenal dengan PPI [Program Pengembangan Imunisasi]- di mana ada lima vaksin yang menjadi imunisasi “wajib”.
Sudah menjadi aqidah ahlus sunnah wal jamaah bahwa kita wajib mentaati pemerintah. Berikut kami sampaikan dalil-dalil yang ringkas saja.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” [An Nisa’: 59]

Kita wajib taat kepada pemerintah baik dalam hal yang sesuai dengan syari’at maupun yang mubah, misalnya taat terhadap lampu lalu lintas dan aturan di jalan raya. Jika tidak, maka kita berdosa. Bahkan jika pemerintah melakukan sesuatu yang mendzalimi kita, kita harus bersabar. Kita tidak boleh melawan pemerintah dengan melakukan demonstrasi apalagi melakukan kudeta dan pemberontakan karena lebih besar bahayanya dan juga akan menumpahkan darah sesama kaum muslimin.

Dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhiallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى
وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ ».
قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ
قَالَ « تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia.“

Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”

Beliau bersabda, ”Dengarlah dan taat kepada pemimpinmu, walaupun mereka memukul punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.” [HR. Muslim no. 1847]

Kita baru diperbolehkan untuk tidak taat jika melihat pemerintah berada pada kekufuran yang nyata, jelas, dan bukan kekufuran yang dicari-cari dan dibuat-buat.

سمعوا وأطيعوا، إلا أن تروا كفراً بواحاً عندكم عليه من الله برهان
“Mendengar dan taatlah kalian (kepada pemerintah kalian), kecuali bila kalian melihat kekafiran yang nyata dan kalian memiliki buktinya di hadapan Allah.[HR. Bukhari dan Muslim]

Jika ada yang mengatakan bahwa pemerintah sekarang kafir atau bukan negara Islam sehingga tidak perlu taat, maka kami sarankan untuk banyak menelaah kitab-kitab aqidah para ulama. Karena bisa jadi tuduhan itu kembali kepada yang menuduh. Kemudian perlu kita bedakan antara pemerintah yang tidak bisa menjalankan hukum syariat dan masih menganggap baik hukum Islam. Dan di antara bukti negeri tersebut masih muslim adalah masih membebaskan dijalankan syari’at-syari’at yang bersifat jama’i seperti adzan, shalat berjama’ah dan shalat ‘ied.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
“Dan barangsiapa yang memanggil seseorang dengan panggilan “kafir” atau “musuh Allah” padahal dia tidak kafir, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh.” [HR. Bukhari no. 3317, 5698, dan Muslim no. 214.]

Inilah yang agak mengusik hati kami, yaitu jika kita tidak mengikuti program imunisasi maka akan menyebabkan berdosa, karena pemerintah mengatakan “wajib”.
Walaupun hal ini bisa dibantah bagi mereka yang kontra, karena bahannya yang haram dan bisa merusak tubuh. Sehingga dalam hal ini pemerintah tidak perlu ditaati. Karena kita dilarang merusak tubuh kita sendiri.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” [Al-Baqarah: 195]

Sesuai dengan kaidah dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” [HR. Bukhari no. 7257]

Namun, kami berusaha mencari-cari lagi apa yang dimaksud dengan “wajib” oleh pemerintah agar lebih menentramkan dan keluar dari perbedaan pendapat.

Wajib imunisasi bukan wajib secara mutlak
Secara ringkas, wallahu a’lam, yang kami dapatkan bahwa pernyataan “wajib” pemerintah di sini bukanlah wajib secara mutlak dalam pelaksanaannya. Sebagaimana wajib, ada yang wajib ‘ain dan wajib kifayah. wajib Karena ada beberapa alasan.
  1. Memang ada UU no. 4 tahun 1894 tentang wabah penyakit menular dan secara tidak langsung imunisasi masuk di sini karena salah satu peran imunisasi adalah memberantas wabah. [Bisa dilihat di: : http://medbook.or.id/news/other/170-uu-no-4-tahun-1984 Ancaman bagi yang tidak mendukungnya, bisa dihukum penjara dan denda.] Akan tetapi, pemerintah juga masih kurang konsisten dalam menerapkan hukuman ini. Bisa dilihat pernyataan salah satu pemimpin kita.Kita tidak bisa memberikan sanksi hukuman, tetapi kita hanya bisa menghimbau kepada aparat, ibu-ibu, LSM, majelis taklim, ketua RT, dan lurah, agar menggerakkan warganya ke pos-pos imunisasi. Mudah-mudahan Jakarta bebas polio,,” [sumber: http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/05/tgl/31/time/115902/idnews/371768/idkanal/10] Walaupun sumber tersebut tahun 2005, tetapi ini menunjukkan setidaknya pemerintah pernah tidak konsisten.
  2. Belum ada peraturan pemerintah atau undang-undang khusus yang mengatur secara jelas, tegas, dan shorih tentang kewajiban imunisasi, hukuman, serta kejelasan penerapan hukuman.
  3. Kalaupun mewajibkan lima imunisasi termasuk polio, maka bagaimana dengan daerah yang terpencil, daerah yang tidak mendapatkan pasokan imunisasi seperti beberapa daerah di Papua? Apakah mereka dipenjara semua? Atau didenda semua? Haruskah mereka mencari-cari ke daerah yang ada imunisasi dan vaksin? Bagaimana dengan yang tidak mampu membayar imunisasi? Karena pemerintah belum menggratiskan secara menyeluruh imunisasi. Walaupun ada yang murah, tetapi tetap saja ada penduduk yang untuk makan sesuap nasi saja sulit. Apakah orang miskin-papa seperti mereka harus dipenjara atau didenda karena tidak imunisasi?
  4. Sampai sekarang, wallahu a’lam, kami belum pernah mendengar ada kasus orang yang dihukum penjara atau denda hanya karena anaknya belum atau tidak diimunisasi.
  5. Cukup banyak mereka yang kontra imunisasi dan vaksin baik individu, LSM, atau organisai tertentu mengeluarkan pendapat menolak imunisasi padahal ini sangat bertentangan dengan pemerintah. Bahkan mereka menghimbau bahkan memprovokasi agar tidak melakukan imunisasi. Tetapi, wallahu a’lam, kami tidak melihat tindak tegas pemerintah terhadap mereka.
Atau kita bisa menganalogikan dengan program “WAJIB belajar sembilan tahun”. Maka semua orang tahu bahwa “wajib “ di sini tidak bermakna wajib secara mutlak.

Maka kesimpulan yang kami ambil:

Imunisasi dan vaksin mubah, silahkan jika ingin melakukan imunisasi jika sesuai dengan keyakinan. Silahkan juga jika menolak imunisasi sesuai dengan keyakinan dan hal ini tidak berdosa secara syari’at.

Silahkan sesuai keyakinan masing-masing. Yang terpenting kita jangan berpecah-belah hanya karena permasalahan ini dan saling menyalahkan.
Berikut kami sajikan fatwa tentang bolehnya imunisasi dan vaksin serta menunjukkan bahwa semacam imunisasi sudah ada dalam syari’at. Atau yang dikenal sekarang dengan imunisasi syari’at.

Ketika Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya tentang hal ini,

ما هو الحكم في التداوي قبل وقوع الداء كالتطعيم؟
“Apakah hukum berobat dengan imunisasi sebelum tertimpa musibah?”

Beliau menjawab,
لا بأس بالتداوي إذا خشي وقوع الداء لوجود وباء أو أسباب أخرى يخشى
من وقوع الداء بسببها فلا بأس بتعاطي الدواء لدفع البلاء الذي يخشى منه
لقول النبي صلى الله عليه وسلم في الحديث الصحيح:
«من تصبح بسبع تمرات من تمر المدينة لم يضره سحر ولا سم (1) »
وهذا من باب دفع البلاء قبل وقوعه فهكذا إذا خشي من مرض وطعم ضد الوباء الواقع في البلد
أو في أي مكان لا بأس بذلك من باب الدفاع، كما يعالج المرض النازل، يعالج بالدواء المرض الذي يخشى منه.

La ba’sa (tidak masalah) berobat dengan cara seperti itu jika dikhawatirkan tertimpa penyakit karena adanya wabah atau sebab-sebab lainnya. Dan tidak masalah menggunakan obat untuk menolak atau menghindari wabah yang dikhawatirkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam hadits shahih (yang artinya),“Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah pada pagi hari, ia tidak akan terkena pengaruh buruk sihir atau racun”.

Ini termasuk tindakan menghindari penyakit sebelum terjadi. Demikian juga jika dikhawatirkan timbulnya suatu penyakit dan dilakukan immunisasi untuk melawan penyakit yang muncul di suatu tempat atau di mana saja, maka hal itu tidak masalah, karena hal itu termasuk tindakan pencegahan. Sebagaimana penyakit yang datang diobati, demikian juga penyakit yang dikhawatirkan kemunculannya.
[sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/238]

Majelis Ulama Eropa untuk Fatwa dan Penelitian telah memberikan jawaban untuk masalah vaksin yang digunakan dalam vaksinasi anak terhadap polio. Dalam masalah tersebut, Majelis Ulama Eropa memutuskan dua hal:

Pertama:
Penggunaan obat semacam itu ada manfaatnya dari segi medis. Obat semacam itu dapat melindungi anak dan mencegah mereka dari kelumpuhan dengan izin Allah. Dan obat semacam ini (dari enzim babi) belum ada gantinya hingga saat ini. Dengan menimbang hal ini, maka penggunaan obat semacam itu dalam rangka berobat dan pencegahan dibolehkan. Hal ini dengan alasan karena mencegah bahaya (penyakit) yang lebih parah jika tidak mengkonsumsinya. Dalam bab fikih, masalah ini ada sisi kelonggaran yaitu tidak mengapa menggunakan yang najis (jika memang cairan tersebut dinilai najis). Namun sebenarnya cairan najis tersebut telah mengalami istihlak (melebur) karena bercampur dengan zat suci yang berjumlah banyak. Begitu pula masalah ini masuk dalam hal darurat dan begitu primer yang dibutuhkan untuk menghilangkan bahaya. Dan di antara tujuan syari’at adalah menggapai maslahat dan manfaat serta menghilangkan mafsadat dan bahaya.

Kedua:
Majelis merekomendasikan pada para imam dan pejabat yang berwenang hendaklah posisi mereka tidak bersikap keras dalam perkara ijtihadiyah ini yang nampak ada maslahat bagi anak-anak kaum muslimin selama tidak bertentangan dengan dalil yang definitif (qoth’i). [Disarikan dari http://www.islamfeqh.com/Forums.aspx?g=posts&t=203]
Perlu diketahui juga bahwa di Saudi Arabia sendiri untuk pendaftaran haji melalui hamlah (travel) diwajibkan bagi setiap penduduk asli maupun pendatang untuk memenuhi syarat tath’im (vaksinasi) karena banyaknya wabah yang tersebar saat haji nantinya. Syarat inilah yang harus dipenuhi sebelum calon haji dari Saudi mendapatkan tashrih atau izin berhaji yang keluar lima tahun sekali.

Jangan meyebarluaskan penolakan imunisasi!!!
Merupakan tindakan yang kurang bijak bagi mereka yang menolak imunisasi, menyebarkan keyakinan mereka secara luas di media-media, memprovokasi agar menolak keras imunisasi dan vaksin, bahkan menjelek-jelekkan pemerintah. Sehingga membuat keresahan dimasyarakat. Karena bertentangan dengan pemerintah yang membuat dan mendukung program imunisasi.

Hendaknya ia menerapkan penolakan secara sembunyi-sembunyi. Sebagaimana kasus jika seseorang melihat hilal Ramadhan dengan jelas dan sangat yakin, kemudian persaksiannya ditolak oleh pemerintah. Pemerintah belum mengumumkan besok puasa, maka hendaknya ia puasa sembunyi-sembunyi besok harinya dan jangan membuat keresahan di masyarakat dengan mengumumkan dan menyebarluaskan persaksiannya akan hilal, padahal sudah ditolak oleh pemerintah. Karena hal ini akan membuat perpecahan dan keresahan di masyarakat.

Islam mengajarkan kita agar tidak langsung menyebarluaskan setiap berita atau isu ke masyarakat secara umum. Hendaklah kita jangan mudah termakan berita yang kurang jelas atau isu murahan kemudian ikut-kutan menyebarkannya padahal ilmu kita terbatas mengenai hal tersebut. Hendaklah kita menyerahkan kepada kepada ahli dan tokoh yang berwenang untuk menindak lanjuti, meneliti, mengkaji, dan menelaah berita atau isu tersebut. Kemudian merekalah yang lebih mengetahui dan mempertimbangkan apakah berita ini perlu diekspos atau disembunyikan.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَإِذَا جَاءهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُواْ بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلاَ فَضْلُ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلاَّ قَلِيلاً
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” [An-Nisa: 83]

Syaikh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’diy rahimahullah menafsirkan ayat ini,

هذا تأديب من الله لعباده عن فعلهم هذا غير اللائق.
وأنه ينبغي لهم إذا جاءهم أمر من الأمور المهمة والمصالح العامة ما يتعلق بالأمن وسرور المؤمنين،
أو بالخوف الذي فيه مصيبة عليهم أن يتثبتوا ولا يستعجلوا بإشاعة ذلك الخبر،
بل يردونه إلى الرسول وإلى أولي الأمر منهم، أهلِ الرأي والعلم والنصح والعقل والرزانة،
الذين يعرفون الأمور ويعرفون المصالح وضدها. فإن رأوا في إذاعته مصلحة
ونشاطا للمؤمنين وسرورا لهم وتحرزا من أعدائهم فعلوا ذلك.
وإن رأوا أنه ليس فيه مصلحة أو فيه مصلحة ولكن مضرته تزيد على مصلحته، لم يذيعوه

“Ini adalah pengajaran dari Allah kepada Hamba-Nya bahwa perbuatan mereka [menyebarkan berita tidak jelas] tidak selayaknya dilakukan. Selayaknya jika datang kepada mereka suatu perkara yang penting, perkara kemaslahatan umum yang berkaitan dengan keamanan dan ketenangan kaum mukminin, atau berkaitan dengan ketakutan akan musibah pada mereka, agar mencari kepastian dan tidak terburu-buru menyebarkan berita tersebut. Bahkan mengembalikan perkara tersebut kepada Rasulullah dan [pemerintah] yang berwenang mengurusi perkara tersebut yaitu cendikiawan, ilmuwan, peneliti, penasehat, dan pembuat kebijaksanan. Merekalah yang mengetahui berbagai perkara dan mengetahui kemaslahatan dan kebalikannya. Jika mereka melihat bahwa dengan menyebarkannya ada kemaslahatan, kegembiraan, dan kebahagiaan bagi kaum mukminin serta menjaga dari musuh, maka mereka akan menyebarkannya Dan jika mereka melihat tidak ada kemaslahatan [menyebarkannya] atau ada kemaslahatan tetapi madharatnya lebih besar, maka mereka tidak menyebarkannya. [Taisir Karimir Rahman hal. 170, Daru Ibnu Hazm, Beirut, cetakan pertama, 1424 H]

Sebaiknya kita menyaring dulu berita yang sampai kepada kita dan tidak semua berita yang kita dapat kemudian kita sampaikan semuanya. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah sebagai bukti kedustaan seseorang bila ia menceritakan segala hal yang ia dengar.” [HR. Muslim]

Demikianlah semoga kelegaan ini bisa juga membuat kaum muslimin yang juga sebelumnya berada di dalam kebingungan juga bisa menjadi lega.
Kami sangat berharap adanya masukan, kritik dan saran kepada kami mengenai hal ini. Jika ada informasi yang tegas dari pemerintah tentang wajibnya imunisasi secara mutlak, kami mohon diberitahukan.

Pendapat kami pribadi mengenai imunisasi dan vaksin
Hati kami merasa lebih tentram dengan condong ke arah pihak yang pro.Wallahu ‘alam. Kami memang memiliki latar belakang pendidikan kedokteran, sehingga mungkin ada yang mengira kami terpengaruh oleh ilmu kami sehingga mendukung imunisasi dan vaksinasi. Akan tetapi, justru karena kami memiliki latar belakang tersebut, kami bisa menelaah lebih dalam lagi dan mencari fakta-fakta yang kami rasa lebih menentramkan hati kami. Berikut kami berusaha menjabarkannya dan menjawab apa yang menjadi alasan mereka menolak imunisasi.

Vaksin haram?
Ini yang cukup meresahkan karena sebagian besar masyarakat Indonesia adalah muslim. Namun mari kita kaji, kita ambil contoh vaksin polio atau vaksin meningitis yang produksinya menggunakan enzim tripsin dari serum babi. Belakangan ini menjadi buah bibir karena cukup meresahkan jama’ah haji yang diwajibkan pemerintah Arab Saudi vaksin, karena mereka tidak ingin terkena atau ada yang membawa penyakit tersebut ke jama’ah haji di Mekkah.

Banyak penjelasan dari berbagai pihak, salah satunya dari Drs. Iskandar, Apt., MM, -Direktur Perencanaan dan pengembangan PT. Bio Farma (salah satu perusahaan pembuat vaksin di Indonesia)- yang mengatakan bahwa enzim tripsin babi masih digunakan dalam pembuatan vaksin, khususnya vaksin polio (IPV). Beliau mengatakan,
“Air PAM dibuat dari air sungai yang mengandung berbagai macam kotoran dan najis, namun menjadi bersih dan halal stetalh diproses”. Beliau juga mengatakan, “Dalam proses pembuatan vaksin, enzim tripsin babi hanya dipakai sebagai enzim proteolitik [enzim yang digunakan sebagai katalisator pemisah sel/protein]. Pada hasil akhirnya [vaksin], enzim tripsin yang merupakan unsur turunan dari pankreas babi ini tidak terdeteksi lagi. Enzim ini akan mengalami proses pencucian, pemurnian dan penyaringan.” [sumber:http://www.scribd.com/doc/62963410/WHO-Batasi-Penggunaan-Babi-Untuk-Pembuatan-Vaksin]

Jika ini benar, maka tidak bisa kita katakan bahwa vaksin ini haram, karena minimal bisa kita kiaskan dengan binatang jallalah, yaitu binatang yang biasa memakan barang-barang najis. Binatang ini bercampur dengan najis yang haram dimakan, sehingga perlu dikarantina kemudian diberi makanan yang suci dalam beberapa hari agar halal dikonsumsi. Sebagian ulama berpendapat minimal tiga hari dan ada juga yang berpendapat sampai aroma, rasa dan warna najisnya hilang.

Imam Abdurrazaq As-Shan’ani rahimahullah meriwayatkan,

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَحْبِسُ الدَّجَاجَةَ ثَلَاثَةً إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ بَيْضَهَا
“Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma bahwasanya beliau mengurung [mengkarantina] ayam yang biasa makan barang najis selama tiga hari jika beliau ingin memakan telurnya.” [Mushannaf Abdurrazaq no. 8717]

Kalau saja binatang yang jelas-jelas bersatu langsung dengan najis -karena makanannya kelak akan menjadi darah dan daging- saja bisa dimakan, maka jika hanya sebagai katalisator sebagaimana penjelasan di atas serta tidak dimakan, lebih layak lagi untuk dipergunakan atau minimal sama.

Perubahan benda najis atau haram menjadi suci
Kemudian ada istilah [استحالة] “istihalah” yaitu perubahan benda najis atau haram menjadi benda yang suci yang telah berubah sifat dan namanya. Contohnya adalah jika kulit bangkai yang najis dan haram disamak, maka bisa menjadi suci atau jika khamr menjadi cuka -misalnya dengan penyulingan- maka menjadi suci. Pada enzim babi vaksin tersebut telah berubah nama dan sifatnya atau bahkan hanya sebagai katalisator pemisah, maka yang menjadi patokan adalah sifat benda tersebut sekarang.

Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah rahimahullah menjelaskan masalah istihalah,

وَاَللَّهُ – تَعَالَى – يُخْرِجُ الطَّيِّبَ مِنْ الْخَبِيثِ وَالْخَبِيثَ مِنْ الطَّيِّبِ،
وَلَا عِبْرَةَ بِالْأَصْلِ، بَلْ بِوَصْفِ الشَّيْءِ فِي نَفْسِهِ، وَمِنْ الْمُمْتَنِعِ بَقَاءُ حُكْمِ الْخُبْثِ وَقَدْ زَالَ اسْمُهُ وَوَصْفُهُ،

“Dan Allah Ta’ala mengeluarkan benda yang suci dari benda yang najis dan mengeluarkan benda yang najis dari benda yang suci. Patokan bukan pada benda asalnya, tetapi pada sifatnya yang terkandung pada benda tersebut [saat itu]. Dan tidak boleh menetapkan hukum najis jika telah hilang sifat dan berganti namanya.” [I’lamul muwaqqin ‘an rabbil ‘alamin 1/298, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, Cetakan pertama, 1411 H, Asy-Syamilah]

Percampuran benda najis atau haram dengan benda suci
Kemudian juga ada istilah [استحلاك] “istihlak” yaitu bercampurnya benda najis atau haram pada benda yang suci sehingga mengalahkan sifat najisnya , baik rasa, warna, dan baunya. Misalnya hanya beberapa tetes khamr pada air yang sangat banyak. Maka tidak membuat haram air tersebut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اَلْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
Air itu suci, tidak ada yang menajiskannya sesuatu pun.” [Bulughul Maram, Babmiyah no.2, dari Abu Sa’id Al-Khudriy]

كَانَ اَلْمَاءَ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ اَلْخَبَثَ – وَفِي لَفْظٍ: – لَمْ يَنْجُسْ
“Jika air mencapai dua qullah tidak mengandung najis”, di riwayat lain, “tidak najis” [Bulughul Maram, Bab miyah no.5, dari Abdullah bin Umar]

Maka enzim babi vaksin yang hanya sekedar katalisator yang sudah hilang melalui proses pencucian, pemurnian, dan penyulingan sudah minimal terkalahkan sifatnya.

Jika kita memilih vaksin adalah haram
Berdasarkan fatwa MUI bahwa vaksin haram tetapi boleh digunakan jika darurat. Bisa dilihat di berbagai sumber salah satunya cuplikan wawancara antara Hidayatullah dan KH. Ma’ruf Amin selaku Ketua Komisi Fatwa MUI [halaman 23], sumber:
http://imunisasihalal.wordpress.com/2008/03/13/wawancara-dengan-mui-vaksin-haram-tapi-boleh-karena-darurat/

Berobat dengan yang haram
Jika kita masih berkeyakinan bahwa vaksin haram, mari kita kaji lebih lanjut. Bahwa ada kaidah fiqhiyah,
الضرورة تبيح المحظورات
Darurat itu membolehkan suatu yang dilarang

Kaidah ini dengan syarat:
  1. Tidak ada pengganti lainnya yang mubah.
  2. Digunakan sekadar mencukupi saja untuk memenuhi kebutuhan.
Inilah landasan yang digunakan MUI, jika kita kaji sesuai dengan syarat:
1. Saat itu belum ada pengganti vaksin lainnya
Adapun yang berdalil bahwa bisa diganti dengan jamu, habbatussauda, atau madu [bukan berarti kami merendahkan pengobatan nabi dan tradisional], maka kita jawab bahwa itu adalah pengobatan yang bersifat umum dan tidak spesifik. Sebagaimana jika kita mengobati virus tertentu, maka secara teori bisa sembuh dengan meningkatkan daya tahan tubuh, akan tetapi bisa sangat lama dan banyak faktor, bisa saja dia mati sebelum daya tahan tubuh meningkat. Apalagi untuk jamaah haji, syarat satu-satunya adalah vaksin.
2. Enzim babi pada vaksin hanya sebagai katalisator, sekedar penggunaannya saja.
Jika ada yang berdalil dengan,
إن الله خلق الداء والدواء، فتداووا، ولا تتداووا بحرام
”Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya. Maka berobatlah, dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram.” [HR. Thabrani. Dinilai hasan oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 1633]

Maka, pendapat terkuat bahwa pada pada asalnya tidak boleh berobat dengan benda-benda haram kecuali dalam kondisi darurat, dengan syarat:
  1. Penyakit tersebut adalah penyakit yang harus diobati.
  2. Benar-benar yakin bahwa obat ini sangat bermanfaat pada penyakit tersebut.
  3. Tidak ada pengganti lainnya yang mubah.
Berlandaskan pada kaidah fiqhiyah,
إذا تعارض ضرران دفع أخفهما.
”Jika ada dua mudharat (bahaya) saling berhadapan maka diambil yang paling ringan.“

Dan Maha Benar Allah yang memang menciptakan penyakit namun pasti ada obatnya. Kalau tidak ada obatnya sekarang, maka hanya karena manusia belum menemukannya. Terbukti baru-baru ini telah ditemukan vaksin meningitis yang halal, dan MUI mengakuinya.

Bisa dilihat pernyataan berikut,
“Majelis Ulama Indonesia menerbitkan sertifikat halal untuk vaksin meningitis produksi Novartis Vaccines and Diagnostics Srl dari Italia dan Zhejiang Tianyuan Bio-Pharmaceutical asal China. Dengan terbitnya sertifikat halal, fatwa yang membolehkan penggunaan vaksin meningitis terpapar zat mengandung unsur babi karena belum ada vaksin yang halal menjadi tak berlaku lagi.”

”Titik kritis keharaman vaksin ini terletak pada media pertumbuhannya yang kemungkinan bersentuhan dengan bahan yang berasal dari babi atau yang terkontaminasi dengan produk yang tercemar dengan najis babi,” kata Ketua MUI KH Ma’ruf Amin di Jakarta, Selasa (20/7).

Sumber: http://kesehatan.kompas.com/read/2010/07/21/03395385/Tersedia.Vaksin.Meningitis.Halal
Semoga kelak akan ditemukan vaksin lain yang halal misalnya vaksin polio, sebagaimana usaha WHO juga mengupayakan hal tersebut. WHO yang dituduh sebagai antek-antek negara barat dan Yahudi, padahal tuduhan ini tanpa bukti dan hanya berdasar paranoid terhadap dunia barat. Berikut penyataannya,
“Menurut Neni [peneliti senior PT. Bio Farma], risiko penggunaan unsur binatang dalam pembuatan vaksin sebenarnya tidak hanya menyangut halal atau haram. Bagi negara non-muslim sekalipun, penggunaan unsur binatang mulai dibatasikarena berisiko memicu transmisi penyakit dari binatang ke manusia”.
“WHO mulai membatasi, karena ada risiko transmisi dan itu sangat berbahaya. Misalnya penggunaan serum sapi bisa menularkan madcow (sapi gila),” ungkap Neni dalam jumpa pers Forum Riset Vaksin Nasional 2011 di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Selasa (26/7/2011)
[sumber: http://www.scribd.com/doc/62963410/WHO-Batasi-Penggunaan-Babi-Untuk-Pembuatan-Vaksin]

Fatwa MUI pun tidak selamat, tetap saja dituduh ada konspirasi di balik itu. Maka kami tanyakan kepada mereka,
“Apakah mereka bisa memberikan solusi, bagaimana supaya jama’ah haji Indonesia bisa naik haji, karena pemerintah Saudi mempersyaratkan harus vaksin meningitis jika ingin berhaji. Hendaklah kita berjiwa besar, jangan hanya bisa mengomentari dan mengkritik tetapi tidak bisa memberikan jalan keluar.”

Agama Islam adalah agama yang mudah dan tidak kaku, Allah tidak menghendaki kesulitan kepada hambanya. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”[Al-Hajj: 78]

Jika masih saja tidak boleh dan haram bagaimanapun juga kondisinya
Jika masih berkeyakinan bahwa vaksin itu omong kosong, haram dan tidak berguna, maka ketahuilah, vaksin inilah yang memberikan kekuatan psikologis kepada kami para tenaga kesehatan untuk bisa menolong dan mengobati masyarakat umum. Jika kami -tenaga kesehatan- tidak melakukan vaksinasi hepatitis B, seandainya [MAT6] mereka yang kontra vaksinasi terkena hepatitis B dan perlu disuntik atau dioperasi, maka saya atau pun tenaga medis lainnya akan berpikir dua kali untuk melakukan operasi jika mereka belum divaksin hepatitis B. Maka [MAT7] hati kami akan gusar dalam menjalankan tugas kami, kita tidak tahu jika ada pasien yang luka, berdarah, lalu kita bersihkan lukanya, kemudian ternyata diketahui bahwa dia berpenyakis hepatitis B. Karena keyakinan sudah divaksinasi hepatitis B, maka hal itu membuat kami bisa menjalaninya.
Begitu juga jika istri mereka hendak melahirkan dan terkena hepatitis B, bidan yang membantu mereka akan berpikir dua kali untuk membantu persalinan jika dia belum vaksin hepatitis B. Karena hepatitis B termasuk penyakit kronis dengan prognosis buruk, belum ditemukan dengan pasti obatnya.

Benarkah konspirasi dan akal-akalan Barat dan Yahudi?
Untuk memastikan hal ini perlu penelitian dan fakta yang jelas, dan sampai sekarang belum ada bukti yang kuat mengenai hal ini. Walapun mereka kafir tetapi Islam mengajarkan tidak boleh dzalim tehadap mereka, dengan menuduh tanpa bukti dan berdasar paranoid selama ini. Begitu juga WHO sebagai antek-anteknya.
Malah yang ada adalah bukti-bukti bahwa tidak ada konspirasi dalam hal ini, berikut kami bawakan beberapa di antaranya:
1. Pro-kontra imunisasi dan vaksin tidak hanya berada di Negara Islam dan Negara berkembang saja, tetapi dinegara-negara barat dan Negara non-Islam lainnya seperti di Filipina dan Australia
Sumber: http://www.metrotvnews.com/ekonomi/news/2011/07/28/59298/Kelompok-Antivaksin-tak-Hanya-Ada-di-Indonesia
Pro-kontra imunisasi sudah ada sejak Pasteur mengenalkan imunisasi rabies, sampai keputusan imunisasi demam tifoid semasa perang Boer. Demikian juga penentang imunisasi cacar di Inggris sampai membawanya di parlemen Inggris. Para Ibu di Jepang dan Inggris menolak imunisasi DPT karena menyebabkan reaksi panas (demam). [Pedoman Imunisasi di Indonesia hal. 361]
2. Amerika melakukan imunisasi bagi pasukan perang mereka. Ini menjawab tuduhan bahwa imuniasi hanya untuk membodohi Negara muslim dan sudah tidak populer di Negara barat, bahkan mereka mengeluarkan jurnal penelitian resmi untuk meyakinkan dan menjawab pihak kontra imunisasi. Salah satunya adalah jurnal berjudul, “Immunization to Protect the US Armed Forces: Heritage, Current Practice, and Prospects” Sangat lucu jika mereka mau bunuh diri dengan melemahkan dan membodohi pasukan perang mereka dengan imunisasi.
Jurnal tersebut bisa di akses di: http://epirev.oxfordjournals.org/content/28/1/3.full .
3. WHO juga sedang meneliti pengembangan imunisasi tanpa menggunakan unsur binatang sebagaimana kita jelaskan sebelumnya.

Uang di balik imunisasi?
Jika memang ada bisnis uang orang-orang Yahudi di balik imunisasi, maka ini perlu ditinjau lagi, karena Indonesia sudah memproduksinya sendiri, misalnya PT. Bio Farma. Jika memang mereka ingin memeras negara muslim, mengapa mereka tidak monopoli saja, tidak memberikan teknologinya kepada siapa pun.

Imunisasi tidak menjamin 100%
Tidak ada yang obat yang bisa menjamin 100% kesembuhan dan menjamin 100% pencegahan. Semua tergantung banyak faktor, salah satunya adalah daya tahan tubuh kita. Begitu juga dengan imunisasi, sehingga beberapa orang mempertanyakan imunisasi hanya karena beberapa kasus penyakit campak, padahal penderita sudah diimunisasi campak.

Semua obat pasti ada efek sampingnya
Bahkan madu, habbatussauda, dan bekam juga ada efek sampingnya, hanya saja kita bisa menghilangkan atau meminimalkannya jika sesuai aturan. Begitu juga dengan imunisasi yang dikenal dengan istilah KIPI [Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi]. Misalnya, sedikit demam, dan ini semua sudah dijelaskan dan ada penanganannya.

Anak yang tidak imunisasi lebih sehat?
Ada pengakuan bahwa anaknya yang tidak diimunisasi lebih sehat dan pintar dari yang diimunisasi. Maka kita jawab, bisa jadi itu karena faktor-faktor lain yang tidak terkait dengan imunisasi, dan perlu dibuktikan. Banyak orang-orang miskin dan kumuh anaknya lebih sehat dan lebih pintar dibandingkan mereka yang kaya dan pola hidupnya sehat. Apakah kita akan mengatakan, jadi orang miskin saja supaya lebih sehat? Kita tahu sebagian besar anak Indonesia diimunisasi dan lihatlah mereka semuanya banyak yang pintar-pintar dan menjuarai berbagai olimpiade tingkat internasional. Apakah kita kemudian akan mengatakan, ikut imunisasi saja supaya bisa menjuarai olimpiade tingkat internasional? Sehingga, jangan karena satu dua kasus, kemudian kita menyamakannya pada semua kasus.

Penelitian tentang kegagalan imunisasi dan vaksin yang setengah-setengah
Umumnya penelitian-penelitian ini adalah penelitian tahun lama yang kurang bisa dipercaya, mereka belum memahami benar teori imunologi yang terus berkembang. Kemudian tahun 2000-an muncul kembali yaitu peneliti Wakefield dan Montgomerry yang mengajukan laporan penelitian adanya hubungan vaksin MMR dengan autism pada anak. Ternyata penelitian ini tidak menggunakan paradigm epidemiologik, tetapi paradigma imunologi atau biomolekuler yang belum memberikan bukti shahih. Bukti juga masih sepotong-potong. Baik pengadilan London maupun redaksi majalah yang memuat tulisan ini akhirnya menyesal dan menyatakan bukti yang diajukan lemah dan kabur. [Pedoman Imunisasi di Indonesia hal 366-367]

Keberhasilan vaksin memusnahkan cacar [smallpox] di bumi
Bukan cacar air [varicella] yang kami maksud, tetapi cacar smallpox. Yang sebelumnya mewabah di berbagai negara dan sekarang hampir semua negara menyatakan negaranya sudah tidak ada lagi penyakit ini.
“Following their jubilant announcement in 1980 that smallpox had finally been eradicated from the world, the World Health Organization lobbied for the numbers of laboratories holding samples of the virus to be reduced. In 1984 it was agreed that smallpox be kept in only two WHO approved laboratories, in Russia and America”
“Setelah pengumuman gembira mereka pada tahun 1980 bahwa cacar akhirnya telah diberantas dari bumi, WHO melobi agar jumlah laboratorium yang memegang sampel virus bisa dikurangi. Pada tahun 1984, disepakati bahwa (virus) cacar hanya disimpan di dua laboratorium yang disetujui WHO, yaitu di Rusia dan Amerika.”
Sumber: http://www.bbc.co.uk/history/british/empire_seapower/smallpox_01.shtml
Lihat bagaimana dua negara adidaya saat itu yang saling berperang berusaha mendapatkan ilmu ini dengan menyimpan bibit penyakit tersebut. Jika ini hanya main-main dan bohong belaka, mengapa harus diperebutkan oleh banyak negara dan akhirnya dibatasi dua Negara saja. Lihat juga karena vaksinlah yang menyelamatkan dunia dari wabah saat itu, dengan izin Allah Ta’ala.

Dukung Imunisasi Polio Pemerintah
Kita tidak boleh memaksa, kita hanya bisa mengarahkan. Sama dengan wabah cacar, maka polio juga menjadi sasaran pemusnahan di muka bumi. Oleh karena itu, semua orang harus ikut serta sehingga virus polio bisa musnah di muka bumi ini. Jika ada beberapa orang saja yang masih membawa virus ini kemudian menyebar, maka program ini akan gagal. Di Indonesia pemerintah mencanangkannya dengan “Indonesia Bebas Polio”. Mengingat penyakit in sangat berbahaya dengan kemunculan gejala yang cepat.
Mungkin kita harus belajar dari kasus yang terjadi di Belanda. Di sana, ada daerah-daerah yang karena faktor religius, mereka menolak untuk divaksin, biasa disebut “Bible Belt”, mereka tersebar di beberapa daerah di Belanda. Akibatnya, terjadi outbreak (wabah) virus Measles antara tahun 1999-2000 dengan lebih dari 3000 kasus virus Measles dan setelah diteliti ternyata terjadi di daerah-daerah yang didominasi oleh orang-orang Bible Belt. Padahal kita tahu, sejak vaksin Measles berhasil ditemukan tahun 1965-an [sekarang vaksin MMR (Measles, Mumps, Rubella)], kasus Measles sudah hampir tidak ada lagi.
Maka ini menjadi pelajaran bagi kita, ketika daya tahan tubuh kita tidak memiliki pertahanan tubuh spesifik untuk virus tertentu, bisa jadi kita terjangkit virus tersebut dan menularkannya kepada orang lain bahkan bisa jadi menjadi wabah. Karena bisa jadi, untuk membangkitkan daya tahan spesifik terhadap serangan virus tertentu yang berbahaya, sistem imunitas kita kalah cepat dengan serangan virusnya, sehingga bisa barakibat fatal. Dan inilah yang sebenarnya bisa dicegah dengan imunisasi. Itulah mengapa pemerintah sangat ingin agar imunisasi bisa mencakup hampir 100% anak, agar setiap orang mempunyai daya tahan tubuh spesifik terhadap virus tersebut. [dua paragraf di atas adalah tambahan dari editor dr. Muhammad Saifudin Hakim,Jazahumullahu khair atas tambahan ilmunya]

Keberhasilan teori dimana teori tersebut menjadi dasar teori imunisasi
Imunisasi dibangun di atas teori sistem imunitas (sistem pertahanan tubuh) dengan istilah-itilah yang mungkin pernah didengar seperti antibodi, immunoglubulin, sel-B, sel-T, antigen, dan lain-lain. Teori inilah yang melandasi ilmu kedokteran barat yang saat ini digunakan oleh sebagian besar masyarakat dunia. Dan sudah terbukti.
Bagaimanakah sebuah obat penekan sistem imunitas bekerja seperti kortikosteroid, bagaimana obat-obat yang mampu meningkatkan sistem imun. Bahkan habbatussauda pun diteliti dan sudah ada jurnal kedoktean resmi yang menyatakan bahwa habbatussauda dapat meningkatkan sistem imun. Semua dibangun di atas teori ini. Dan masih banyak lagi, misalnya vaksin bisa ular. Bagaimana seorang yang digigit ular berbisa kemudian bisa selamat dengan perantaraan vaksin ini. Vaksin tetanus, rabies, dan lain-lainnya
Demikian yang dapat kami jabarkan, kami tidak memaksa harus mendukung imunisasi. Tetapi silahkan para pembaca yang menilai sendiri. Yang terpenting adalah kami telah menyampaikan cara menyikapi pro dan kontra imunisasi.Kami juga tetap berkeyakinan bahwa pengobatan nabawi adalah yang terbaik, seperti madu, habbatussauda, dan lain-lain. Sehingga jangan ditinggalkan hanya karena sudah diimunisasi.

Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin. Kami terbuka untuk berdiskusi karena belum tentu kami yang benar. Kebenaran hanya milik Allah Ta’ala semata.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Disempurnakan di Lombok, pulau seribu masjid
22 Syawwal 1432 H, Bertepatan 21 September 2011
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
Semoga Allah meluruskan niat kami dalam menulis.

Artikel http://muslimafiyah.com

Muraja’ah:
1. Ustadz Aris Munandar, SS. MA.
Guru agama kami, kami banyak mengambil ilmu agama dari beliau
2. Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, ST.
Senior dan guru bahasa Arab kami, sering membimbing dan menyemangati kami dalam menuntut ilmu agama, beliau adalah mahasiswa Jami’ah Malik Su’ud Riyadh KSA (Master of Chemical Engineering), rutin mengikuti kajian harian Syaikh Sholeh Al Fauzan dan kajian pekanan Syaikh Sa’ad Asy Syatsri.

Editor medis: dr. Muhammad Saifudin Hakim
seorang penulis buku, dosen di Fak. Kedokteran UGM, kakak tingkat kami di Fakultas Kedokteran UGM
sedang menempuh S2 Research Master of Infection and Immunity
di Erasmus University Medical Centre Rotterdam, Netherlands
Semoga Allah menjaganya di sana dan pulang ke Indonesia dengan Ilmu yang dibawa.