Tuntas bagi kami
pribadi, saat ini dan “mungkin” sementara karena bisa jadi suatu saat kami
mendapat tambahan informasi baru. Kami hanya ingin membagi kelegaan ini setalah
berlama-lama berada dalam kebingungan pro-kontra imunisasi. Pro-kontra yang
membawa-bawa nama syari’at. Apalagi kami sering mendapat pertanyaan karena kami
pribadi berlatar belakang pendidikan kedokteran. Pro-kontra yang membawa-bawa
nama syari’at inilah yang mengetuk hati kami untuk menelitinya lebih dalam.
Karena prinsip seorang muslim adalah apa yang agama syari’atkan mengenai hal
ini dan hal itu.
Sebagai seorang muslim,
semua jalan keluar telah diberikan oleh agama islam. Oleh karena itu kami
berupaya kembali kepada Allah dan rasul-Nya.
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي
شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ
“Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya),” [An-Nisa-59]
Sebelumnya kami ingin
menyampaikan bahwa imunisasi dan vaksinasi adalah suatu hal yang berbeda dimana
sering terjadi kerancuan.
-Imunisasi: pemindahan
atau transfer antibodi [bahasa awam: daya tahan tubuh] secara pasif. Antibodi
diperoleh dari komponen plasma donor yang sudah sembuh dari penyakit tertentu.
-Vaksinasi: pemberian
vaksin [antigen dari virus/bakteri] yang dapat merangsang imunitas [antibodi]
dari sistem imun di dalam tubuh. Semacam memberi “infeksi ringan”.
[Pedoman Imunisasi di
Indonesia hal. 7, cetakan ketiga, 2008, penerbit Depkes]
Pro-kontra imunisasi dan
vaksin
Jika membaca yang pro,
kita ada kecendrungan hati mendukung. Kemudian jika membaca yang kontra, bisa
berubah lagi. Berikut kami sajikan pendapat dari masing-masing pihak dari
informasi yang kami kumpulkan.
Pendapat yang kontra:
- Vaksin haram karena menggunakan
media ginjal kera, babi, aborsi bayi, darah orang yang tertular penyakit
infeksi yang notabene pengguna alkohol, obat bius, dan lain-lain. Ini
semua haram dipakai secara syari’at.
- Efek samping yang membahayakan
karena mengandung mercuri, thimerosal, aluminium, benzetonium klorida, dan
zat-zat berbahaya lainnya yg akan memicu autisme, cacat otak, dan
lain-lain.
- Lebih banyak bahayanya daripada
manfaatnya, banyak efek sampingnya.
- Kekebalan tubuh sebenarnya
sudah ada pada setiap orang. Sekarang tinggal bagaimana menjaganya dan
bergaya hidup sehat.
- Konspirasi dan akal-akalan
negara barat untuk memperbodoh dan meracuni negara berkembang dan negara
muslim dengan menghancurkan generasi muda mereka.
- Bisnis besar di balik program
imunisasi bagi mereka yang berkepentingan. Mengambil uang orang-orang
muslim.
- Menyingkirkan metode pengobatan
dan pencegahan dari negara-negara berkembang dan negara muslim seperti
minum madu, minyak zaitun, kurma, dan habbatussauda.
- Adanya ilmuwan yang menentang
teori imunisasi dan vaksinasi.
- Adanya beberapa laporan bahwa
anak mereka yang tidak di-imunisasi masih tetap sehat, dan justru lebih
sehat dari anak yang di-imunisasi.
Pendapat yang pro:
- Mencegah lebih baik daripada
mengobati. Karena telah banyak kasus ibu hamil membawa virus Toksoplasma,
Rubella, Hepatitis B yang membahayakan ibu dan janin. Bahkan bisa
menyebabkan bayi baru lahir langsung meninggal. Dan bisa dicegah dengan
vaksin.
- Vaksinasi penting dilakukan
untuk mencegah penyakit infeksi berkembang menjadi wabah seperti kolera,
difteri, dan polio. Apalagi saat ini berkembang virus flu burung yg telah
mewabah. Hal ini menimbulkam keresahan bagi petugas kesahatan yang
menangani. Jika tidak ada, mereka tidak akan mau dekat-dekat. Juga
meresahkan masyarakat sekitar.
- Walaupun kekebalan tubuh sudah
ada, akan tetapi kita hidup di negara berkembang yang notabene standar
kesehatan lingkungan masih rendah. Apalagi pola hidup di zaman modern.
Belum lagi kita tidak bisa menjaga gaya hidup sehat. Maka untuk antisipasi
terpapar penyakit infeksi, perlu dilakukan vaksinasi.
- Efek samping yang membahayakan
bisa kita minimalisasi dengan tanggap terhadap kondisi ketika hendak
imunisasi dan lebih banyak cari tahu jenis-jenis merk vaksin serta jadwal
yang benar sesuai kondisi setiap orang.
- Jangan hanya percaya isu-isu
tidak jelas dan tidak ilmiah. Contohnya vaksinasi MMR menyebabkan autis.
Padahal hasil penelitian lain yang lebih tersistem dan dengan metodologi
yang benar, kasus autis itu ternyata banyak penyebabnya. Penyebab autis
itu multifaktor (banyak faktor yang berpengaruh) dan penyebab utamanya
masih harus diteliti.
- Jika ini memang konspirasi atau
akal-akalan negara barat, mereka pun terjadi pro-kontra juga. Terutama
vaksin MMR. Disana juga sempat ribut dan akhirnya diberi kebebasan memilih.
Sampai sekarang negara barat juga tetap memberlakukan vaksin sesuai dengan
kondisi lingkungan dan masyarakatnya.
- Mengapa beberapa negara barat
ada yang tidak lagi menggunakan vaksinasi tertentu atau tidak sama sekali?
Karena standar kesehatan mereka sudah lebih tinggi, lingkungan bersih,
epidemik (wabah) penyakit infeksi sudah diberantas, kesadaran dan
pendidikan hidup sehatnya tinggi. Mereka sudah mengkonsumsi sayuran
organik. Bandingkan dengan negara berkembang. Sayuran dan buah penuh
dengan pestisida jika tidak bersih dicuci. Makanan dengan zat pengawet,
pewarna, pemanis buatan, mie instant, dan lain-lain. Dan perlu diketahui
jika kita mau masuk ke beberapa negara maju, kita wajib divaksin dengan
vaksin jenis tertentu. Karena mereka juga tidak ingin mendapatkan kiriman
penyakit dari negara kita.
- Ada beberapa fatwa halal dan
bolehnya imunisasi. Ada juga sanggahan bahwa vaksin halal karena hanya
sekedar katalisator dan tidak menjadi bagian vaksinContohnya Fatwa MUI
yang menyatakan halal. Dan jika memang benar haram, maka tetap
diperbolehkan karena mengingat keadaan darurat, daripada penyakit infeksi
mewabah di negara kita. Harus segera dicegah karena sudah banyak yang
terjangkit polio, Hepatitis B, dan TBC.
Terlepas dari itu semua,
kami tidak bisa memastikan dan mengklaim 100% pihak mana yang benar dan pihak
mana yang salah. Kami hanya ingin membagi kelegaan hati kami berkaitan dengan
syari’at. Berikut kami sajikan bagaimana proses dari kebingungan kami menuju
sebuah kelegaan karena kami hanya ingin sekedar berbagi.
Kewajiban taat terhadap
pemerintah/waliyul ‘amr
Hal ini berkaitan dengan
program “wajib” pemerintah berkaitan dengan imunisasi -yang kita kenal dengan
PPI [Program Pengembangan Imunisasi]- di mana ada lima vaksin yang menjadi
imunisasi “wajib”.
Sudah menjadi
aqidah ahlus sunnah wal jamaah bahwa kita wajib mentaati
pemerintah. Berikut kami sampaikan dalil-dalil yang ringkas saja.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang
beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu.”
[An Nisa’: 59]
Kita wajib taat kepada
pemerintah baik dalam hal yang sesuai dengan syari’at maupun yang mubah,
misalnya taat terhadap lampu lalu lintas dan aturan di jalan raya. Jika tidak,
maka kita berdosa. Bahkan jika pemerintah melakukan sesuatu yang mendzalimi
kita, kita harus bersabar. Kita tidak boleh melawan pemerintah dengan melakukan
demonstrasi apalagi melakukan kudeta dan pemberontakan karena lebih besar
bahayanya dan juga akan menumpahkan darah sesama kaum muslimin.
Dari Hudzaifah bin
Al-Yaman radhiallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
كُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ
لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى
وَسَيَقُومُ فِيهِمْ
رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ ».
قَالَ قُلْتُ كَيْفَ
أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ
قَالَ « تَسْمَعُ
وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin
yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu) dan tidak pula melaksanakan
sunnahku (dalam amal). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang
hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia.“
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa
yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”
Beliau bersabda, ”Dengarlah
dan taat kepada pemimpinmu, walaupun mereka memukul punggungmu dan mengambil
hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.” [HR. Muslim
no. 1847]
Kita baru diperbolehkan
untuk tidak taat jika melihat pemerintah berada pada kekufuran yang nyata,
jelas, dan bukan kekufuran yang dicari-cari dan dibuat-buat.
سمعوا وأطيعوا، إلا أن
تروا كفراً بواحاً عندكم عليه من الله برهان
“Mendengar dan taatlah
kalian (kepada pemerintah kalian), kecuali bila kalian melihat
kekafiran yang nyata dan kalian memiliki buktinya di hadapan Allah.”[HR. Bukhari dan Muslim]
Jika ada yang mengatakan
bahwa pemerintah sekarang kafir atau bukan negara Islam sehingga tidak perlu
taat, maka kami sarankan untuk banyak menelaah kitab-kitab aqidah para ulama.
Karena bisa jadi tuduhan itu kembali kepada yang menuduh. Kemudian perlu kita
bedakan antara pemerintah yang tidak bisa menjalankan hukum syariat dan masih
menganggap baik hukum Islam. Dan di antara bukti negeri tersebut masih muslim
adalah masih membebaskan dijalankan syari’at-syari’at yang bersifat jama’i
seperti adzan, shalat berjama’ah dan shalat ‘ied.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ دَعَا رَجُلًا
بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
“Dan barangsiapa yang
memanggil seseorang dengan panggilan “kafir” atau “musuh Allah” padahal dia
tidak kafir, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh.” [HR. Bukhari no. 3317,
5698, dan Muslim no. 214.]
Inilah yang agak
mengusik hati kami, yaitu jika kita tidak mengikuti program imunisasi maka akan
menyebabkan berdosa, karena pemerintah mengatakan “wajib”.
Walaupun hal ini bisa
dibantah bagi mereka yang kontra, karena bahannya yang haram dan bisa merusak
tubuh. Sehingga dalam hal ini pemerintah tidak perlu ditaati. Karena kita
dilarang merusak tubuh kita sendiri.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلاَ تُلْقُواْ
بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” [Al-Baqarah: 195]
Sesuai dengan kaidah
dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ طَاعَةَ فِى
مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada kewajiban
ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara
yang ma’ruf (bukan maksiat).” [HR. Bukhari no. 7257]
Namun, kami berusaha
mencari-cari lagi apa yang dimaksud dengan “wajib” oleh pemerintah agar lebih
menentramkan dan keluar dari perbedaan pendapat.
Wajib imunisasi bukan
wajib secara mutlak
Secara ringkas, wallahu
a’lam, yang kami dapatkan bahwa pernyataan “wajib” pemerintah di sini
bukanlah wajib secara mutlak dalam pelaksanaannya. Sebagaimana wajib, ada yang
wajib ‘ain dan wajib kifayah. wajib Karena ada
beberapa alasan.
- Memang ada UU no. 4
tahun 1894 tentang wabah penyakit menular dan secara tidak langsung imunisasi
masuk di sini karena salah satu peran imunisasi adalah memberantas wabah. [Bisa dilihat di: :
http://medbook.or.id/news/other/170-uu-no-4-tahun-1984 Ancaman bagi yang tidak
mendukungnya, bisa dihukum penjara dan denda.] Akan tetapi, pemerintah
juga masih kurang konsisten dalam menerapkan hukuman ini. Bisa dilihat
pernyataan salah satu pemimpin kita.“Kita tidak bisa
memberikan sanksi hukuman, tetapi kita hanya bisa menghimbau kepada
aparat, ibu-ibu, LSM, majelis taklim, ketua RT, dan lurah, agar menggerakkan
warganya ke pos-pos imunisasi. Mudah-mudahan Jakarta bebas polio,,” [sumber:
http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/05/tgl/31/time/115902/idnews/371768/idkanal/10] Walaupun sumber tersebut
tahun 2005, tetapi ini menunjukkan setidaknya pemerintah pernah tidak
konsisten.
- Belum ada peraturan
pemerintah atau undang-undang khusus yang mengatur secara jelas, tegas,
dan shorih tentang kewajiban imunisasi, hukuman, serta
kejelasan penerapan hukuman.
- Kalaupun mewajibkan
lima imunisasi termasuk polio, maka bagaimana dengan daerah yang terpencil,
daerah yang tidak mendapatkan pasokan imunisasi seperti beberapa daerah di
Papua? Apakah mereka dipenjara semua? Atau didenda semua? Haruskah mereka
mencari-cari ke daerah yang ada imunisasi dan vaksin? Bagaimana dengan yang
tidak mampu membayar imunisasi? Karena pemerintah belum menggratiskan secara
menyeluruh imunisasi. Walaupun ada yang murah, tetapi tetap saja ada penduduk
yang untuk makan sesuap nasi saja sulit. Apakah orang miskin-papa seperti
mereka harus dipenjara atau didenda karena tidak imunisasi?
- Sampai
sekarang, wallahu a’lam, kami belum pernah mendengar ada kasus
orang yang dihukum penjara atau denda hanya karena anaknya belum atau tidak
diimunisasi.
- Cukup banyak mereka
yang kontra imunisasi dan vaksin baik individu, LSM, atau organisai tertentu
mengeluarkan pendapat menolak imunisasi padahal ini sangat bertentangan dengan
pemerintah. Bahkan mereka menghimbau bahkan memprovokasi agar tidak melakukan
imunisasi. Tetapi, wallahu a’lam, kami tidak melihat tindak
tegas pemerintah terhadap mereka.
Atau kita bisa
menganalogikan dengan program “WAJIB belajar sembilan tahun”. Maka semua orang
tahu bahwa “wajib “ di sini tidak bermakna wajib secara mutlak.
Maka kesimpulan yang
kami ambil:
Imunisasi dan vaksin
mubah, silahkan jika ingin melakukan imunisasi jika sesuai dengan keyakinan.
Silahkan juga jika menolak imunisasi sesuai dengan keyakinan dan hal ini tidak
berdosa secara syari’at.
Silahkan sesuai keyakinan masing-masing. Yang terpenting
kita jangan berpecah-belah hanya karena permasalahan ini dan saling
menyalahkan.
Berikut kami sajikan
fatwa tentang bolehnya imunisasi dan vaksin serta menunjukkan bahwa semacam
imunisasi sudah ada dalam syari’at. Atau yang dikenal sekarang dengan imunisasi
syari’at.
Ketika Syaikh Abdul Aziz
bin Baz rahimahullah ditanya tentang hal ini,
ما هو الحكم في التداوي
قبل وقوع الداء كالتطعيم؟
“Apakah hukum berobat
dengan imunisasi sebelum tertimpa musibah?”
Beliau menjawab,
لا بأس بالتداوي إذا خشي
وقوع الداء لوجود وباء أو أسباب أخرى يخشى
من وقوع الداء بسببها فلا
بأس بتعاطي الدواء لدفع البلاء الذي يخشى منه
لقول النبي صلى الله عليه
وسلم في الحديث الصحيح:
«من تصبح بسبع تمرات من
تمر المدينة لم يضره سحر ولا سم (1) »
وهذا من باب دفع البلاء
قبل وقوعه فهكذا إذا خشي من مرض وطعم ضد الوباء الواقع في البلد
أو في أي مكان لا بأس
بذلك من باب الدفاع، كما يعالج المرض النازل، يعالج بالدواء المرض الذي يخشى منه.
“La ba’sa (tidak masalah) berobat
dengan cara seperti itu jika dikhawatirkan tertimpa penyakit karena adanya
wabah atau sebab-sebab lainnya. Dan tidak masalah menggunakan obat untuk
menolak atau menghindari wabah yang dikhawatirkan. Hal ini berdasarkan sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam hadits shahih (yang
artinya),“Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah pada pagi hari, ia
tidak akan terkena pengaruh buruk sihir atau racun”.
Ini termasuk tindakan
menghindari penyakit sebelum terjadi. Demikian juga jika dikhawatirkan
timbulnya suatu penyakit dan dilakukan immunisasi untuk melawan penyakit yang
muncul di suatu tempat atau di mana saja, maka hal itu tidak masalah, karena
hal itu termasuk tindakan pencegahan. Sebagaimana penyakit yang datang diobati,
demikian juga penyakit yang dikhawatirkan kemunculannya.
[sumber:
http://www.binbaz.org.sa/mat/238]
Majelis Ulama Eropa
untuk Fatwa dan Penelitian telah memberikan jawaban untuk masalah vaksin yang
digunakan dalam vaksinasi anak terhadap polio. Dalam masalah tersebut, Majelis
Ulama Eropa memutuskan dua hal:
Pertama:
Penggunaan obat semacam
itu ada manfaatnya dari segi medis. Obat semacam itu dapat melindungi anak dan
mencegah mereka dari kelumpuhan dengan izin Allah. Dan obat semacam ini (dari
enzim babi) belum ada gantinya hingga saat ini. Dengan menimbang hal ini, maka
penggunaan obat semacam itu dalam rangka berobat dan pencegahan dibolehkan. Hal
ini dengan alasan karena mencegah bahaya (penyakit) yang lebih parah jika tidak
mengkonsumsinya. Dalam bab fikih, masalah ini ada sisi kelonggaran yaitu tidak
mengapa menggunakan yang najis (jika memang cairan tersebut dinilai najis).
Namun sebenarnya cairan najis tersebut telah mengalami istihlak (melebur)
karena bercampur dengan zat suci yang berjumlah banyak. Begitu pula masalah ini
masuk dalam hal darurat dan begitu primer yang dibutuhkan untuk menghilangkan
bahaya. Dan di antara tujuan syari’at adalah menggapai maslahat dan manfaat
serta menghilangkan mafsadat dan bahaya.
Kedua:
Majelis merekomendasikan
pada para imam dan pejabat yang berwenang hendaklah posisi mereka tidak
bersikap keras dalam perkara ijtihadiyah ini yang nampak ada maslahat bagi
anak-anak kaum muslimin selama tidak bertentangan dengan dalil yang definitif
(qoth’i). [Disarikan dari
http://www.islamfeqh.com/Forums.aspx?g=posts&t=203]
Perlu diketahui juga
bahwa di Saudi Arabia sendiri untuk pendaftaran haji melalui hamlah (travel)
diwajibkan bagi setiap penduduk asli maupun pendatang untuk memenuhi
syarat tath’im (vaksinasi) karena banyaknya wabah yang
tersebar saat haji nantinya. Syarat inilah yang harus dipenuhi sebelum calon
haji dari Saudi mendapatkan tashrih atau izin berhaji yang keluar lima tahun
sekali.
Jangan meyebarluaskan
penolakan imunisasi!!!
Merupakan tindakan
yang kurang bijak bagi mereka yang menolak imunisasi, menyebarkan keyakinan
mereka secara luas di media-media, memprovokasi agar menolak keras imunisasi
dan vaksin, bahkan menjelek-jelekkan pemerintah. Sehingga membuat keresahan
dimasyarakat. Karena bertentangan dengan pemerintah yang membuat dan mendukung
program imunisasi.
Hendaknya ia menerapkan
penolakan secara sembunyi-sembunyi. Sebagaimana kasus jika seseorang melihat hilal Ramadhan dengan
jelas dan sangat yakin, kemudian persaksiannya ditolak oleh pemerintah.
Pemerintah belum mengumumkan besok puasa, maka hendaknya ia puasa
sembunyi-sembunyi besok harinya dan jangan membuat keresahan di masyarakat
dengan mengumumkan dan menyebarluaskan persaksiannya akan hilal, padahal sudah
ditolak oleh pemerintah. Karena hal ini akan membuat perpecahan dan keresahan
di masyarakat.
Islam mengajarkan kita
agar tidak langsung menyebarluaskan setiap berita atau isu ke
masyarakat secara umum. Hendaklah kita jangan mudah termakan berita yang kurang
jelas atau isu murahan kemudian ikut-kutan menyebarkannya padahal ilmu kita
terbatas mengenai hal tersebut. Hendaklah kita menyerahkan kepada kepada ahli
dan tokoh yang berwenang untuk menindak lanjuti, meneliti, mengkaji, dan
menelaah berita atau isu tersebut. Kemudian merekalah yang lebih mengetahui dan
mempertimbangkan apakah berita ini perlu diekspos atau disembunyikan.
Dalilnya adalah firman
Allah Ta’ala,
وَإِذَا جَاءهُمْ أَمْرٌ
مِّنَ الأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُواْ بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ
وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ
مِنْهُمْ وَلَوْلاَ فَضْلُ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ
إِلاَّ قَلِيلاً
“Dan apabila datang
kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu
menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil
Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya
(akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau
tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti
setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” [An-Nisa: 83]
Syaikh Abdurrahman bin
Nasir As-Sa’diy rahimahullah menafsirkan ayat ini,
هذا تأديب من الله لعباده
عن فعلهم هذا غير اللائق.
وأنه ينبغي لهم إذا جاءهم
أمر من الأمور المهمة والمصالح العامة ما يتعلق بالأمن وسرور المؤمنين،
أو بالخوف الذي فيه مصيبة
عليهم أن يتثبتوا ولا يستعجلوا بإشاعة ذلك الخبر،
بل يردونه إلى الرسول
وإلى أولي الأمر منهم، أهلِ الرأي والعلم والنصح والعقل والرزانة،
الذين يعرفون الأمور
ويعرفون المصالح وضدها. فإن رأوا في إذاعته مصلحة
ونشاطا للمؤمنين وسرورا
لهم وتحرزا من أعدائهم فعلوا ذلك.
وإن رأوا أنه ليس فيه
مصلحة أو فيه مصلحة ولكن مضرته تزيد على مصلحته، لم يذيعوه
“Ini adalah pengajaran dari Allah kepada
Hamba-Nya bahwa perbuatan mereka [menyebarkan berita tidak jelas] tidak
selayaknya dilakukan. Selayaknya jika datang kepada mereka suatu perkara yang
penting, perkara kemaslahatan umum yang berkaitan dengan keamanan dan
ketenangan kaum mukminin, atau berkaitan dengan ketakutan akan musibah pada
mereka, agar mencari kepastian dan tidak terburu-buru menyebarkan
berita tersebut. Bahkan mengembalikan perkara tersebut kepada
Rasulullah dan [pemerintah] yang berwenang mengurusi perkara tersebut yaitu
cendikiawan, ilmuwan, peneliti, penasehat, dan pembuat kebijaksanan. Merekalah
yang mengetahui berbagai perkara dan mengetahui kemaslahatan dan
kebalikannya. Jika mereka melihat bahwa dengan menyebarkannya ada
kemaslahatan, kegembiraan, dan kebahagiaan bagi kaum mukminin serta menjaga
dari musuh, maka mereka akan menyebarkannya Dan jika mereka melihat
tidak ada kemaslahatan [menyebarkannya] atau ada kemaslahatan tetapi
madharatnya lebih besar, maka mereka tidak menyebarkannya. [Taisir Karimir
Rahman hal. 170, Daru Ibnu Hazm, Beirut, cetakan pertama, 1424 H]
Sebaiknya kita menyaring
dulu berita yang sampai kepada kita dan tidak semua berita yang kita dapat
kemudian kita sampaikan semuanya. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
كَفَى بِالْمَرْءِ
كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah sebagai bukti
kedustaan seseorang bila ia menceritakan segala hal yang ia dengar.” [HR. Muslim]
Demikianlah semoga
kelegaan ini bisa juga membuat kaum muslimin yang juga sebelumnya berada di
dalam kebingungan juga bisa menjadi lega.
Kami sangat berharap
adanya masukan, kritik dan saran kepada kami mengenai hal ini. Jika ada
informasi yang tegas dari pemerintah tentang wajibnya imunisasi secara mutlak,
kami mohon diberitahukan.
Pendapat kami pribadi
mengenai imunisasi dan vaksin
Hati kami merasa lebih
tentram dengan condong ke arah pihak yang pro.Wallahu ‘alam. Kami
memang memiliki latar belakang pendidikan kedokteran, sehingga mungkin ada yang
mengira kami terpengaruh oleh ilmu kami sehingga mendukung imunisasi dan
vaksinasi. Akan tetapi, justru karena kami memiliki latar belakang tersebut,
kami bisa menelaah lebih dalam lagi dan mencari fakta-fakta yang kami rasa
lebih menentramkan hati kami. Berikut kami berusaha menjabarkannya dan menjawab
apa yang menjadi alasan mereka menolak imunisasi.
Vaksin haram?
Ini yang cukup
meresahkan karena sebagian besar masyarakat Indonesia adalah muslim. Namun mari
kita kaji, kita ambil contoh vaksin polio atau vaksin meningitis yang
produksinya menggunakan enzim tripsin dari serum babi. Belakangan ini menjadi
buah bibir karena cukup meresahkan jama’ah haji yang diwajibkan pemerintah Arab
Saudi vaksin, karena mereka tidak ingin terkena atau ada yang membawa penyakit
tersebut ke jama’ah haji di Mekkah.
Banyak penjelasan dari
berbagai pihak, salah satunya dari Drs. Iskandar, Apt., MM, -Direktur
Perencanaan dan pengembangan PT. Bio Farma (salah satu perusahaan pembuat
vaksin di Indonesia)- yang mengatakan bahwa enzim tripsin babi masih digunakan
dalam pembuatan vaksin, khususnya vaksin polio (IPV). Beliau mengatakan,
“Air PAM dibuat dari air
sungai yang mengandung berbagai macam kotoran dan najis, namun menjadi bersih
dan halal stetalh diproses”. Beliau juga mengatakan, “Dalam proses pembuatan
vaksin, enzim tripsin babi hanya dipakai sebagai enzim proteolitik [enzim yang
digunakan sebagai katalisator pemisah sel/protein]. Pada hasil akhirnya
[vaksin], enzim tripsin yang merupakan unsur turunan dari pankreas babi ini
tidak terdeteksi lagi. Enzim ini akan mengalami proses pencucian, pemurnian dan
penyaringan.” [sumber:http://www.scribd.com/doc/62963410/WHO-Batasi-Penggunaan-Babi-Untuk-Pembuatan-Vaksin]
Jika ini benar, maka
tidak bisa kita katakan bahwa vaksin ini haram, karena minimal bisa kita
kiaskan dengan binatang jallalah, yaitu binatang yang biasa
memakan barang-barang najis. Binatang ini bercampur dengan najis yang haram
dimakan, sehingga perlu dikarantina kemudian diberi makanan yang suci dalam
beberapa hari agar halal dikonsumsi. Sebagian ulama berpendapat minimal tiga
hari dan ada juga yang berpendapat sampai aroma, rasa dan warna najisnya
hilang.
Imam Abdurrazaq
As-Shan’ani rahimahullah meriwayatkan,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ
أَنَّهُ كَانَ يَحْبِسُ الدَّجَاجَةَ ثَلَاثَةً إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ
بَيْضَهَا
“Dari Ibnu Umar
radhiallahu ‘anhuma bahwasanya beliau mengurung [mengkarantina] ayam yang biasa
makan barang najis selama tiga hari jika beliau ingin memakan telurnya.” [Mushannaf
Abdurrazaq no. 8717]
Kalau saja binatang yang
jelas-jelas bersatu langsung dengan najis -karena makanannya kelak akan
menjadi darah dan daging- saja bisa dimakan, maka jika hanya sebagai
katalisator sebagaimana penjelasan di atas serta tidak dimakan, lebih layak
lagi untuk dipergunakan atau minimal sama.
Perubahan benda najis
atau haram menjadi suci
Kemudian ada istilah
[استحالة] “istihalah” yaitu perubahan benda najis atau haram menjadi
benda yang suci yang telah berubah sifat dan namanya. Contohnya adalah jika
kulit bangkai yang najis dan haram disamak, maka bisa menjadi suci atau jika
khamr menjadi cuka -misalnya dengan penyulingan- maka menjadi suci. Pada enzim
babi vaksin tersebut telah berubah nama dan sifatnya atau bahkan hanya sebagai
katalisator pemisah, maka yang menjadi patokan adalah sifat benda tersebut
sekarang.
Ibnu Qoyyim
Al-Jauziyah rahimahullah menjelaskan masalah istihalah,
وَاَللَّهُ – تَعَالَى –
يُخْرِجُ الطَّيِّبَ مِنْ الْخَبِيثِ وَالْخَبِيثَ مِنْ الطَّيِّبِ،
وَلَا عِبْرَةَ
بِالْأَصْلِ، بَلْ بِوَصْفِ الشَّيْءِ فِي نَفْسِهِ، وَمِنْ الْمُمْتَنِعِ بَقَاءُ
حُكْمِ الْخُبْثِ وَقَدْ زَالَ اسْمُهُ وَوَصْفُهُ،
“Dan Allah Ta’ala mengeluarkan
benda yang suci dari benda yang najis dan mengeluarkan benda yang najis dari
benda yang suci. Patokan bukan pada benda asalnya, tetapi pada sifatnya
yang terkandung pada benda tersebut [saat itu]. Dan tidak boleh
menetapkan hukum najis jika telah hilang sifat dan berganti namanya.” [I’lamul
muwaqqin ‘an rabbil ‘alamin 1/298, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut,
Cetakan pertama, 1411 H, Asy-Syamilah]
Percampuran benda najis
atau haram dengan benda suci
Kemudian juga ada
istilah [استحلاك] “istihlak” yaitu bercampurnya benda najis
atau haram pada benda yang suci sehingga mengalahkan sifat najisnya , baik
rasa, warna, dan baunya. Misalnya hanya beberapa tetes khamr pada
air yang sangat banyak. Maka tidak membuat haram air tersebut.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اَلْمَاءَ طَهُورٌ
لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
“Air itu suci, tidak
ada yang menajiskannya sesuatu pun.” [Bulughul Maram, Babmiyah no.2,
dari Abu Sa’id Al-Khudriy]
كَانَ اَلْمَاءَ
قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ اَلْخَبَثَ – وَفِي لَفْظٍ: – لَمْ يَنْجُسْ
“Jika air mencapai dua
qullah tidak mengandung najis”, di riwayat lain, “tidak najis” [Bulughul Maram,
Bab miyah no.5, dari Abdullah bin Umar]
Maka enzim babi vaksin
yang hanya sekedar katalisator yang sudah hilang melalui proses pencucian,
pemurnian, dan penyulingan sudah minimal terkalahkan sifatnya.
Jika kita memilih vaksin
adalah haram
Berdasarkan fatwa MUI
bahwa vaksin haram tetapi boleh digunakan jika darurat. Bisa dilihat di
berbagai sumber salah satunya cuplikan wawancara antara Hidayatullah dan KH.
Ma’ruf Amin selaku Ketua Komisi Fatwa MUI [halaman 23], sumber:
http://imunisasihalal.wordpress.com/2008/03/13/wawancara-dengan-mui-vaksin-haram-tapi-boleh-karena-darurat/
Berobat dengan yang
haram
Jika kita masih
berkeyakinan bahwa vaksin haram, mari kita kaji lebih lanjut. Bahwa ada kaidah
fiqhiyah,
الضرورة تبيح المحظورات
“Darurat itu
membolehkan suatu yang dilarang”
Kaidah ini dengan
syarat:
- Tidak ada pengganti lainnya
yang mubah.
- Digunakan sekadar mencukupi
saja untuk memenuhi kebutuhan.
Inilah landasan yang
digunakan MUI, jika kita kaji sesuai dengan syarat:
1. Saat itu belum ada
pengganti vaksin lainnya
Adapun yang berdalil
bahwa bisa diganti dengan jamu, habbatussauda, atau madu [bukan berarti kami
merendahkan pengobatan nabi dan tradisional], maka kita jawab bahwa itu adalah
pengobatan yang bersifat umum dan tidak spesifik. Sebagaimana jika kita mengobati
virus tertentu, maka secara teori bisa sembuh dengan meningkatkan daya tahan
tubuh, akan tetapi bisa sangat lama dan banyak faktor, bisa saja dia mati
sebelum daya tahan tubuh meningkat. Apalagi untuk jamaah haji, syarat
satu-satunya adalah vaksin.
2. Enzim babi pada
vaksin hanya sebagai katalisator, sekedar penggunaannya saja.
Jika ada yang berdalil
dengan,
إن الله خلق الداء
والدواء، فتداووا، ولا تتداووا بحرام
”Sesungguhnya Allah
menciptakan penyakit dan obatnya. Maka berobatlah, dan jangan berobat dengan
sesuatu yang haram.” [HR. Thabrani. Dinilai hasan oleh Syaikh Albani
dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 1633]
Maka, pendapat terkuat
bahwa pada pada asalnya tidak boleh berobat dengan benda-benda haram kecuali
dalam kondisi darurat, dengan syarat:
- Penyakit tersebut adalah
penyakit yang harus diobati.
- Benar-benar yakin bahwa obat
ini sangat bermanfaat pada penyakit tersebut.
- Tidak ada pengganti lainnya
yang mubah.
Berlandaskan pada
kaidah fiqhiyah,
إذا تعارض ضرران دفع
أخفهما.
”Jika ada dua mudharat
(bahaya) saling berhadapan maka diambil yang paling ringan.“
Dan Maha Benar Allah
yang memang menciptakan penyakit namun pasti ada obatnya. Kalau tidak ada
obatnya sekarang, maka hanya karena manusia belum menemukannya. Terbukti
baru-baru ini telah ditemukan vaksin meningitis yang halal, dan MUI
mengakuinya.
Bisa dilihat pernyataan
berikut,
“Majelis Ulama Indonesia
menerbitkan sertifikat halal untuk vaksin meningitis produksi Novartis Vaccines
and Diagnostics Srl dari Italia dan Zhejiang Tianyuan Bio-Pharmaceutical asal
China. Dengan terbitnya sertifikat halal, fatwa yang membolehkan penggunaan
vaksin meningitis terpapar zat mengandung unsur babi karena belum ada vaksin yang
halal menjadi tak berlaku lagi.”
”Titik kritis keharaman
vaksin ini terletak pada media pertumbuhannya yang kemungkinan bersentuhan
dengan bahan yang berasal dari babi atau yang terkontaminasi dengan produk yang
tercemar dengan najis babi,” kata Ketua MUI KH Ma’ruf Amin di Jakarta, Selasa (20/7).
Sumber:
http://kesehatan.kompas.com/read/2010/07/21/03395385/Tersedia.Vaksin.Meningitis.Halal
Semoga kelak akan
ditemukan vaksin lain yang halal misalnya vaksin polio, sebagaimana usaha WHO
juga mengupayakan hal tersebut. WHO yang dituduh sebagai antek-antek negara
barat dan Yahudi, padahal tuduhan ini tanpa bukti dan hanya berdasar paranoid
terhadap dunia barat. Berikut penyataannya,
“Menurut
Neni [peneliti senior PT. Bio Farma], risiko penggunaan unsur binatang dalam
pembuatan vaksin sebenarnya tidak hanya menyangut halal atau haram. Bagi negara
non-muslim sekalipun, penggunaan unsur binatang mulai dibatasikarena berisiko
memicu transmisi penyakit dari binatang ke manusia”.
“WHO mulai membatasi,
karena ada risiko transmisi dan itu sangat berbahaya. Misalnya penggunaan serum
sapi bisa menularkan madcow (sapi gila),” ungkap Neni dalam jumpa pers Forum Riset
Vaksin Nasional 2011 di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Selasa (26/7/2011)
[sumber:
http://www.scribd.com/doc/62963410/WHO-Batasi-Penggunaan-Babi-Untuk-Pembuatan-Vaksin]
Fatwa MUI pun tidak
selamat, tetap saja dituduh ada konspirasi di balik itu. Maka kami tanyakan
kepada mereka,
“Apakah mereka bisa
memberikan solusi, bagaimana supaya jama’ah haji Indonesia bisa naik haji,
karena pemerintah Saudi mempersyaratkan harus vaksin meningitis jika ingin
berhaji. Hendaklah kita berjiwa besar, jangan hanya bisa mengomentari dan
mengkritik tetapi tidak bisa memberikan jalan keluar.”
Agama Islam adalah agama
yang mudah dan tidak kaku, Allah tidak menghendaki kesulitan kepada hambanya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ
فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”[Al-Hajj: 78]
Jika masih saja tidak
boleh dan haram bagaimanapun juga kondisinya
Jika masih berkeyakinan
bahwa vaksin itu omong kosong, haram dan tidak berguna, maka ketahuilah, vaksin
inilah yang memberikan kekuatan psikologis kepada kami para tenaga kesehatan
untuk bisa menolong dan mengobati masyarakat umum. Jika kami -tenaga kesehatan-
tidak melakukan vaksinasi hepatitis B, seandainya [MAT6] mereka yang kontra
vaksinasi terkena hepatitis B dan perlu disuntik atau dioperasi, maka saya atau
pun tenaga medis lainnya akan berpikir dua kali untuk melakukan operasi jika
mereka belum divaksin hepatitis B. Maka [MAT7] hati kami akan gusar dalam
menjalankan tugas kami, kita tidak tahu jika ada pasien yang luka, berdarah,
lalu kita bersihkan lukanya, kemudian ternyata diketahui bahwa dia berpenyakis
hepatitis B. Karena keyakinan sudah divaksinasi hepatitis B, maka hal itu
membuat kami bisa menjalaninya.
Begitu juga jika istri
mereka hendak melahirkan dan terkena hepatitis B, bidan yang membantu mereka
akan berpikir dua kali untuk membantu persalinan jika dia belum vaksin
hepatitis B. Karena hepatitis B termasuk penyakit kronis dengan prognosis
buruk, belum ditemukan dengan pasti obatnya.
Benarkah konspirasi dan
akal-akalan Barat dan Yahudi?
Untuk memastikan hal ini
perlu penelitian dan fakta yang jelas, dan sampai sekarang belum ada bukti yang
kuat mengenai hal ini. Walapun mereka kafir tetapi Islam mengajarkan tidak
boleh dzalim tehadap mereka, dengan menuduh tanpa bukti dan berdasar paranoid
selama ini. Begitu juga WHO sebagai antek-anteknya.
Malah yang ada adalah
bukti-bukti bahwa tidak ada konspirasi dalam hal ini, berikut kami bawakan
beberapa di antaranya:
1. Pro-kontra imunisasi
dan vaksin tidak hanya berada di Negara Islam dan Negara berkembang saja,
tetapi dinegara-negara barat dan Negara non-Islam lainnya seperti di Filipina
dan Australia
Sumber:
http://www.metrotvnews.com/ekonomi/news/2011/07/28/59298/Kelompok-Antivaksin-tak-Hanya-Ada-di-Indonesia
Pro-kontra imunisasi
sudah ada sejak Pasteur mengenalkan imunisasi rabies, sampai keputusan
imunisasi demam tifoid semasa perang Boer. Demikian juga penentang imunisasi
cacar di Inggris sampai membawanya di parlemen Inggris. Para Ibu di Jepang dan
Inggris menolak imunisasi DPT karena menyebabkan reaksi panas (demam). [Pedoman
Imunisasi di Indonesia hal. 361]
2. Amerika melakukan
imunisasi bagi pasukan perang mereka. Ini menjawab tuduhan bahwa imuniasi hanya
untuk membodohi Negara muslim dan sudah tidak populer di Negara barat, bahkan
mereka mengeluarkan jurnal penelitian resmi untuk meyakinkan dan menjawab pihak
kontra imunisasi. Salah satunya adalah jurnal berjudul, “Immunization
to Protect the US Armed Forces: Heritage, Current Practice, and Prospects” Sangat
lucu jika mereka mau bunuh diri dengan melemahkan dan membodohi pasukan perang
mereka dengan imunisasi.
Jurnal tersebut bisa di
akses di: http://epirev.oxfordjournals.org/content/28/1/3.full .
3. WHO juga sedang
meneliti pengembangan imunisasi tanpa menggunakan unsur binatang sebagaimana
kita jelaskan sebelumnya.
Uang di balik
imunisasi?
Jika memang ada bisnis
uang orang-orang Yahudi di balik imunisasi, maka ini perlu ditinjau lagi,
karena Indonesia sudah memproduksinya sendiri, misalnya PT. Bio Farma. Jika
memang mereka ingin memeras negara muslim, mengapa mereka tidak monopoli saja,
tidak memberikan teknologinya kepada siapa pun.
Imunisasi tidak menjamin
100%
Tidak ada yang obat yang
bisa menjamin 100% kesembuhan dan menjamin 100% pencegahan. Semua tergantung
banyak faktor, salah satunya adalah daya tahan tubuh kita. Begitu juga dengan
imunisasi, sehingga beberapa orang mempertanyakan imunisasi hanya karena
beberapa kasus penyakit campak, padahal penderita sudah diimunisasi campak.
Semua obat pasti ada
efek sampingnya
Bahkan madu,
habbatussauda, dan bekam juga ada efek sampingnya, hanya saja kita bisa
menghilangkan atau meminimalkannya jika sesuai aturan. Begitu juga dengan
imunisasi yang dikenal dengan istilah KIPI [Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi].
Misalnya, sedikit demam, dan ini semua sudah dijelaskan dan ada penanganannya.
Anak yang tidak
imunisasi lebih sehat?
Ada pengakuan bahwa
anaknya yang tidak diimunisasi lebih sehat dan pintar dari yang diimunisasi.
Maka kita jawab, bisa jadi itu karena faktor-faktor lain yang tidak terkait
dengan imunisasi, dan perlu dibuktikan. Banyak orang-orang miskin dan kumuh
anaknya lebih sehat dan lebih pintar dibandingkan mereka yang kaya dan pola
hidupnya sehat. Apakah kita akan mengatakan, jadi orang miskin saja supaya
lebih sehat? Kita tahu sebagian besar anak Indonesia diimunisasi dan lihatlah
mereka semuanya banyak yang pintar-pintar dan menjuarai berbagai olimpiade
tingkat internasional. Apakah kita kemudian akan mengatakan, ikut imunisasi
saja supaya bisa menjuarai olimpiade tingkat internasional? Sehingga, jangan
karena satu dua kasus, kemudian kita menyamakannya pada semua kasus.
Penelitian tentang
kegagalan imunisasi dan vaksin yang setengah-setengah
Umumnya
penelitian-penelitian ini adalah penelitian tahun lama yang kurang bisa
dipercaya, mereka belum memahami benar teori imunologi yang terus berkembang.
Kemudian tahun 2000-an muncul kembali yaitu peneliti Wakefield dan Montgomerry
yang mengajukan laporan penelitian adanya hubungan vaksin MMR dengan autism
pada anak. Ternyata penelitian ini tidak menggunakan paradigm epidemiologik,
tetapi paradigma imunologi atau biomolekuler yang belum memberikan bukti
shahih. Bukti juga masih sepotong-potong. Baik pengadilan London maupun redaksi
majalah yang memuat tulisan ini akhirnya menyesal dan menyatakan bukti yang
diajukan lemah dan kabur. [Pedoman Imunisasi di Indonesia hal 366-367]
Keberhasilan vaksin
memusnahkan cacar [smallpox] di bumi
Bukan cacar air [varicella]
yang kami maksud, tetapi cacar smallpox. Yang sebelumnya mewabah di berbagai
negara dan sekarang hampir semua negara menyatakan negaranya sudah tidak ada
lagi penyakit ini.
“Following their
jubilant announcement in 1980 that smallpox had finally been eradicated from
the world, the World Health Organization lobbied for the numbers of
laboratories holding samples of the virus to be reduced. In 1984 it was agreed
that smallpox be kept in only two WHO approved laboratories, in Russia and
America”
“Setelah pengumuman
gembira mereka pada tahun 1980 bahwa cacar akhirnya telah diberantas dari
bumi, WHO melobi agar jumlah laboratorium yang memegang sampel virus
bisa dikurangi. Pada tahun 1984, disepakati bahwa (virus) cacar hanya
disimpan di dua laboratorium yang disetujui WHO, yaitu di Rusia dan
Amerika.”
Sumber:
http://www.bbc.co.uk/history/british/empire_seapower/smallpox_01.shtml
Lihat bagaimana dua
negara adidaya saat itu yang saling berperang berusaha mendapatkan ilmu ini
dengan menyimpan bibit penyakit tersebut. Jika ini hanya main-main dan bohong
belaka, mengapa harus diperebutkan oleh banyak negara dan akhirnya dibatasi dua
Negara saja. Lihat juga karena vaksinlah yang menyelamatkan dunia dari wabah
saat itu, dengan izin Allah Ta’ala.
Dukung Imunisasi Polio
Pemerintah
Kita tidak boleh
memaksa, kita hanya bisa mengarahkan. Sama dengan wabah cacar, maka polio juga
menjadi sasaran pemusnahan di muka bumi. Oleh karena itu, semua orang harus
ikut serta sehingga virus polio bisa musnah di muka bumi ini. Jika ada beberapa
orang saja yang masih membawa virus ini kemudian menyebar, maka program ini
akan gagal. Di Indonesia pemerintah mencanangkannya dengan “Indonesia Bebas
Polio”. Mengingat penyakit in sangat berbahaya dengan kemunculan gejala yang
cepat.
Mungkin kita harus
belajar dari kasus yang terjadi di Belanda. Di sana, ada daerah-daerah yang
karena faktor religius, mereka menolak untuk divaksin, biasa disebut “Bible
Belt”, mereka tersebar di beberapa daerah di Belanda. Akibatnya, terjadi
outbreak (wabah) virus Measles antara tahun 1999-2000 dengan lebih dari 3000
kasus virus Measles dan setelah diteliti ternyata terjadi di daerah-daerah yang
didominasi oleh orang-orang Bible Belt. Padahal kita tahu, sejak vaksin Measles
berhasil ditemukan tahun 1965-an [sekarang vaksin MMR (Measles, Mumps,
Rubella)], kasus Measles sudah hampir tidak ada lagi.
Maka ini menjadi
pelajaran bagi kita, ketika daya tahan tubuh kita tidak memiliki pertahanan
tubuh spesifik untuk virus tertentu, bisa jadi kita terjangkit virus tersebut
dan menularkannya kepada orang lain bahkan bisa jadi menjadi wabah. Karena bisa
jadi, untuk membangkitkan daya tahan spesifik terhadap serangan virus tertentu
yang berbahaya, sistem imunitas kita kalah cepat dengan serangan virusnya,
sehingga bisa barakibat fatal. Dan inilah yang sebenarnya bisa dicegah dengan
imunisasi. Itulah mengapa pemerintah sangat ingin agar imunisasi bisa mencakup
hampir 100% anak, agar setiap orang mempunyai daya tahan tubuh spesifik
terhadap virus tersebut. [dua paragraf di atas adalah tambahan dari editor dr.
Muhammad Saifudin Hakim,Jazahumullahu khair atas tambahan ilmunya]
Keberhasilan teori
dimana teori tersebut menjadi dasar teori imunisasi
Imunisasi dibangun di
atas teori sistem imunitas (sistem pertahanan tubuh) dengan istilah-itilah yang
mungkin pernah didengar seperti antibodi, immunoglubulin, sel-B, sel-T,
antigen, dan lain-lain. Teori inilah yang melandasi ilmu kedokteran barat yang
saat ini digunakan oleh sebagian besar masyarakat dunia. Dan sudah terbukti.
Bagaimanakah sebuah obat
penekan sistem imunitas bekerja seperti kortikosteroid, bagaimana obat-obat
yang mampu meningkatkan sistem imun. Bahkan habbatussauda pun diteliti dan
sudah ada jurnal kedoktean resmi yang menyatakan bahwa habbatussauda dapat
meningkatkan sistem imun. Semua dibangun di atas teori ini. Dan masih banyak
lagi, misalnya vaksin bisa ular. Bagaimana seorang yang digigit ular berbisa
kemudian bisa selamat dengan perantaraan vaksin ini. Vaksin tetanus, rabies,
dan lain-lainnya
Demikian yang dapat kami
jabarkan, kami tidak memaksa harus mendukung imunisasi. Tetapi
silahkan para pembaca yang menilai sendiri. Yang terpenting adalah
kami telah menyampaikan cara menyikapi pro dan kontra imunisasi.Kami juga
tetap berkeyakinan bahwa pengobatan nabawi adalah yang terbaik, seperti madu,
habbatussauda, dan lain-lain. Sehingga jangan ditinggalkan hanya karena sudah
diimunisasi.
Semoga bermanfaat bagi
kaum muslimin. Kami terbuka untuk berdiskusi karena belum tentu kami yang
benar. Kebenaran hanya milik Allah Ta’ala semata.
Alhamdulillahilladzi bi
ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala
alihi wa shohbihi wa sallam.
Disempurnakan di Lombok,
pulau seribu masjid
22 Syawwal 1432 H,
Bertepatan 21 September 2011
Penyusun: dr. Raehanul
Bahraen
Semoga Allah meluruskan
niat kami dalam menulis.
Artikel
http://muslimafiyah.com
Muraja’ah:
1. Ustadz Aris Munandar,
SS. MA.
Guru agama kami, kami
banyak mengambil ilmu agama dari beliau
2. Ustadz Muhammad Abduh
Tuasikal, ST.
Senior dan guru bahasa
Arab kami, sering membimbing dan menyemangati kami dalam menuntut ilmu agama,
beliau adalah mahasiswa Jami’ah Malik Su’ud Riyadh KSA (Master of Chemical
Engineering), rutin mengikuti kajian harian Syaikh Sholeh Al Fauzan dan kajian
pekanan Syaikh Sa’ad Asy Syatsri.
Editor medis: dr. Muhammad Saifudin
Hakim
seorang penulis buku,
dosen di Fak. Kedokteran UGM, kakak tingkat kami di Fakultas Kedokteran UGM
sedang menempuh S2
Research Master of Infection and Immunity
di Erasmus University
Medical Centre Rotterdam, Netherlands
Semoga Allah menjaganya
di sana dan pulang ke Indonesia dengan Ilmu yang dibawa.