Sabtu, 23 Januari 2016

Prosedur Pembuatan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK)

Wike Astrid Cahayani
Suasana pembuatan SKCK di Kantor Kepolisian Resort Kota Malang

Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), atau yang dulunya beken dengan nama Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB), pada umumnya dibutuhkan untuk membuat KTP baru (jika sebelumnya hilang), pindah ke tempat yang baru, membuat Kartu Keluarga (KK) baru, atau sebagai syarat pelengkap melamar pekerjaan. Prosedur pembuatan SKCK ini ternyata gampang-gampang susah lho. Mengapa demikian? Pasalnya saya harus bolak-balik tiga kali ke Kantor Kepolisian Resort Kota Malang. Hmm, yang pertama tanpa hasil karena datang di luar jam pelayanan, yang kedua ditolak karena syarat atau berkas dokumen tidak lengkap, dan barulah berhasil pada kesempatan ketiga. Useless sekali saya ini, hahaha... Jadi, sebelum ke kantor polisi, ada baiknya kita perhatikan jam-jam pelayanan SKCK sebagai berikut. Pengalaman saya yang datang di hari Sabtu malah terasa agak sepi dibandingkan hari-hari kerja, mungkin banyak orang mengira bahwa di hari Sabtu kantor kepolisian tutup.
Jam operasional pelayanan SKCK. Bikin gigit jari datang saat tutup, duh!
Anyway, saya akan berbagi mengenai cara dan syarat pembuatan skck yang sebenarnya sederhana, supaya para pembaca terhindar dari keribetan seperti yang saya alami *smile*. Simak yaa!
Persyaratan lengkap pembuatan SKCK di Kantor Kepolisian Resort Kota Malang
Pertama, dan yang paling penting, siapkan berkas-berkas penunjang pembuatan SKCK. Ada baiknya juga dikopi lebih dari satu salinan. Awalnya, saya menyiapkan fotokopi KTP dan KK, lalu meminta surat pengantar pada Ketua RT dan RW setempat. Selanjutnya, saya pergi ke Kantor Kelurahan sembari membawa berkas-berkas tersebut untuk memperoleh surat pengantar dari Kelurahan. Saat meminta surat pengantar di Kantor Kelurahan ini, kadang-kadang kita juga dimintai fotokopi bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terbaru yang biasanya dibayarkan via Bank, tapi pada saat kesempatan lalu saya tidak diminta untuk memberikan bukti tersebut.

Setelah memperoleh surat pengantar dari Kelurahan, saya melanjutkan proses pembuatan SKCK di Kantor Kepolisian Resort Kota Malang. Pengalaman di kantor polisi kemarin tidak ada nomor antrian dan semacamnya seperti waktu kita antri di bank atau institusi lain, jadi harus siap pasang badan mengantri dan kuat menunggu supaya suratnya bisa langsung jadi di hari yang sama. Untuk pembuatan SKCK baru, siapkan berkas sebagai berikut:

1. Surat pengantar dari RT/RW, atau Kelurahan setempat
2. Fotokopi KTP
3. Fotokopi KK
4. Fotokopi akte kelahiran
5. Fotokopi identitas lain (bagi yang belum memenuhi syarat memiliki KTP)
6. Pas Foto ukuran 4 x 6 sebanyak 6 lembar (WNI: latar belakang warna merah, WNA: latar belakang warna biru)
7. Biaya pembuatan SKCK yang nantinya masuk ke dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 10.000,-

Setelah semua berkas lengkap dan diverifikasi oleh petugas, kita akan diberi sejumlah formulir yang harus diisi di kantor polisi. Usahakan mengisi selengkap dan secepat mungkin, supaya kita tidak perlu mengantri di tahapan berikutnya. Oiya, pada saat pengisian formulir ini, ada salah satu pertanyaan tentang paspor dan kunjungan ke luar negeri. Harap dijawab dengan benar ya, dan siapkan juga fotokopi paspor kita, kalau-kalau diminta oleh petugas. 

Selanjutnya, kita bawa berkas dan formulir tadi ke bagian sidik jari. Alhamdulillah kemarin saya tanpa mengantri, jadi bisa langsung cap sidik jari sama petugas. Satu hal penting, terutama buat kaum hawa, jangan lupa bawa tisu basah, sapu tangan, atau semacamnya, karena setelah cap sidik jari tangan kita akan full belepotan tinta. Sebenarnya sudah disediakan alkohol cair dan lap sama petugas, tapi karena yang bikin cap sidik jari juga banyak, bisa kebayang kan lap nya gimana... wkwkwk.

Beres di bagian sidik jari, berkas-berkas tadi kita kembalikan pada petugas di bagian awal yang melayani SKCK. Jangan lupa siapkan uang pas yaa, karena kalau nggak pas 10ribu pasti disuruh nyari uang pas dulu, hehehe. Kemudian, petugas akan mengentri seluruh data kita dan membuat SKCK. Setelah SKCK jadi, jangan langsung pulang dulu yaa, segera cari fotokopi terdekat dan langsung fotokopi SKCK nya sebanyak 5 (lima) lembar, lalu kembali ke petugas tadi. Di sana, kita bisa minta legalisir SKCK gratis. Nah, dari sini berkas SKCK kita benar-benar udah ready dan siap dibawa pulang. Alhamdulillah, sejauh yang saya alami para petugas yang melayani sangat cepat dan ramah, terlepas dari banyak berita bahwa birokrasi administrasi di Indonesia sering mbulet dan njelimet. Harapannya, semoga pelayanan pembuatan SKCK bisa lebih baik dan lebih prima, dan tidak hanya SKCK juga sih, administrasi-administrasi yang lain harapannya juga jauh dari kata ribet *smile*.

Ringkasan mekanisme/prosedur pembuatan SKCK
Adapun untuk perpanjangan SKCK lama, berkas yang dibutuhkan kurang lebih sama seperti pembuatan SKCK baru. Ditambah lagi, harus disertai dengan SKCK lama asli dan/atau fotokopi legalisir. Saya kurang yakin apakah perpanjangan SKCK juga harus mengambil sidik jari ulang, tapi dari pengamatan kemarin sih sepertinya hanya perlu membawa berkas-berkas dan mengisi formulir. Oiya SKCK lama maksimal telah habis masanya selama 1 tahun, kalau lebih lama dari itu biasanya akan diminta membuat SKCK baru.

Demikian sharing prosedur pembuatan SKCK, semoga bermanfaat yaa...

Selasa, 12 Januari 2016

Perbandingan Lokalisasi Filamen Aktin pada Ependimosit Menggunakan Mikroskop Fluoresen dan Mikroskop Elektron Transmisi

Wike Astrid Cahayani

Sistem saraf merupakan salah satu sistem yang bertanggung jawab dalam pengaturan fungsi tubuh. Sebagaimana sistem tubuh lainnya, sistem saraf juga dibangun oleh sel sebagai satuan unit terkecilnya, yang disebut sebagai sel neuron. Sel neuron merupakan unit fungsional dasar dari sistem saraf yang bertugas menerima dan meneruskan sinaps, sehingga tercapai komunikasi dan interaksi antara individu dengan lingkungan sekitarnya (Guyton dan Hall, 2007).
Selain neuron, terdapat sel-sel lain yang membantu memenuhi peran sistem saraf sebagai pengatur fungsi tubuh, yang disebut sebagai sel neuroglia (sel glia). Sel glia berperan penting dalam sistem saraf, antara lain menyokong terjadinya homeostasis, fiksasi bagi sel neuron, memberikan proteksi, serta suplai nutrisi dan oksigen pada sel neuron. Dibandingkan sel neuron, jumlah sel glia lebih mendominasi di sistem saraf pusat, di mana jumlahnya dapat mencapai 90% dari seluruh sel saraf. Meskipun demikian, oleh karena berukuran relatif lebih kecil dan tidak memiliki akson dan dendrit sebanyak sel neuron, sel glia hanya memenuhi sekitar separuh dari volume otak (Purves et al., 2001).
Selama lebih dari seratus tahun, para peneliti memahami bahwa sel glia berbeda dari sel neuron oleh karena sel glia tidak berpartisipasi langsung dalam penghantaran sinaps. Akan tetapi, terdapat penelitian pada tahun 2010 yang menyimpulkan bahwa sel glia (astrosit) juga berperan dalam mengontrol fisiologi pernapasan (Gourine et al., 2010), serta membantu terbentuknya koneksi sinaps antar sel neuron (Wolosker et al., 2008).
Pada sistem saraf pusat terdapat beberapa macam sel glia, antara lain astrosit, oligodendrosit, mikroglia, dan sel ependimal (ependimosit). Ependimosit merupakan sel-sel yang melapisi ventrikel otak yang berisi cairan serebrospinal dan kanalis sentralis medula spinalis (Li et al., 2009). Ependimosit berbentuk kuboid atau kolumner dan terdapat silia pada bagian apikalnya, di mana silia tersebut membantu sirkulasi cairan serebrospinal yang beredar di sistem saraf pusat. Di samping itu, juga terdapat mikrovili pada bagian apikalnya yang berfungsi mengabsorbsi cairan serebrospinal. Selain bertugas mengatur dan mengabsorbsi, sekelompok ependimosit bersama dengan kapiler darah membentuk suatu sistem yang disebut sebagai pleksus koroid yang dapat memproduksi cairan serebrospinal (Guyton dan Hall, 2007).
Oleh karena berperan sebagai barier antara cairan serebrospinal dengan darah, dibutuhkan suatu mekanisme yang dapat mempertahankan integritas ependimosit dengan baik. Integritas ependimosit ini sangat bergantung pada organisasi unik yang dibangun oleh mikrofilamen (Li et al., 2009). Adanya defek pada mikrofilamen akan menyebabkan gangguan pada fungsi ependimosit sebagai epitel pada ventrikel maupun kanalis sentralis. Sementara itu, filamen aktin (F-actin) telah diketahui sebagai komponen utama dari mikrofilamen. Pada level mikroskop cahaya, baik filamen aktin maupun monomernya, sebagian besar terdeteksi pada bagian apikal dari ependimosit. Jalinan filamen aktin apikal tersebut menampakkan adanya perbedaan dari aspek regional yang terkait dengan bentuk, ukuran, dan perkembangan ependimosit (Li et al., 2007, 2008). Namun, oleh karena minimnya lokalisasi filamen aktin yang sifatnya presisi pada ependimosit, mengakibatkan peran filamen aktin pada ependimosit masih menjadi sebuah teka-teki.
Untuk mengetahui peran filamen aktin pada ependimosit, Li dan kolega (2009) meneliti tentang lokalisasi filamen aktin dan relasi spasial antara filamen aktin dengan komponen sitoskeleton lain pada ependimosit. Akan tetapi, selain karena ukurannya yang relatif kecil dan sensitivitasnya terhadap proses fiksasi dan dehidrasi, adanya komponen sitoskeleton yang sangat berlimpah dalam suatu sel mengakibatkan filamen aktin menjadi sangat sulit dipelajari. Untuk mengatasi hal tersebut, Li dan kolega (2009) menggunakan suatu metode deteksi yang menggabungkan pelabel fluoresen FITC (Fluorescein isothiocyanate) dengan phalloidin, di mana phalloidin telah dikenal sebagai penanda filamen aktin dengan spesifisitas yang sangat tinggi. Li dan kolega (2009) menerapkan metode imunohistokimia dengan penggunaan FITC-phalloidin dan antibodi terhadap FITC (anti-FITC) karena material dan protokol tersebut dapat diterapkan pada pengamatan dengan mikroskop cahaya maupun mikroskop elektron.

Metode Penelitian Li et al. (2009)
·         Hewan coba
Hewan coba yang digunakan adalah tikus Sprague-Dawley berjenis kelamin betina dan berjumlah tujuh ekor. Penggunaan hewan coba dalam penelitian telah memenuhi kelaikan etik dari institusi yang bersangkutan.
·         Pengamatan dengan Mikroskop Fluoresen
Metode imunohistokimia diterapkan pada preparat jaringan tikus yang mengandung ependimosit dan pleksus koroid. Antibodi primer yang digunakan adalah antibodi monoklonal anti-α-tubulin yang mendeteksi mikrotubulus, antibodi monoklonal anti-vimentin yang mendeteksi filamen intermediet vimentin, antibodi poliklonal (guinea pig) terhadap sitokeratin 8/18, dan antibodi monoklonal anti-pan sitokeratin. Bufer fosfat (PB) 0,1 M digunakan sebagai kontrol terhadap antibodi primer.
Adapun antibodi sekunder yang digunakan adalah antibodi sekunder yang dikonjugasikan dengan probe Alexa Fluor, yang meliputi Alexa 594-goat anti-guinea pig IgG antibody yang mendeteksi anti-sitokeratin 8/18 guinea pig, serta Alexa 594-goat anti-mouse IgG antibody yang mendeteksi antibodi monoklonal anti-α-tubulin, antibodi monoklonal anti-vimentin, dan anti-pan sitokeratin. Selanjutnya, diaplikasikan FITC-phalloidin selama satu jam, kemudian direaksikan dengan 4-6-diamidino-2-phenylindole (DAPI) yang digunakan untuk mewarnai nukleus.
Preparat kemudian di-mounting dengan Immu-Mount dan diperiksa dengan laser scanning confocal microscope dengan panjang gelombang 358 nm untuk DAPI, 488 nm untuk FITC, dan 594 nm untuk Alexa 594 nm.
·         Pengamatan dengan Mikroskop Elektron Transmisi
Pada pengamatan preparat tikus dengan mikroskop elektron, digunakan metode avidin-biotin-peroxidase complex (ABC method). Sebelum dibloking dengan larutan yang mengandung bovine serum albumin (BSA), diberikan perlakuan dengan 3% H2O2 pada preparat untuk menghilangkan peroksidase endogen. Setelah proses bloking, preparat diinkubasi dengan FITC-phalloidin. Kemudian, preparat di-mounting dan diperiksa dengan laser scanning confocal microscope dengan panjang gelombang 488 nm.
Selanjutnya, preparat dibilas dengan PB dan dipindahkan dari kaca objek. Sampel diinkubasi dengan anti-FITC yang dikonjugasikan dengan biotin selama 2 hari dan dilanjutkan dengan metode ABC selama 1 jam. Setelah itu, diberikan substrat DAB agar terjadi aktivitas peroksidase.
Beberapa preparat yang terwarnai melalui pemberian DAB difiksasi dengan glutaraldehid yang mengandung asam tannit, kemudian difiksasi dengan OsO4. Perlakuan tersebut bermanfaat melindungi filamen aktin dari destabilisasi selama proses osmikasi dan dehidrasi. Selanjutnya, preparat yang terwarnai oleh DAB dan prreparat yang tidak terwarnai didehidrasi dengan ethanol.
Kemudian, kedua jenis preparat tersebut dipotong dengan ultramikrotom. Preparat yang tidak terwarnai akan diwarnai dengan 4% uranil asetat dan 0,3% sitrat, lalu diperiksa dengan mikroskop elektron transmisi. Adapun sampel yang terwarnai oleh DAB juga diperiksa dengan mikroskop elektron transmisi tanpa kontras logam berat.

Hasil Penelitian Li et al. (2009)
·         Pengamatan dengan Mikroskop Fluoresen terhadap Filamen Aktin, Mikrotubulus, dan Filamen Intermediet di Ependimosit
Gambar 1. Hasil pengamatan dengan mikroskop fluoresen yang menggambarkan lokalisasi filamen aktin, α-tubulin, dan vimentin di kanalis sentralis.

Dari gambar 1A dan 1D, terlihat bahwa region apikal ependimosit pada kanalis sentralis terwarnai  dengan jelas dengan pewarnaan FITC-phalloidin. Filamen aktin tampak membentuk struktur seperti cincin di bagian apikal ependimosit, sedangkan bagian lateral sel tampak kurang memberikan sinyal fluoresen.
Pada gambar 1 B, α-tubulin di kanalis sentralis terdominasi di protrusi sitoplasma ependimosit. Pelabelan ganda menunjukkan bahwa struktur yang menonjol ke dalam lumen tersebut tidak mengandung filamen aktin (Gambar 1C). Sitokeratin tidak menunjukkan adanya reaksi imunohistokimia di kanalis sentralis terhadap anti-sitokeratin 8/18 maupun anti-pan sitokeratin (data tidak ditampilkan). Sebaliknya, vimentin ditemukan sebagai komponen filamen intermediet yang utama (Gambar 1E). Filamen vimentin yang terletak di regio apikal juga terlihat melingkar dengan filamen aktin, dan sebagian tampak tumpang tindih dengan cincin filamen aktin (Gambar 1F).  Bundel filamen vimentin tampak seperti struktur akar yang menyebar dari regio apikal ke zona subependimal.
Pada pleksus koroid, pewarnaan FITC-phalloidin menunjukkan gambaran sabuk cerah halus dan tidak terputus sepanjang perbatasan apikal (Gambar 2A dan 2D). Sitoplasma dari ependimosit tampak kurang terwarna, namun terdapat beberapa sinyal fluoresensi di stroma pleksus koroid. Sitoplasma perinuklear dari ependimosit pada pleksus koroid terlabel dengan anti-α-tubulin secara intens (Gambar 2B), tetapi protrusi untuk α-tubulin tampak kurang terlihat pada permukaan luminal dari pleksus koroid (Gambar 2C). Sitokeratin 8/18 ditemukan sebagai komponen utama filamen intermediet pleksus koroid, dan terlokalisasi dalam sitoplasma perinuklear ependimosit koroid (Gambar 2E). Di sisi lain, sinyal positif bagi vimentin hanya teramati pada stroma tapi tidak teramati di ependimosit koroid (data tidak ditampilkan). Pelabelan ganda menunjukkan bahwa α-tubulin dan sitokeratin terdistribusi di bawah jaringan filamen aktin apikal, dengan co-lokalisasi parsial filamen aktin di bagian perinfer jaringan filamen aktin apikal (Gambar 2C dan 2F).


Gambar 2. Hasil pengamatan dengan mikroskop fluoresen yang menggambarkan lokalisasi filamen aktin, α-tubulin, dan vimentin di pleksus koroid.

·         Lokalisasi Filamen Aktin di Ependimosit yang Terdeteksi Melalui Mikroskop Elektron Transmisi
Melalui metode berbasis FITC-phalloidin dan anti-FITC, pelabelan fluoresensi dari filamen aktin yang dikonversi menjadi produk reaksi DAB dapat diamati dengan mikroskop cahaya. Distribusi keseluruhan produk reaksi untuk filamen aktin sejalan dengan yang diperoleh dari hasil pewarnaan FITC- phalloidin dan hasil pengamatan dengan mikroskop konfokal (Gambar 3 dan 4). Kekhasan konversi ini selanjutnya dikonfirmasikan dengan menghilangkan FITC-phalloidin (Gambar 3A dan 3E) atau dengan menghilangkan anti-FITC (Gambar 3B dan 3F) dalam prosedur imunositokimia. Wilayah apikal ependimosit hasil reaksi peroksidase/DAB terlabel secara intens, baik pada kanalis sentralis (Gambar 3) maupun pleksus koroid (Gambar 4). Seperti yang diamati dengan mikroskop konfokal, bagian lateral sel pada kanalis sentralis menunjukkan pewarnaan yang kurang intens. Hampir tidak ada perbedaan yang bermakna dalam distribusi filamen aktin yang terlihat pada sampel dengan perlakuan H2O2 (Gambar 3C dan 3G) maupun tanpa H2O2 (Gambar 3D dan 3H), meskipun penggunaan H2O2 masih sering digunakan dalam prosedur imunositokimia. Oleh karena itu, hasil yang diperoleh dari sampel tanpa perlakuan H2O2 juga ditampilkan dalam penelitian Li et al. (2009).


Gambar 3. Perbandingan pewarnaan filamen aktin di kanalis sentralis dengan pengamatan mikroskop fluoresen dan mikroskop cahaya.


Gambar 4. Perbandingan pewarnaan filamen aktin di pleksus koroid dengan pengamatan mikroskop fluoresen dan mikroskop cahaya.

Di bawah mikroskop elektron, produk reaksi untuk filamen aktin terutama terlokalisasi pada daerah apikal di kanalis sentralis (Gambar 5). Mikrovili terlabel secara dari ujung bawah ke dalam sitoplasma apikal. Di bawah mikrovili, ada jaringan filamen aktin yang terlabel secara intens dan tampak melingkar, berhubungan dengan sitoplasma melalui intermediet junctions (Gambar 5A, 5C, dan 5D). Daerah sitoplasma dari intermediet junctions menunjukkan adanya penebalan berwarna gelap (panah dalam Gambar 5D). 


Gambar 5. Lokalisasi ultrastruktural filamen aktin di kanalis sentralis dari hasil pengamatan dengan mikroskop elektron.

Dengan membandingkan gambar hasil pengamatan mikroskop fluoresen dan mikroskop elektron, jaringan filamen aktin yang tampak melingkar, yang disebut terminal web, terlihat sebagai struktural yang ekuivalen (dari batas luar cincin filamen aktin), sedangkan lebar cincin filamen aktin terbukti sebagai jarak antara terminal web dengan ujung mikrovili melalui pengamatan mikroskop cahaya (Gambar 5A dan 5B). 
Tidak seluruh sitoplasma antara mikrovili dan terminal web terlabel sempurna. Bagian distal dari silia yang menonjol ke lumen tampak kurang terwarna (Gambar 5A), tetapi basal bodies tampak terwarna gelap (Gambar 5C). Filamen intermediet tidak terlabel, tetapi filamen  intermediet sering ditemukan terhubung dengan bundel filamen aktin (Gambar 5D). 


Gambar 6 (kiri): Hasil pengamatan kontrol negatif dengan mikroskop elektron. Tidak tampak adanya pelabelan pada regio apikal di kanalis sentralis dari kontrol negatif. Gambar 7 (kanan): Hasil pengamatan dengan mikroskop elektron yang menunjukkan daerah kapiler (inset). Pelabelan filamen aktin secara intens terlihat kontinyu di sepanjang tepi luminal dari sel endotel (panah).

Di sisi lain, tidak terlihat adanya pelabelan pada kontrol negatif, meskipun terminal web juga terlihat di daerah apikal kanalis sentralis (Gambar 6).
Pembuluh darah dengan berbagai ukuran tampak pada substansia nigra korda spinalis, yang menunjukkan pelabelan filamen aktin yang sempurna di bawah mikroskop konfokal, sehingga digunakan sebagai kontrol positif. Pengamatan kapiler di tingkat ultrastruktural mengungkapkan pewarnaan yang kontinyu dan intens di tepi luminal dari sel endotel (Gambar 7). 
Pada pleksus koroid, mikrovili terlabel secara intens, sedangkan di sebagian sitoplasma tampak kurang terwarna dengan baik (Gambar 8A). Ependimosit koroid yang ditandai dengan sejumlah besar mikrovili pleomorfik, memperlihatkan adanya bulatan pada bagian ujung apeks. Filamen aktin terlihat di sepanjang mikrovili, tapi lebih sering tidak tampak pada bulatan di bagian ujung apeks. Silia jarang ditemui. Meskipun ada pewarnaan yang tidak sempurna yang memperluas gambaran mikrovili, tidak ada terminal web yang cukup teramati di bawah mikrovili (Gambar 8B dan 8C). Hasil tersebut juga telah dikonfirmasi dengan kontrol negatif (Gambar 8D).


Gambar 8. Hasil pengamatan dengan mikroskop elektron menunjukkan lokalisasi filamen aktin pada pleksus koroid.

Dari hasil penelitian Li et al. (2009) dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa perbedaan pada komposisi sitoskeleton dan organisasi dalam dua jenis sel (ependimosit di kanalis sentralis dan ependimosit di pleksus koroid). Pertama, ependimosit di kanalis sentralis hanya berisi vimentin tetapi tidak sitokeratin, sehingga membedakannya dari ependimosit koroid, meskipun kedua sitokeratin 8/18 dan vimentin pernah dilaporkan terdapat pada dinding ventrikel serebral tikus. Vimentin tersusun sebagai jaringan yang terpolarisasi di sekitar kanalis sentralis, sedangkan sitokeratin tampak lebih merata di sitoplasma perinuklear  ependimosit koroid. Perbedaan kedua adalah protusi yang tersusun dari mikrotubulus jumlahnya jauh lebih berlimpah di kanalis sentralis, tetapi tidak didapatkan pada pleksus koroid. Hal ini sejalan dengan fakta bahwa ependimosit koroid memiliki silia yang lebih sedikit dibandingkan ependimosit kanalis sentralis. Selain itu, meskipun filamen aktin terlokalisir terutama di sitoplasma apikal ependimosit, apikal filamen aktin di kanalis sentralis memiliki gambaran seperti cincin, sedangkan filamen aktin di pleksus koroid tampak sebagai organisasi yang halus dan tidak terputus.
Pada akhirnya, penelitian Li et al. (2009) telah menunjukkan gambaran ultrastruktural dari filamen aktin pada kanalis sentralis yang berhubungan dengan intermediate junctions di antara sel-sel yang berdekatan. Jaringan filamen aktin tersebut disokong oleh filamen intermediet yang tersusun dari vimentin. Penelitian Li et al. (2009) juga menyimpulkan peran dari filamen aktin yang berada pada sisi apikal. Bersama dengan filamen intermediet, filamen aktin dapat mentransmisikan tegangan dari satu sel ke sel yang lain, sehingga berperan dalam mempertahankan integritas struktural dari kanalis sentralis.
Dari segi metode, penelitian Li et al. (2009) merupakan penelitian yang menarik oleh karena menggabungkan pengamatan mikroskop cahaya, mikroskop fluoresen, dan mikroskop elektron transmisi. Di samping itu, prosedur imunohistokimia yang digunakan dalam penelitian diuraikan dengan sangat detail, sehingga memudahkan peneliti lain untuk menggunakan metode yang sama maupun melakukan modifikasi terhadap metode yang digunakan. Penelitian ini tidak hanya menyimpulkan dari segi struktur sitoskeleton yang menyusun ependimosit di kanalis sentralis maupun pleksus koroid, tetapi juga berusaha mengaitkan hasil penelitian dengan teori-teori yang sudah ada mengenai kemungkinan peran dari filamen aktin pada ependimosit, sehingga hal ini menjadi nilai tambah bagi penelitian Li et al. (2009).

Referensi:Guyton A.C. dan Hall J.E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 11. Jakarta: EGC.

Gourine A.V., Kasymov V., Marina N., et al.  2010. Astrocytes control breathing trough pH-dependent release of ATP. Science. 329: 571-575.


Li Y.C., Bai W.Z., Hashikawa T. 2007. Regionally varying F-actin network in the apical cytoplasm of ependymocytes. Neurosci Res 57: 522-530.


Li Y.C., Bai W.Z., Hashikawa T. 2008. Postnatal reorganization of F-actin in the central canal of the spinal cord in the rat. Brain Res. 1239: 100-106.


Li Y.C., Bai W.Z., Sakai K., dan Hashikawa T. 2009. Fluorescence and Electron Microscopuc Localization of F-actin in the Ependymocytes. J Histochem Cytochem. 57: 741-751.


Purves D., Augustine  G.J., Fitzpatrick D., et al (eds). 2001. Neuroscience, 2nd ed. Sunderland (MA): Sinauer Associates.Wolosker H., Dumin E., Balan L., Foltyn V.N. 2008. Amino acids in the brain: d-serine in neurotransmission and neurodegeneration. FEBS J. 275: 3514-3526

Sabtu, 02 Januari 2016

Perbedaan Ekspresi Glikosaminoglikan (GAG) pada Zebrafish (Danio rerio) selama Skeletogenesis

Wike Astrid Cahayani

Glikosaminoglikan (GAG) merupakan polisakarida panjang tidak bercabang yang dibentuk dari pengulangan unit-unit disakarida yang mengandung derivat gula amin (heksosamin), contohnya glukosamin atau galaktosamin, dan mengandung asam uronat (asam glukuronat atau asam iduronat) atau galaktosa. Salah satu gula penyusun dari unit disakarida tersebut minimal memiliki gugus karboksil bermuatan negatif atau gugus sulfat (Berg et al., 2002). Heksosamin, asam uronat, dan galaktosa di setiap unit disakarida dapat disubstitusi dengan gugus sulfat pada gula hidroksilnya, pada posisi 2, 4, dan 6 melalui aktivitas enzim sulfotransferase yang berbeda, sehingga hal ini akan menyebabkan heterogenitas struktur GAG dalam suatu individu (Caterson, 2012).
Glikosaminoglikan terdapat pada matriks ekstraseluler dan cairan biologis dari vertebrata, di mana karbohidrat kompleks ini berinteraksi dengan ratusan protein dan memainkan banyak peran penting dalam tubuh (Frazier et al., 2008). Pada umumnya, GAG akan terikat pada protein untuk membentuk proteoglikan. Proteoglikan lebih cenderung menyerupai karbohidrat daripada menyerupai protein, lantaran 95% berat biomolekulnya tersusun oleh karbohidrat. Proteoglikan berfungsi sebagai lubrikan dan komponen struktural pada jaringan pengikat, mediator adhesi sel pada matriks ekstraseluler, dan salah satu faktor yang menstimulasi proliferasi sel (Berg et al., 2002).
Kelompok utama GAG terdiri atas kondroitin sulfat, keratan sulfat, heparin/heparan sulfat, dermatan sulfat, dan hialuronat (Frazier et al., 2008). Heparan sulfat memiliki kemiripan dengan heparin, akan tetapi heparan sulfat mempunyai gugus N- dan O-sulfat yang lebih sedikit dan gugus asetil yang lebih banyak dibandingkan heparin (Berg et al., 2002). Heparan sulfat, kondroitin sulfat, dan dermatan sulfat akan diikatkan secara kovalen dengan proteoglycan core protein pada saat berada di Golgi melalui sambungan trisakarida (Galactose-Galactose-Xylose) dengan residu serin atau treonin pada protein. Keratan sulfat akan diikatkan dengan proteoglycan core protein melalui N-linked oligosaccharide atau O-linked oligosaccharide yang melekat ke residu asparagin. Hyaluronat merupakan satu-satunya disakarida penyusun GAG yang agak unik karena tidak memiliki gugus sulfat dan tidak dihubungkan dengan core protein, serta disekresikan secara langsung oleh sel ke ruang ekstraseluler (Frazier et al., 2008).
Zebrafish (Danio rerio) merupakan organisme yang populer sebagai model hewan coba yang mewakili vertebrata, oleh karena kemampuannya dalam berkembang biak yang sangat baik serta aspek morfologi dan fisiologinya yang mirip dengan mamalia (Zhang et al., 2009). Sebagai model vertebrata, keunggulan zebrafish dibandingkan tikus, antara lain memiliki siklus hidup yang pendek, dapat dipelihara dengan biaya rendah, dan dapat dilakukan manipulasi genetik dengan mudah. Di samping itu, model zebrafish mutan yang menunjukkan adanya defek pada sintesis proteoglikan maupun sulfasilasi pada GAG dapat menyerupai kondisi penyakit yang berhubungan dengan sistem rangka pada manusia (Wiweger et al., 2011).
Penelitian menggunakan HPLC (high performance liquid chromatography) dan mass spectrometry telah menguraikan diversitas struktur GAG pada spesies zebrafish. Meskipun terdapat penelitian awal yang melaporkan bahwa zebrafish tidak memiliki heparan sulfat sebagai penyusun glikosaminoglikannya (Souza et al., 2007), terdapat penelitian lain yang menunjukkan hasil yang sebaliknya, bahwa embrio zebrafish yang sedang berkembang memiliki kondroitin sulfat maupun heparan sulfat, dan ekspresi dari disakarida penyusun GAG tersebut bersifat dinamis dan diregulasi secara luas (Zhang et al., 2009). Oleh karena bersifat dinamis, komposisi GAG mengalami perubahan dalam setiap tahapan perkembangan zebrafish yang teramati pada fase 0,5 hari, 1 hari, 5 hari dan fase dewasa. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan tersebut (dari segi kuantitas) berperan dalam fungsi yang berbeda di setiap tahap perkembangannya, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui peran GAG dalam perkembangan zebrafish.
Hasil penelitian Hayes dan kolega (2013) menjadi salah satu penguat bagi temuan Zhang et al. (2009), di mana penelitian tersebut melaporkan bahwa zebrafish memiliki heparan sulfat dan kondroitin sulfat, dan keduanya terekspresi secara luas pada sistem rangka zebrafish. Perbedaan pada kedua penelitian tersebut terletak pada metode yang digunakan untuk menganalisis disakarida penyusun GAG, di mana Zhang et al. (2009) meggunakan metode HPLC sedangkan Hayes et al. (2013) menggunakan antibodi monoklonal yang mengenali heparan sulfat dan kondroitin sulfat dalam pemeriksaan imunohistokimia.
Heparan sulfat pada proteoglikan telah diketahui berperan penting dalam memodulasi sinyal selama terjadi skeletogenesis pada vertebrata (Farach-Carson et al., 2005). Pada penelitian Hayes et al. (2013), heparan sulfat terdistribusi secara luas pada sistem rangka zebrafish di tahap perkembangan awal, dengan komposisi terbesar pada kartilago kraniofasial. Adanya heparan sulfat pada jaringan pengikat yang berbeda pada zebrafish mengkonfirmasi keterlibatan GAG dalam skeletogenesis, di mana defek pada heparan sulfat akan mengakibatkan abnormalitas morfologi dan fungsi dari jaringan pengikat zebrafish (Wiweger et al., 2011). Selain itu, pentingnya heparan sulfat juga dibuktikan dalam penelitian Holmborn et al. (2012) yang menyimpulkan bahwa biosintesis heparan sulfat akan lebih diprioritaskan dibandingkan biosintesis kondroitin sulfat pada zebrafish yang mengalami mutasi UDP-glucuronate decarboxylase 1 (uxs1) dan beta-1,3-glucuronosyltransferase 3 (b3gat3).
Dari seluruh fase perkembangan yang diamati, kondroitin sulfat cenderung terekspresi di sistem rangka aksial zebrafish. Hal ini terlihat pada usia 3 hari setelah fertilisasi (day-post-fertilization, dpf), kondroitin sulfat terekspresi di sekitar notokorda. Adapun pada usia 4 dpf, kondroitin sulfat juga terekspresi kuat di sekitar notokorda dan sebagian kecil terekspresi lemah di sekitar intersomit. Pada usia 8 dpf, kondroitin sulfat terekspresi di daerah dorso-ventral dan semakin meluas ke daerah vertebral dan haemal arches pada pengamatan beberapa hari sesudahnya. Ekspresi kondroitin sulfat ini bersifat dinamis selama terjadinya skeletogenesis, di mana hal ini mungkin merefleksikan sinyal-sinyal yang terjadi selama perkembangan rangka aksial zebrafish yang meliputi bagian tengkorak dan batang tubuh (Hayes et al., 2013).
Hayes et al. (2013) juga menyimpulkan bahwa adanya perbedaan tipis yang teramati pada ekspresi disakarida penyusun GAG selama skeletogenesis mengindikasikan peran fungsional yang berbeda dalam pembentukan sistem rangka pada zebrafish. Hal ini diduga juga mencerminkan mekanisme skeletogenesis pada kelas vertebrata yang lebih tinggi, di mana ekspresi GAG diregulasi dengan sangat baik selama skeletogenesis untuk memenuhi peran fungsional yang berbeda.
Baik penelitian Zhang et al. (2009) maupun Hayes et al. (2013) tidak membahas mengenai peran fungsional ataupun mekanisme yang mendasari perbedaan komposisi atau ekspresi GAG pada setiap tahap perkembangan zebrafish yang diamati. Zhang et al. (2009) menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan kuantitas GAG dan perbedaan komposisi penyusun GAG (heparan sulfat dan kondroitin sulfat) pada tahapan usia zebrafish yang berbeda, sedangkan Hayes et al. (2013) menekankan adanya perbedaan pola ekspresi atau distribusi disakarida penyusun GAG pada sistem rangka zebrafish pada usia 3-8 dpf. Namun, keduanya sepakat pada satu hal: adanya perbedaan komposisi maupun distribusi disakarida penyusun GAG mendukung tercapainya peran fungsional yang juga berbeda di setiap tahap perkembangan zebrafish.

Referensi:
Berg J.M., Tymoczko J.L., dan Stryer L. 2002. Biochemistry, 5th edition. New York: W. H. Freeman and Company.
Caterson B. 2012. Fell-Muir Lecture: Chondroitin sulphate glycosaminoglycans: fun for some and confusion for others. Int J Exp Path. 93: 1–10.
Farach-Carson M.C., Hecht J.T., Carson D.D. 2005. Heparan sulfate proteoglycans: key players in cartilage biology. Crit Rev Eukaryot Gene Expr. 15: 29-48.
Frazier S.B., Roodhouse K.A., Hourcade D.E., Zhang L. 2008. The Quantification of Glycosaminoglycans: A Comparison of HPLC, Carbazole, and Alcian Blue Methods. Open Glycosci. 1: 31-39.
Hayes A.J., Mitchell R.E., Bashford A., Reynolds S., Caterson B., Hammond C.L. 2013. Expression of Glycosaminoglycan Epitopes During Zebrafish Skeletogenesis. Developm Dyn. 242: 778-789.
Holmborn K., Habicher J., Kasza Z., Eriksson A.S., Filipek-Gorniok B., Gopal S., et al. 2012. On the roles and regulation of chondroitin sulfate and heparan sulfate in zebrafish pharyngeal cartilage morphogenesis. J Biol Chem. 287: 33905-33916.
Souza A.R., Kozlowski E.O., Cerqueira V.R., Castelo-Branco M.T., Costa M.L., Pavão M.S. 2007. Chondroitin sulfate and keratan sulfate are the major glycosaminoglycans present in the adult zebrafish Danio rerio (Chordata-Cyprinidae). Glycoconj J. 24: 521-530.
Wiweger M.I., Avramut C.M., de Andrea C.E., Prins F.A., Koster A.J., Ravelli R.B., Hogendoorn P.C. 2011. Cartilage ultrastructure in proteoglycan-deficient zebrafish mutants brings to light new candidate genes for human skeletal disorders. J Pathol. 223: 531-542.

Zhang F., Zhang Z., Thistle R., McKeen L., Hosoyama S., Toida T., Linhardt R.J., Page-McCaw P. 2009. Structural characterization of glycosaminoglycans from zebrafish in different ages. Glycoconj J. 26: 211-218.