Selasa, 12 Januari 2016

Perbandingan Lokalisasi Filamen Aktin pada Ependimosit Menggunakan Mikroskop Fluoresen dan Mikroskop Elektron Transmisi

Wike Astrid Cahayani

Sistem saraf merupakan salah satu sistem yang bertanggung jawab dalam pengaturan fungsi tubuh. Sebagaimana sistem tubuh lainnya, sistem saraf juga dibangun oleh sel sebagai satuan unit terkecilnya, yang disebut sebagai sel neuron. Sel neuron merupakan unit fungsional dasar dari sistem saraf yang bertugas menerima dan meneruskan sinaps, sehingga tercapai komunikasi dan interaksi antara individu dengan lingkungan sekitarnya (Guyton dan Hall, 2007).
Selain neuron, terdapat sel-sel lain yang membantu memenuhi peran sistem saraf sebagai pengatur fungsi tubuh, yang disebut sebagai sel neuroglia (sel glia). Sel glia berperan penting dalam sistem saraf, antara lain menyokong terjadinya homeostasis, fiksasi bagi sel neuron, memberikan proteksi, serta suplai nutrisi dan oksigen pada sel neuron. Dibandingkan sel neuron, jumlah sel glia lebih mendominasi di sistem saraf pusat, di mana jumlahnya dapat mencapai 90% dari seluruh sel saraf. Meskipun demikian, oleh karena berukuran relatif lebih kecil dan tidak memiliki akson dan dendrit sebanyak sel neuron, sel glia hanya memenuhi sekitar separuh dari volume otak (Purves et al., 2001).
Selama lebih dari seratus tahun, para peneliti memahami bahwa sel glia berbeda dari sel neuron oleh karena sel glia tidak berpartisipasi langsung dalam penghantaran sinaps. Akan tetapi, terdapat penelitian pada tahun 2010 yang menyimpulkan bahwa sel glia (astrosit) juga berperan dalam mengontrol fisiologi pernapasan (Gourine et al., 2010), serta membantu terbentuknya koneksi sinaps antar sel neuron (Wolosker et al., 2008).
Pada sistem saraf pusat terdapat beberapa macam sel glia, antara lain astrosit, oligodendrosit, mikroglia, dan sel ependimal (ependimosit). Ependimosit merupakan sel-sel yang melapisi ventrikel otak yang berisi cairan serebrospinal dan kanalis sentralis medula spinalis (Li et al., 2009). Ependimosit berbentuk kuboid atau kolumner dan terdapat silia pada bagian apikalnya, di mana silia tersebut membantu sirkulasi cairan serebrospinal yang beredar di sistem saraf pusat. Di samping itu, juga terdapat mikrovili pada bagian apikalnya yang berfungsi mengabsorbsi cairan serebrospinal. Selain bertugas mengatur dan mengabsorbsi, sekelompok ependimosit bersama dengan kapiler darah membentuk suatu sistem yang disebut sebagai pleksus koroid yang dapat memproduksi cairan serebrospinal (Guyton dan Hall, 2007).
Oleh karena berperan sebagai barier antara cairan serebrospinal dengan darah, dibutuhkan suatu mekanisme yang dapat mempertahankan integritas ependimosit dengan baik. Integritas ependimosit ini sangat bergantung pada organisasi unik yang dibangun oleh mikrofilamen (Li et al., 2009). Adanya defek pada mikrofilamen akan menyebabkan gangguan pada fungsi ependimosit sebagai epitel pada ventrikel maupun kanalis sentralis. Sementara itu, filamen aktin (F-actin) telah diketahui sebagai komponen utama dari mikrofilamen. Pada level mikroskop cahaya, baik filamen aktin maupun monomernya, sebagian besar terdeteksi pada bagian apikal dari ependimosit. Jalinan filamen aktin apikal tersebut menampakkan adanya perbedaan dari aspek regional yang terkait dengan bentuk, ukuran, dan perkembangan ependimosit (Li et al., 2007, 2008). Namun, oleh karena minimnya lokalisasi filamen aktin yang sifatnya presisi pada ependimosit, mengakibatkan peran filamen aktin pada ependimosit masih menjadi sebuah teka-teki.
Untuk mengetahui peran filamen aktin pada ependimosit, Li dan kolega (2009) meneliti tentang lokalisasi filamen aktin dan relasi spasial antara filamen aktin dengan komponen sitoskeleton lain pada ependimosit. Akan tetapi, selain karena ukurannya yang relatif kecil dan sensitivitasnya terhadap proses fiksasi dan dehidrasi, adanya komponen sitoskeleton yang sangat berlimpah dalam suatu sel mengakibatkan filamen aktin menjadi sangat sulit dipelajari. Untuk mengatasi hal tersebut, Li dan kolega (2009) menggunakan suatu metode deteksi yang menggabungkan pelabel fluoresen FITC (Fluorescein isothiocyanate) dengan phalloidin, di mana phalloidin telah dikenal sebagai penanda filamen aktin dengan spesifisitas yang sangat tinggi. Li dan kolega (2009) menerapkan metode imunohistokimia dengan penggunaan FITC-phalloidin dan antibodi terhadap FITC (anti-FITC) karena material dan protokol tersebut dapat diterapkan pada pengamatan dengan mikroskop cahaya maupun mikroskop elektron.

Metode Penelitian Li et al. (2009)
·         Hewan coba
Hewan coba yang digunakan adalah tikus Sprague-Dawley berjenis kelamin betina dan berjumlah tujuh ekor. Penggunaan hewan coba dalam penelitian telah memenuhi kelaikan etik dari institusi yang bersangkutan.
·         Pengamatan dengan Mikroskop Fluoresen
Metode imunohistokimia diterapkan pada preparat jaringan tikus yang mengandung ependimosit dan pleksus koroid. Antibodi primer yang digunakan adalah antibodi monoklonal anti-α-tubulin yang mendeteksi mikrotubulus, antibodi monoklonal anti-vimentin yang mendeteksi filamen intermediet vimentin, antibodi poliklonal (guinea pig) terhadap sitokeratin 8/18, dan antibodi monoklonal anti-pan sitokeratin. Bufer fosfat (PB) 0,1 M digunakan sebagai kontrol terhadap antibodi primer.
Adapun antibodi sekunder yang digunakan adalah antibodi sekunder yang dikonjugasikan dengan probe Alexa Fluor, yang meliputi Alexa 594-goat anti-guinea pig IgG antibody yang mendeteksi anti-sitokeratin 8/18 guinea pig, serta Alexa 594-goat anti-mouse IgG antibody yang mendeteksi antibodi monoklonal anti-α-tubulin, antibodi monoklonal anti-vimentin, dan anti-pan sitokeratin. Selanjutnya, diaplikasikan FITC-phalloidin selama satu jam, kemudian direaksikan dengan 4-6-diamidino-2-phenylindole (DAPI) yang digunakan untuk mewarnai nukleus.
Preparat kemudian di-mounting dengan Immu-Mount dan diperiksa dengan laser scanning confocal microscope dengan panjang gelombang 358 nm untuk DAPI, 488 nm untuk FITC, dan 594 nm untuk Alexa 594 nm.
·         Pengamatan dengan Mikroskop Elektron Transmisi
Pada pengamatan preparat tikus dengan mikroskop elektron, digunakan metode avidin-biotin-peroxidase complex (ABC method). Sebelum dibloking dengan larutan yang mengandung bovine serum albumin (BSA), diberikan perlakuan dengan 3% H2O2 pada preparat untuk menghilangkan peroksidase endogen. Setelah proses bloking, preparat diinkubasi dengan FITC-phalloidin. Kemudian, preparat di-mounting dan diperiksa dengan laser scanning confocal microscope dengan panjang gelombang 488 nm.
Selanjutnya, preparat dibilas dengan PB dan dipindahkan dari kaca objek. Sampel diinkubasi dengan anti-FITC yang dikonjugasikan dengan biotin selama 2 hari dan dilanjutkan dengan metode ABC selama 1 jam. Setelah itu, diberikan substrat DAB agar terjadi aktivitas peroksidase.
Beberapa preparat yang terwarnai melalui pemberian DAB difiksasi dengan glutaraldehid yang mengandung asam tannit, kemudian difiksasi dengan OsO4. Perlakuan tersebut bermanfaat melindungi filamen aktin dari destabilisasi selama proses osmikasi dan dehidrasi. Selanjutnya, preparat yang terwarnai oleh DAB dan prreparat yang tidak terwarnai didehidrasi dengan ethanol.
Kemudian, kedua jenis preparat tersebut dipotong dengan ultramikrotom. Preparat yang tidak terwarnai akan diwarnai dengan 4% uranil asetat dan 0,3% sitrat, lalu diperiksa dengan mikroskop elektron transmisi. Adapun sampel yang terwarnai oleh DAB juga diperiksa dengan mikroskop elektron transmisi tanpa kontras logam berat.

Hasil Penelitian Li et al. (2009)
·         Pengamatan dengan Mikroskop Fluoresen terhadap Filamen Aktin, Mikrotubulus, dan Filamen Intermediet di Ependimosit
Gambar 1. Hasil pengamatan dengan mikroskop fluoresen yang menggambarkan lokalisasi filamen aktin, α-tubulin, dan vimentin di kanalis sentralis.

Dari gambar 1A dan 1D, terlihat bahwa region apikal ependimosit pada kanalis sentralis terwarnai  dengan jelas dengan pewarnaan FITC-phalloidin. Filamen aktin tampak membentuk struktur seperti cincin di bagian apikal ependimosit, sedangkan bagian lateral sel tampak kurang memberikan sinyal fluoresen.
Pada gambar 1 B, α-tubulin di kanalis sentralis terdominasi di protrusi sitoplasma ependimosit. Pelabelan ganda menunjukkan bahwa struktur yang menonjol ke dalam lumen tersebut tidak mengandung filamen aktin (Gambar 1C). Sitokeratin tidak menunjukkan adanya reaksi imunohistokimia di kanalis sentralis terhadap anti-sitokeratin 8/18 maupun anti-pan sitokeratin (data tidak ditampilkan). Sebaliknya, vimentin ditemukan sebagai komponen filamen intermediet yang utama (Gambar 1E). Filamen vimentin yang terletak di regio apikal juga terlihat melingkar dengan filamen aktin, dan sebagian tampak tumpang tindih dengan cincin filamen aktin (Gambar 1F).  Bundel filamen vimentin tampak seperti struktur akar yang menyebar dari regio apikal ke zona subependimal.
Pada pleksus koroid, pewarnaan FITC-phalloidin menunjukkan gambaran sabuk cerah halus dan tidak terputus sepanjang perbatasan apikal (Gambar 2A dan 2D). Sitoplasma dari ependimosit tampak kurang terwarna, namun terdapat beberapa sinyal fluoresensi di stroma pleksus koroid. Sitoplasma perinuklear dari ependimosit pada pleksus koroid terlabel dengan anti-α-tubulin secara intens (Gambar 2B), tetapi protrusi untuk α-tubulin tampak kurang terlihat pada permukaan luminal dari pleksus koroid (Gambar 2C). Sitokeratin 8/18 ditemukan sebagai komponen utama filamen intermediet pleksus koroid, dan terlokalisasi dalam sitoplasma perinuklear ependimosit koroid (Gambar 2E). Di sisi lain, sinyal positif bagi vimentin hanya teramati pada stroma tapi tidak teramati di ependimosit koroid (data tidak ditampilkan). Pelabelan ganda menunjukkan bahwa α-tubulin dan sitokeratin terdistribusi di bawah jaringan filamen aktin apikal, dengan co-lokalisasi parsial filamen aktin di bagian perinfer jaringan filamen aktin apikal (Gambar 2C dan 2F).


Gambar 2. Hasil pengamatan dengan mikroskop fluoresen yang menggambarkan lokalisasi filamen aktin, α-tubulin, dan vimentin di pleksus koroid.

·         Lokalisasi Filamen Aktin di Ependimosit yang Terdeteksi Melalui Mikroskop Elektron Transmisi
Melalui metode berbasis FITC-phalloidin dan anti-FITC, pelabelan fluoresensi dari filamen aktin yang dikonversi menjadi produk reaksi DAB dapat diamati dengan mikroskop cahaya. Distribusi keseluruhan produk reaksi untuk filamen aktin sejalan dengan yang diperoleh dari hasil pewarnaan FITC- phalloidin dan hasil pengamatan dengan mikroskop konfokal (Gambar 3 dan 4). Kekhasan konversi ini selanjutnya dikonfirmasikan dengan menghilangkan FITC-phalloidin (Gambar 3A dan 3E) atau dengan menghilangkan anti-FITC (Gambar 3B dan 3F) dalam prosedur imunositokimia. Wilayah apikal ependimosit hasil reaksi peroksidase/DAB terlabel secara intens, baik pada kanalis sentralis (Gambar 3) maupun pleksus koroid (Gambar 4). Seperti yang diamati dengan mikroskop konfokal, bagian lateral sel pada kanalis sentralis menunjukkan pewarnaan yang kurang intens. Hampir tidak ada perbedaan yang bermakna dalam distribusi filamen aktin yang terlihat pada sampel dengan perlakuan H2O2 (Gambar 3C dan 3G) maupun tanpa H2O2 (Gambar 3D dan 3H), meskipun penggunaan H2O2 masih sering digunakan dalam prosedur imunositokimia. Oleh karena itu, hasil yang diperoleh dari sampel tanpa perlakuan H2O2 juga ditampilkan dalam penelitian Li et al. (2009).


Gambar 3. Perbandingan pewarnaan filamen aktin di kanalis sentralis dengan pengamatan mikroskop fluoresen dan mikroskop cahaya.


Gambar 4. Perbandingan pewarnaan filamen aktin di pleksus koroid dengan pengamatan mikroskop fluoresen dan mikroskop cahaya.

Di bawah mikroskop elektron, produk reaksi untuk filamen aktin terutama terlokalisasi pada daerah apikal di kanalis sentralis (Gambar 5). Mikrovili terlabel secara dari ujung bawah ke dalam sitoplasma apikal. Di bawah mikrovili, ada jaringan filamen aktin yang terlabel secara intens dan tampak melingkar, berhubungan dengan sitoplasma melalui intermediet junctions (Gambar 5A, 5C, dan 5D). Daerah sitoplasma dari intermediet junctions menunjukkan adanya penebalan berwarna gelap (panah dalam Gambar 5D). 


Gambar 5. Lokalisasi ultrastruktural filamen aktin di kanalis sentralis dari hasil pengamatan dengan mikroskop elektron.

Dengan membandingkan gambar hasil pengamatan mikroskop fluoresen dan mikroskop elektron, jaringan filamen aktin yang tampak melingkar, yang disebut terminal web, terlihat sebagai struktural yang ekuivalen (dari batas luar cincin filamen aktin), sedangkan lebar cincin filamen aktin terbukti sebagai jarak antara terminal web dengan ujung mikrovili melalui pengamatan mikroskop cahaya (Gambar 5A dan 5B). 
Tidak seluruh sitoplasma antara mikrovili dan terminal web terlabel sempurna. Bagian distal dari silia yang menonjol ke lumen tampak kurang terwarna (Gambar 5A), tetapi basal bodies tampak terwarna gelap (Gambar 5C). Filamen intermediet tidak terlabel, tetapi filamen  intermediet sering ditemukan terhubung dengan bundel filamen aktin (Gambar 5D). 


Gambar 6 (kiri): Hasil pengamatan kontrol negatif dengan mikroskop elektron. Tidak tampak adanya pelabelan pada regio apikal di kanalis sentralis dari kontrol negatif. Gambar 7 (kanan): Hasil pengamatan dengan mikroskop elektron yang menunjukkan daerah kapiler (inset). Pelabelan filamen aktin secara intens terlihat kontinyu di sepanjang tepi luminal dari sel endotel (panah).

Di sisi lain, tidak terlihat adanya pelabelan pada kontrol negatif, meskipun terminal web juga terlihat di daerah apikal kanalis sentralis (Gambar 6).
Pembuluh darah dengan berbagai ukuran tampak pada substansia nigra korda spinalis, yang menunjukkan pelabelan filamen aktin yang sempurna di bawah mikroskop konfokal, sehingga digunakan sebagai kontrol positif. Pengamatan kapiler di tingkat ultrastruktural mengungkapkan pewarnaan yang kontinyu dan intens di tepi luminal dari sel endotel (Gambar 7). 
Pada pleksus koroid, mikrovili terlabel secara intens, sedangkan di sebagian sitoplasma tampak kurang terwarna dengan baik (Gambar 8A). Ependimosit koroid yang ditandai dengan sejumlah besar mikrovili pleomorfik, memperlihatkan adanya bulatan pada bagian ujung apeks. Filamen aktin terlihat di sepanjang mikrovili, tapi lebih sering tidak tampak pada bulatan di bagian ujung apeks. Silia jarang ditemui. Meskipun ada pewarnaan yang tidak sempurna yang memperluas gambaran mikrovili, tidak ada terminal web yang cukup teramati di bawah mikrovili (Gambar 8B dan 8C). Hasil tersebut juga telah dikonfirmasi dengan kontrol negatif (Gambar 8D).


Gambar 8. Hasil pengamatan dengan mikroskop elektron menunjukkan lokalisasi filamen aktin pada pleksus koroid.

Dari hasil penelitian Li et al. (2009) dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa perbedaan pada komposisi sitoskeleton dan organisasi dalam dua jenis sel (ependimosit di kanalis sentralis dan ependimosit di pleksus koroid). Pertama, ependimosit di kanalis sentralis hanya berisi vimentin tetapi tidak sitokeratin, sehingga membedakannya dari ependimosit koroid, meskipun kedua sitokeratin 8/18 dan vimentin pernah dilaporkan terdapat pada dinding ventrikel serebral tikus. Vimentin tersusun sebagai jaringan yang terpolarisasi di sekitar kanalis sentralis, sedangkan sitokeratin tampak lebih merata di sitoplasma perinuklear  ependimosit koroid. Perbedaan kedua adalah protusi yang tersusun dari mikrotubulus jumlahnya jauh lebih berlimpah di kanalis sentralis, tetapi tidak didapatkan pada pleksus koroid. Hal ini sejalan dengan fakta bahwa ependimosit koroid memiliki silia yang lebih sedikit dibandingkan ependimosit kanalis sentralis. Selain itu, meskipun filamen aktin terlokalisir terutama di sitoplasma apikal ependimosit, apikal filamen aktin di kanalis sentralis memiliki gambaran seperti cincin, sedangkan filamen aktin di pleksus koroid tampak sebagai organisasi yang halus dan tidak terputus.
Pada akhirnya, penelitian Li et al. (2009) telah menunjukkan gambaran ultrastruktural dari filamen aktin pada kanalis sentralis yang berhubungan dengan intermediate junctions di antara sel-sel yang berdekatan. Jaringan filamen aktin tersebut disokong oleh filamen intermediet yang tersusun dari vimentin. Penelitian Li et al. (2009) juga menyimpulkan peran dari filamen aktin yang berada pada sisi apikal. Bersama dengan filamen intermediet, filamen aktin dapat mentransmisikan tegangan dari satu sel ke sel yang lain, sehingga berperan dalam mempertahankan integritas struktural dari kanalis sentralis.
Dari segi metode, penelitian Li et al. (2009) merupakan penelitian yang menarik oleh karena menggabungkan pengamatan mikroskop cahaya, mikroskop fluoresen, dan mikroskop elektron transmisi. Di samping itu, prosedur imunohistokimia yang digunakan dalam penelitian diuraikan dengan sangat detail, sehingga memudahkan peneliti lain untuk menggunakan metode yang sama maupun melakukan modifikasi terhadap metode yang digunakan. Penelitian ini tidak hanya menyimpulkan dari segi struktur sitoskeleton yang menyusun ependimosit di kanalis sentralis maupun pleksus koroid, tetapi juga berusaha mengaitkan hasil penelitian dengan teori-teori yang sudah ada mengenai kemungkinan peran dari filamen aktin pada ependimosit, sehingga hal ini menjadi nilai tambah bagi penelitian Li et al. (2009).

Referensi:Guyton A.C. dan Hall J.E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 11. Jakarta: EGC.

Gourine A.V., Kasymov V., Marina N., et al.  2010. Astrocytes control breathing trough pH-dependent release of ATP. Science. 329: 571-575.


Li Y.C., Bai W.Z., Hashikawa T. 2007. Regionally varying F-actin network in the apical cytoplasm of ependymocytes. Neurosci Res 57: 522-530.


Li Y.C., Bai W.Z., Hashikawa T. 2008. Postnatal reorganization of F-actin in the central canal of the spinal cord in the rat. Brain Res. 1239: 100-106.


Li Y.C., Bai W.Z., Sakai K., dan Hashikawa T. 2009. Fluorescence and Electron Microscopuc Localization of F-actin in the Ependymocytes. J Histochem Cytochem. 57: 741-751.


Purves D., Augustine  G.J., Fitzpatrick D., et al (eds). 2001. Neuroscience, 2nd ed. Sunderland (MA): Sinauer Associates.Wolosker H., Dumin E., Balan L., Foltyn V.N. 2008. Amino acids in the brain: d-serine in neurotransmission and neurodegeneration. FEBS J. 275: 3514-3526

Tidak ada komentar:

Posting Komentar