Sabtu, 26 Desember 2015

Mitos, Hoax, dan Fakta Seputar Imunisasi (II)

Bismillah, lanjut ke bahasan seputar imunisasi jilid kedua. Mohon maaf jika akan 'sedikit' memusingkan dan terasa sedikit sarkastis, tetapi semoga memberikan bahan pembelajaran yang baik bagi kita semua.

Bahaya Imunisasi" Telaah Tahap II


Tidak perlu seserius itu membacanya. Saya suka lelucon, itulah kenapa saya kembali menulis tentang “Bahaya Imunisasi?”.
Artikel ini bertujuan untuk mengajak pembaca bersikap kritis dalam memahami salah satu artikel penolakan terhadap program imunisasi berjudul “Mengungkap Konspirasi Imunisasi dan Bahaya Vaksin” yang dimuat dihttp://un2kmu.wordpress.com/2010/04/19/mengungkap-konspirasi-imunisasi-dan-bahaya-vaksin/ . Telaah sederhana diharapkan dapat dilakukan oleh pembaca ketika membaca paparan data, pernyataan, maupun hipotesis yang diajukan dalam artikel penolakan imunisasi tersebut, maupun artikel-artikel yang lain.
  
1. Rubella di .. Jerman???
 “Dan ternyata faktanya di Jerman para praktisi medis, mulai dokter hingga perawat, menolak adanya imunisasi campak. Penolakan itu diterbitkan dalam “Journal of the American Medical Association” (20 Februari 1981) yang berisi sebuah artikel dengan judul “Rubella Vaccine in Susceptible Hospital Employees, Poor Physician Participation”. Dalam artikel itu disebutkan bahwa jumlah partisipan terendah dalam imunisasi campak terjadi di kalangan praktisi medis di Jerman. Hal ini terjadi pada para pakar obstetrik, dan kadar terendah lain terjadi pada para pakar pediatrik. Kurang lebih 90% pakar obstetrik dan 66% parak pediatrik menolak suntikan vaksin rubella.”

Ya, memang ada penelitian yang memiliki judul penelitian yang sama plek dengan yang tersebut di atas, dipublikasikan di JAMA pada tahun 1981. Namun benarkah penelitianWalter A. Orenstein tersebut berisi bahwa para dokter dan perawat menolak imunisasi rubella seperti pernyataan paragraf di atas? mari kita baca sekedar abstrak asli dari penelitian tersebut, yang saya ambil dari http://jama.ama-assn.org/content/245/7/711.short:

Walter A. Orenstein, MD; Peter N. R. Heseltine, MD; Susan J. LeGagnoux, RN, MPH; Bernard Portnoy, MD. Rubella Vaccine and Susceptible Hospital Employees : Poor Physician Participation. JAMA 1981;245:711-713
“A serosurvey of 2,456 high-risk employees of the Los Angeles County-University of Southern California Medical Center showed that 345 (14%) were susceptible to rubella. Of 197 seronegative personnel followed up for participation in a vaccination program, 105 (53.3%) were vaccinated. However, only one of the 11 known susceptible obstetrician-gynecologists was vaccinated. Thirty-eight seronegative employees who were vaccinated with RA 27/3 rubella vaccine were queried four to six weeks after vaccination and compared with 32 unvaccinated seropositive control subjects. Although the reaction rate was 50% among vaccinees and 3% among control subjects, each vaccinee lost only an average of 0.2 workdays compared with 0.1 workdays for control subjects. The high rate of susceptibility to rubella among hospital employees supports the need for screening. Although vaccine reactions are common, they are generally mild. Means must be found to ensure greater employee acceptance of vaccine.

Tentu saja, penelitian aslinya ternyata tidak menyimpulkan sedemikian. Penelitian Orenstein et al. tersebut memaparkan bahwa baru sedikit personel kesehatan di RS. University of Southern California, Los Angeles (ya, Los Angeles kayaknya sih ada di negara bagian California, Amerika, tidak di Jerman) yang melakukan vaksinasi rubella. Sejak Januari 1980 sebenarnya institusi kesehatan di California sudah menyarankan tenaga medis untuk melakukan vaksinasi rubella. Tahun 1982 terjadi outbreak rubella di Los Angeles, ternyata banyak tenaga medis tersebut turut tertular, laporan epidemiologis CDC yang dirilis 28 Januari 1983 dapat dibaca di Epidemiologic Notes and Reports Rubella in Hospitals - California, MMWR, January 28, 1983 / 32(3);37-9 (http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00001229.htm). Tenaga medis, selain mereka sangat rentan tertular dari pasien-pasien rubella yang mereka rawat, juga berpotensi untuk menularkannya kemudian kepada pasien non-rubella yang juga mereka rawat. Itulah susahnya jadi tenaga medis. Tahukah anda, bahwa saya juga belum melakukan vaksinasi rubella? ya, vaksinasi rubella di Indonesia memang belum merupakan program imunisasi wajib bagi tenaga medis. Di Amerika, Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) dan Hospital Infection Control Practices Advisory Committee (HICPAC) telah mengeluarkan rekomendasi nasional  imunisasi untuk tenaga kesehatan, rekomendasi yang dirangkum oleh CDC tersebut, dirilis 26 Desember 1997, dapat dibaca di Immunization of Health-Care Workers: Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) and the Hospital Infection Control Practices Advisory Committee (HICPAC), MMWR, December 26, 1997 / 46(RR-18);1-42 (http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00050577.htm), untuk melindungi tenaga medis, sekaligus melindungi pasien.
  
2. Penyalahgunaan data VAERS
 "Di Amerika pada tahun 1991 – 1994 sebanyak 38.787 masalah kesehatan dilaporkan kepada Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS) FDA. Dari jumlah ini 45% terjadi pada hari vaksinasi, 20% pada hari berikutnya dan 93% dalam waktu 2 mgg setelah vaksinasi. Kematian biasanya terjadi di kalangan anak anak usia 1-3 bulan"

Hmm, sepertinya ada yang menyalah gunakan data-data pada laporan VAERS untuk menghasut massa. Anda akan sering menemukan data-data (entah yang dicantum itu data beneran atau karangan) dari VAERS digunakan oleh para pegiat anti-imunisasi untuk membodohi orang awam, mirip dengan paragraf di atas.

Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS) adalah program surveilans keamanan vaksin nasional yang disponsori oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan Food and Drug Administration (FDA). VAERS merupakan program pengawasan keamanan pasca-pemasaran yang mengumpulkan informasi tentang kejadian penyerta (yang mungkin bisa merupakan efek samping) yang terjadi setelah pemberian vaksin berlisensi yang digunakan di Amerika Serikat. Laporan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) istilahnya kalau di Indonesia, ya, kita juga pemantauan imunisasi semacam VAERS. Penjelasan di bawah ini dapat anda temukan dari situs VAERS sendiri, silakan baca di http://vaers.hhs.gov/data/index

Ketika mengevaluasi data dari VAERS, penting untuk dicatat bahwa untuk setiap peristiwa yang dilaporkan, tidak ada hubungan sebab-akibat yang telah dibentuk. VAERS mengumpulkan data pada setiap vaksinasi berikut kejadian yang menyertainya, baik itu kejadian yang kebetulan terjadi atau benar-benar disebabkan oleh vaksin. Laporan kejadian buruk kepada VAERS bukanlah merupakan dokumentasi bahwa vaksin menyebabkan kejadian tersebut.Data VAERS berisi baik kejadian ko-insiden saat/setelah vaksinasi, maupun kejadian yang benar-benar disebabkan oleh vaksinasi. Lebih dari 10 juta vaksin per tahun diberikan kepada anak-anak berusia kurang dari 1 tahun, biasanya antara usia 2 dan 6 bulan. Pada usia tersebut, bayi memang berisiko/rentan mengalami kejadian/kondisi medis tertentu, diantaranya demam tinggi, kejang, dan sindrom kematian bayi mendadak (SIDS). Beberapa bayi mengalami kejadian medis tersebut tak lama setelah vaksinasi, secara kebetulan. Kejadian ko-insiden ini membuat sulit untuk mengetahui apakah efek samping tertentu merupakan akibat kondisi medis atau akibat dari vaksinasi. Oleh karena itu, penyedia layanan vaksinasi dianjurkan untuk melaporkan semua kejadian buruk setelah vaksinasi, baik mereka percaya vaksinasi adalah penyebabnya ataupun tidak.

FDA juga mengeluarkan statement ini untuk menentang penyalahgunaan data VAERS oleh komunitas anti-imunisasi. Apakah semua kejadian dilaporkan kepada VAERS disebabkan oleh vaksinasi? Tidak. Karena VAERS menerima semua laporan kejadian penyerta setelah vaksinasi, tidak semua kejadian yang dilaporkan kepada VAERS disebabkan oleh vaksin. Beberapa kejadian mungkin terjadi secara kebetulan setelah pemberian vaksin, sementara yang lain mungkin memang disebabkan oleh vaksin. Penelitianlah yang membantu menentukan hubungan antara imunisasi dan kejadian penyerta tersebut. Sebuah kejadian yang buruk setelah pemberian vaksin bukanlah bukti yang meyakinkan bahwa peristiwa itu disebabkan oleh vaksin. Berbagai faktor (misalnya, riwayat medis penerima vaksin, obat-obat lain yang diberikan berdekatan waktu vaksinasi) harus diperiksa untuk menentukan apakah mereka bisa menyebabkan kejadian penyerta. Banyak kejadian penyerta yang dilaporkan kepada VAERS tidak disebabkan oleh vaksin. (dapat anda baca sendiri dihttp://www.fda.gov/BiologicsBloodVaccines/SafetyAvailability/ReportaProblem/VaccineAdverseEvents/QuestionsabouttheVaccineAdverseEventReportingSystemVAERS/default.htm)
  
3. Bordetella Pertussis - "Whooping Cough"
 "Pada 1986 ada 1300 kasus pertusis di Kansas dan 90% penderita adalah anak-anak yang telah mendapatkan vaksinasi ini sebelumnya. Kegagalan sejenis juga terjadi di Nova Scotia di mana pertusis telah muncul sekalipun telah dilakukan vaksinasi universal"

Pertusis di Kansas
Paragraf di atas tidak memuat rujukan referensi yang sahih darimana laporan tersebut berasal. Tapi tetap saja harus kita telusuri. Mari kita runut sejarahnya, saya mengambil rujukan dari surveilans CDC untuk kasus pertusis dari tahun 1986-1988 di Amerika Serikat, yang dapat anda baca di Current Trends Pertussis Surveillance -- United States, 1986-1988. MMWR. February 02, 1990 / 39(4);57-58,63-66 (http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00001550.htm). Sepanjang tahun 1986 hingga 1988 di Amerika terjadi kejadian pertusis yang cukup banyak, 5 negara bagian dengan angka kesakitan terbesar terjadi di Idaho (17.1 kasus per 100,000 penduduk), Kansas (17.0 per 100,000), Delaware (12.5 per 100,000), Hawaii (10.7 per 100,000), dan New Hampshire (6.6 per 100,000). Wabah yang terjadi di Kansas tahun 1986 memang menyumbang jumlah kasus terbanyak, sebanyak 1030 (bukan 1300) kasus pertusis dilaporkan selama tahun tersebut. Selama tahun 1986 hingga 1988 tersebut kejadian pertusis di Amerika Serikat tercatat sebanyak 10,468 kasus (4195 pada tahun 1986, 2823 pada tahun 1987, dan 3450 pada tahun 1988). Berlawanan dengan klaim data pegiat anti-vaksin di atas, berdasarkan data yang dkumpulkan CDC, sebanyak 3793 pasien anak berusia 3 bulan sampai 4 tahun, 63% tidak mendapat imunisasi serial pertusis yang cukup, dan 34% bahkan belum diimunisasi sama sekali. Sudah jelas bukan berapa persen anak yang mana yang kena pertusis, 90% itu data karangan siapa? Laporan kejadian wabah tersebut justru mendukung Amerika Serikat makin giat dengan program imunisasi pertussis di kemudian hari.

Pertussis di Nova Scotia
saya yakin kebanyakan (atau malah semua?) pencopy paste di blog anti-vaksin sebelum membaca ini tidak tahu dari mana pernyataan "kegagalan" imunisasi di Nova Scotia berasal. Ketahuilah, pegiat anti imunisasi pertama yang memiliki ide mengemukakan hal tersebut mencuplik sebagian kalimat dari penelitian ini untuk menipu pembaca:
Halperin SA, Bortolussi R, MacLean D, Chisholm N. Persistence of pertussis in an immunized population: results of the Nova Scotia Enhanced Pertussis Surveillance Program. J Pediatr. 1989 Nov;115(5 Pt 1):686-93.
Penelitian Scott Halperin tersebut sebenarnya merupakan hasil dari metode program surveilans (pelacakan dan pengawasan) yang diperbarui terhadap kasus pertusis di Nova Scotia, dengan metode kombinasi klinis dan laboratoris tersebut dr. Halperin berhasil menemukan kasus pertusis secara lebih banyak dan detil, termasuk kasus pertussis yang terjadi pada individu yang telah menjalani vaksinasi. Sayangnya, kalimat terakhir di abstrak publikasinya yang mana tercantum kalimat "...We conclude that pertussis remains a significant health problem in Nova Scotia, despite nearly universal vaccination" kemudian dijadikan bahan pembodohan publik oleh pegiat anti-imunisasi.

Namun mereka tidak pernah mengungkapkan fakta penelitian dr. Halperin selanjutnya yang telah diajarkan kepada seluruh mahasiswa kedokteran di dunia (yang memang mau mempelajari ilmu kedokteran beneran, bukan yang bayar mahal masuk FK cuma buat cari gelar dokter). Dalam penelitian berjudul :
Bortolussi R, Miller B, Ledwith M, Halperin S. Clinical course of pertussis in immunized children. Pediatr Infect Dis J. 1995 Oct;14(10):870-4.
tersebutlah bahwasanya: "Despite adequate immunization some children develop pertussis. The clinical course in these patients is milder than in unimmunized subjects". Meskipun sudah diimunisasi, seorang anak dapat terkena pertussis, namun dengan gejala yang jauh lebih ringan daripada anak yang tidak diimunisasi. Tahukah anda seperti apa pertussis yang berat & parah? coba baca sendiri Bordetella Pertussis di wiki, atauhttp://www.cdc.gov/pertussis/clinical/complications.html. Dua penelitian di Nova Scotia oleh Prof. Scott Halperin tersebut justru menjadi landasan penting rekomendasi imunisasi pertusis pada anak.

 4. Perang Dunia II melawan Difteri & Eleanora McBean
 "Jerman mewajibkan vaksinasi tahun 1939. Jumlah kasus dipteri naik menjadi 150.000 kasus, di mana pada tahun yang sama, Norwegia yang tidak melakukan vaksinasi, kasus dipterinya hanya sebanyak 50 kasus"

Kalimat di atas merupakan terjemahan dari "At the beginning of the Second World War immunization was made compulsory in Germany and the diphtheria rate soared up to 150,000 cases (1939) while in unvaccinated Norway there were only 50 cases." yang ditulisEleanor McBean dalam bukunya The Poisoned Needle: Suppressed Facts About Vaccination, tahun 1957. Pembaca bertanya, apa saya sudah baca buku itu? jawab saya: sudah, baru selesai sebagian dan menemukan kalimat di atas, saya langsung tertawa terbahak-bahak. Dalam bukunya ia tidak menyebutkan darimana data itu berasal, menghitung sendirikah, dari curhatan Adolf Hitler sebelum menginvasi Polandia (Fall Weiß), atau cuma copy paste blog anti-vaksin Jerman milik kakek Gerhard Buchwald(kalau Buchwald sempat bikin blog hehe).  Anda dapat menikmati salah satu kitab suci pujaan umat anti-imunisasi Amerika tersebut dalam situs fanatik anti imunisasiwww.whale.to tepatnya di http://www.whale.to/a/mcbean.html#IMMUNIZATIONINCREASED DIPHTHERIA IN SOME COUNTRIES . Silakan baca, sumpah isinya lucu banget. Ya, Eleanor McBean adalah aktivis anti-vaksin ternama dengan banyak buku seperti  The Poisoned Needle (1957),  Answers For The Worried Smoker (1962), Swine Flu Expose (1977), Vaccination, The Silent Killer (1977), Vaccination Condemned (1981). Anda dapat membaca profil tentang almarhum nenek Eleanor McBean ini di wikipedia.


5. Raja Teori Konspiratif Alan Cantwell
 "Tahun 1989-1991 vaksin campak ”high titre” buatan Yugoslavia Edmonton-Zagreb diuji coba pada 1500 anak-anak miskin keturunan orang hitam dan latin, di kota Los Angeles, Meksiko, Haiti dan Afrika. Vaksin tersebut sangat direkomendasikan oleh WHO. Program dihentikan setelah di dapati banyak anak-anak meninggal dunia dalam jumlah yang besar"
"Vaksin campak menyebabkan penindasan terhadap sistem kekebalan tubuh anak-anak dalam waktu panjang selama 6 bulan sampai 3 tahun. Akibatnya anak-anak yang diberi vaksin mengalami penurunan kekebalan tubuh dan meninggal dunia dalam jumlah besar dari penyakit-penyakit lainnya WHO kemudian menarik vaksin-vaksin tersebut dari pasar di tahun 1992"

Pembaca dapat menemukan petikan asli dari paragraf di atas pada (anda semua pasti bisa menerka) www.whale.to, situs penentang pengobatan medis terpopuler. Petikan tersebut merupakan pernyataan dari Alan Cantwell Jr, pensiunan ahli kulit yang berevolusi menjadi pencetus teori konspiratif tentang HIV-AIDS dan penentang imunisasi terfavorit (bagi kalangan anti vaksin tentu saja). Silakan baca profilnya Alan Cantwell di wiki. Seperti yang biasa penentang imunisasi lakukan, Cantwell dalam salah satu buku teori konspiratifnya yang berjudul "Are Vaccines Causing More Disease Than They Are Curing?" (1999) memutar balikkan berita yang ia baca di L.A. Times 20 Juni 1996 (ya, cuma berita di koran) yang berjudul Measles, Government and Trust (dapat anda cari di arsip L.A Times, atau klik di http://articles.latimes.com/1996-06-20/local/me-16843_1_los-angeles), Cantwell berteori konspiratif dengan menuduh pemerintah Amerika Serikat sengaja menggunakan anak-anak sebagai bahan percobaan

Berita di LA Times 20 Juni 1996 tersebut sebenarnya memberitakan tentang kesalahan form inform consent CDC dalam penelitian vaksin campak titer tinggi strain Edmonston-Zagreb (EZ) di Los Angeles pada tahun 1989-1991. Penelitian CDC tersebut bertujuan untuk melihat perbedaan penggunaan vaksin campak titer tinggi strain Edmonston-Zagreb dengan strain Moraten. Namun penelitian tersebut tidak sempat terselesaikan karena WHO memutuskan menarik vaksin titer tinggi strain Edmonston-Zagreb dari peredaran, karena pada penelitian serupa yang dilakukan bersamaan di Senegal, Guinea Bissau dan Haiti muncul pertanyaan kemungkinan hubungan antara dosis tinggi vaksin campak strain EZ dengan peningkatan kematian pada bayi perempuan.

Cantwell memanipulasi berita tersebut dengan mengatakan bahwa vaksin campak Edsmonton Zagreb telah banyak mengakibatkan kematian pada bayi di Meksiko, Haiti dan Afrika, bahwa bayi perempuan pada penelitian di Afrika sengaja diberi 2x dosis bayi laki-laki sehingga banyak yang mati, dan bahwa vaksin campak menekan sistem imun bayi selama 6 bulan hingga 3 tahun yang berakibat bayi dengan imunitas yang tertekan tersebut banyak yang mati, sehingga vaksin campak Edmonston Zagreb ditarik WHO kemudian, namun pemerintah Amerika Serikat tetap menggunakannya untuk percobaan di Los Angeles pada anak-anak miskin keturunan afrika dan latin.

Alan Cantwell Jr. lahir di Bronx, New York City, pada tanggal 4 Januari 1934. Ayahnya adalah seorang ahli bedah ortopedi dan ibunya seorang perawat. Dia kuliah di Cornell University, lulus pada tahun 1955, kemudian mengikuti pendidikan kedokteran di New York Medical College. Setelah lulus pada 1959, ia magang di Mercy Hospital di San Diego, California. Tertarik dengan AIDS, Cantwell menaruh minat besar untuk menentukan apakah ada bukti ilmiah untuk mendukung klaim Strecker tentang HIV-AIDS (Robert Strecker, seorang internis Los Angeles yang mengklaim bahwa epidemi AIDS adalah buatan manusia, satu lagi dokter penggemar teori konspirasi). Ia sangat yakin terhadap klaim Strecker bahwa AIDS adalah penyakit buatan manusia. Penelitian-penelitiannya sendiri kemudian membawa Cantwell ke "daerah gelap" ilmu pengetahuan, seperti senjata biologis, eksperimen radiasi manusia oleh pemerintah AS, isu genosida, dan berbagai aspek teori konspirasi lainnya. Silakan baca profilnya yang cukup netral dihttp://socialarchive.iath.virginia.edu/xtf/view?docId=cantwell-alan-1934--cr.xml atauhttp://www.oac.cdlib.org/findaid/ark:/13030/kt2s2033zz/

Karya wahamnya yang membahana semacam "Bacteria: The Ultimate Cause of Cancer?" (2003) ; "Bacteria, Cancer & the Origin of Life" (2003; ia mengajukan teori bahwa kanker disebabkan oleh bakteri, yang dikombinasi dengan kekuatan "energi alami yang tak terlihat" - opo meneh iki), "Queer Blood: The Secret AIDS Genocide Plot" (1997), "The Secret Origin of AIDS and HIV" (2000) (HIV-AIDS merupakan buatan manusia untuk memusnahkan gay dan ras afrika!), mungkin membuat muntah banyak penerbit buku, sehingga ia membuat penerbit buku sendiri (Aries Rising) atau menyusupkan artikelnya dalam majalah-majalah konspirasi dan pengobatan alternatif (New DawnParanoia MagazineNexusThe New African). Anda tidak perlu berlangganan majalah-majalah tersebut jika ingin ikut muntah, sudah disediakan secara lengkap pada profilnya yang dipuja di www.whale.to(http://www.whale.to/c/cantwell_alan.html)

Pengarang buku anti imunisasi populer di Indonesia ibu Ummu Salamah ternyata juga latah mencopy paste teori konspirasi Alan Cantwell tentang vaksin campak di atas. Yang perlu anda catat adalah bahwa Alan Cantwell adalah seorang gay, yang bertemu pasangan hidupnya, Frank A. Sinatra di tahun 1974. Pada tanggal 19 Oktober 2008, keduanya 'menikah' di Hollywood (ya, maka jangan heran bukunya banyak mengunggah teori konspiratif penindasan terhadap kaum gay). Alan Cantwell juga pemuja teori Orgone, energi 'gaib' yang ditemukan di alam dan di seputar orgasme (hah!?), temuan Wilhelm Reich, psikoanalis yahudi nyentrik & aneh yang terusir dari Jerman (saking ngefansnya Cantwell sampe membuat buku berjudul "Dr. Wilhelm Reich: Scientific Genius – or Medical Madman?"). Mungkinkah umat muslim sekarang menganggap sahih "fatwa" seorang gay penghasil orgone dari orgasmenya?

Ada kutipan pernyataan lagi dari komunitas anti imunisasi:
"Setiap program vaksin dari WHO di laksanakan di Afrika dan Negara-negara dunia ketiga lainnya, hampir selalu terdapat penjangkitan penyakit-penyakit berbahaya di lokasi program vaksin dilakukan. Virus HIV penyebab Aids di perkenalkan lewat program WHO melalui komunitas homoseksual melalui vaksin hepatitis dan masuk ke Afrika tengah melalui vaksin cacar"

Mari pembaca ikut menebak, darimana teori konspirasi di atas berasal? ciri khas: HIV, AIDS, homoseksual, Afrika - ya, betul sekali, ini jelas pernyataan konspiratif Alan Cantwell, dari bukunya yang juga masih itu-itu saja.
  
6. Nigeria Memboikot Imunisasi Polio
 "Penularan polio dalam skala besar, menyerang anak-anak di Nigeria Utara berpenduduk muslim. Hal itu terjadi setelah diberikan vaksinasi polio, sumbangan AS untuk penduduk muslim. Beberapa pemimpin Islam lokal menuduh Pemerintah Federal Nigeria menjadi bagian dari pelaksanaan rencana Amerika untuk menghabiskan orang-orang Muslim dengan menggunakan vaksin"

Berita mengenai penolakan vaksinasi polio di Nigeria ini benar adanya, anda dapat membaca berita-berita tentangnya di situs-situs berita internasional ternama sekitar tahun 2002-2004. Ya, ini berita sedih, inilah contoh nyata bagaimana kepercayaan agama dan isu sentimen terhadap barat kemudian terkompori oleh teori-teori konspiratif kaum penolak-imunisasi.

Nigeria adalah salah satu negara dengan jumlah penderita polio yang sangat banyak, WHO melaporkan bahwa lebih dari 40 persen dari 677 kasus baru polio yang tercatat di seluruh dunia pada tahun 2002 berada di Nigeria. Jumlah kasus polio di Nigeria memang sudah besar,namun bukan karena imunisasi polio. Program imunisasi polio yang kemudian mulai digalakkan di Nigeria sempat terganggu ketika Oktober 2003 para pemimpin politik negara bagian Kano, Zamfara, Bauchi dan Niger di Nigeria utara menyerukan kepada orang tua tidak membiarkan anak-anak mereka untuk diimunisasi, memperingatkan mereka bahwa vaksin tersebut dapat terkontaminasi. Seruan untuk melawan vaksinasi oleh para pemuka agama di Nigeria utara menemukan wadahnya ketika mereka diterima oleh ketua Supreme Council for Sharia in Nigeria (SCSN), Dr. Datti Ahmed. Ia mengatakan bahwa ada kemungkinan kuat bahwa vaksin telah terkontaminasi dengan agen anti-kesuburan dan seharusnya tidak diberikan pada anak sampai penyelidikan penuh selesai dilakukan (Reps And the Polio Vaccine Controversy, Daily Trust Newspaper, Nigeria at All Africa.com, 30 Desember 2003). Dr. Datti Ahmed juga menyatakan bahwa vaksin polio "..rusak dan dinodai oleh pelaku kejahatan dari Amerika dan sekutu Barat mereka" serta "Kami percaya bahwa Hitler-modern  secara sengaja mencemari vaksin polio oral dengan obat anti-kesuburan dan ... virus yang diketahui menyebabkan HIV dan AIDS" (Vaccine Boycott Spreads PolioNews24.com, 11 Februari 2004). Lagi-lagi konspirasi vaksin-HIV-AIDS-Afrika, coba tebak siapa tokoh pencetus teori ini? ya, Alan Cantwell. Negara bagian Bauchi, Niger dan Zamfara hanya memboikot satu putaran Hari Imunisasi Nasional, sementara negara bagian Kano terus memboikot selama hampir setahun.

Kebuntuan ini akhirnya diselesaikan melalui dialog, dengan para pemimpin keagamaan memainkan peran signifikan dalam prosesnya. Pemerintah federal Nigeria mengundang para pemimpin politik dan agama mengikuti serangkaian pertemuan untuk mencari solusi untuk kebuntuan yang terjadi. Pertemuan ini menghasilkan konsensus pada bulan Februari 2004 dengan menerima permintaan SCSN untuk menguji vaksin secara mandiri di negara muslim. Pada bulan Februari 2004, pemerintah Nigeria mengirimkan wakil negara dan agama ke Afrika Selatan, Indonesia, dan India untuk mengamati pengujian vaksin polio dan membawa kembali bukti bahwa vaksin polio tidak terkontaminasi dengan HIV.

Dalam pembelaan diri mengenai aksi boikot-nya selama 11 bulan tersebut, gubernur negara bagian Kano, Ibrahim Shekarau, menegaskan kembali bahwa keputusan mereka untuk memboikot dikarenakan hasil tes yang tidak memuaskan oleh tim pemerintah federal Nigeria. Puas dengan hasil uji kualitas dan proses produksi vaksin polio dari negara yang dikunjungi, tim dari negara bagian Kano kembali dengan membawa hasil persetujuan dengan Bio Farma, perusahaan vaksin Indonesia, yang kemudian direkomendasikan oleh mereka menjadi pemasok baru vaksin polio bagi negara-negara bagian di Nigeria yang berpenduduk mayoritas muslim. Indonesia adalah negara muslim yang dipercaya oleh para pemimpin muslim Nigeria untuk menguji vaksin polio.

Dua bulan setelah negara bagian Kano kembali melaksanakan program imunisasi polio, sekitar 150 ulama muslim dan pemimpin tradisional dari Chad, Kamerun, Niger, Togo, Benin, dan Burkina Faso bertemu di Kano pada tanggal 22 September 2004 untuk membahas jalan ke depan sehubungan dengan imunisasi polio, mungkin sekalian mau jalan-jalan ke Bandung melihat Bio Parma, memborong peuyeum, dan telepisi (bahasa Sunda untuk televisi).

Bila anda menginginkan membaca sumber tulisan di atas tersebut, mengenai kasus Nigeria yang lebih lengkap dan obyektif, anda dapat mencermati thesis Jegede AS (2007) 'What Led to the Nigerian Boycott of the Polio Vaccination Campaign?' PLoS Med 4(3): e73. danPolio Vaccines – Difficult to Swallow. The Story of a Controversy in Northern Nigeria, tulisanMaryam Yahya yang dipublikasikan dalam IDS Working Paper 261 oleh Institute of Development Studies pada bulan Maret 2006.

 Iklan sebentar ya : Teori Konspirasi
 “Vaksin yang telah diproduksi dan dikirim ke berbagai tempat di belahan bumi ini (terutama negara muslim, negara dunia ketiga, dan negara berkembang), adalah sebuah proyek untuk mengacaukan sifat dan watak generasi penerus di negara-negara tersebut”

Tanpa data/bukti pendukung, kalimat di atas memang merupakan salah satu bentuk teori konspiratif. Teori konspirasi ‘kayak gituan’ lebih sering berawal dari asumsi (mungkin dgn background keyakinan, kepercayaan, pengalaman, trauma/sentimen yang sudah sangaat mendalam hingga diam-diam menjadi waham), yang kalau kreatornya sempat, ada waktu buat googling, ngupil, nyari-nyari di situs anti vaksin Amerika, atau menyambangi blog tetangga untuk dicopy paste, kemudian menambahkan bukti-bukti yang mendukung (ya jelas lah, masa bukti yang menentang ikut dipampang, mana laku teorinya). Ya, Indonesia masih banyak pengangguran gitu, lumrah kalau bermunculan profesi desperate sebagai blogger/fesbuker/kompasioner konspiratif plus pengobat alternatif, mungkin mereka merasa lebih gampang eksis & terkenal lewat kanal itu daripada mati-matian ngantri Indonesian Idol atau membakar diri di depan gedung DPR (mati beneran kalau yang ini).

Tidak ada masalah dengan asumsi, siapa saja boleh berasumsi. Berasumsi sejauh apapun, hingga menuduh vaksin merupakan produk alien dari Mars juga tidak masalah (setidaknya tidak masalah bagi saya, entah bagi mahluk Mars). Maka, marilah kita terima teori konspiratif pada paragraf di atas dengan senang hati & penuh tawa, tidak perlu capek diperdebatkan. Biarkanlah si pencetus teori tersebut melengkapinya dengan bukti, biar lebih lucu lagi.
  
7. Bart Classen dan Diabetes tipe I (IDDM)
 "Bart Classen, seorang dokter dari Maryland, menerbitkan data yang memperlihatkan bahwa tingkat penyakit diabetes berkembang secara signifikan di Selandia Baru, setelah vaksin hepatitis B diberikan secara massal di kalangan anak-anak"

John Barthelow Classen, MD, MBA, menerima MD dari University of Maryland pada 1988 dan gelar MBA dari Columbia University pada tahun 1992. Dr Classen dipekerjakan di NIH di Laboratorium Imunologi, NIAID, antara 1988 dan 1991 sebelum ditinggalkannya untuk mendirikan 'Immunotherapies Classen' (sebuah institusi GeJe - ga jelas yang katanya menyediakan suatu sistem untuk keamanan vaksin?) pada tahun 1991. Pernyataan Classen di atas tersebut tercantum dalam karya nomor 2 dari 5 penelitian kontroversialnya tentang relasi antara imunisasi dan diabetes tipe I:

  1. Classen JB. The timing of immunization affects the development of diabetes in rodents. Autoimmunity 1996;24:137-145
  2. Classen DC, Classen JB. The timing of pediatric immunization and the risk of insulin-dependent diabetes mellitus. Infect Dis Clin Pract 1997;6:449-454
  3. Classen JB, Classen DC. Immunization in the first month of life may explain decline in incidence of IDDM in the Netherlands. Autoimmunity 1999;31:43-45
  4. Classen JB, Classen DC. Clustering of cases of insulin dependent diabetes (IDDM) occurring three years after hemophilus influenza B (HiB) immunization support causal relationship between immunization and IDDM. Autoimmunity 2002;35:247-253
  5. Classen JB, Classen DC. Clustering of cases of type 1 diabetes mellitus occurring 2-4 years after vaccination is consistent with clustering after infections and progression to type 1 diabetes mellitus in autoantibody positive individuals. J Pediatr Endocrinol Metab 2003;16:495-508

Classen menyatakan bahwa jika vaksinasi pertama pada anak dilakukan setelah usia 2 bulan, ada peningkatan risiko diabetes tipe I. Penelitian laboratorium Classen pada hewan juga menemukan bahwa vaksin tertentu, jika diberikan saat lahir, sebenarnya mengurangi risiko diabetes. Penelitian ini didasarkan pada percobaan menggunakan vaksin anthrax, yang sangat jarang digunakan pada anak-anak atau orang dewasa. Classen juga membandingkan angka kejadian diabetes tipe I dengan jadwal vaksinasi di berbagai negara, dan menafsirkan hasilnya bahwa vaksinasi menyebabkan peningkatan risiko diabetes. Pernyataan ini telah dikritik karena perbandingan antar negaranya tersebut mengikutkan vaksin yang tidak lagi digunakan atau jarang digunakan di negara tersebut, seperti smallpox (variola; cacar) dan vaksin tuberkulosis (BCG). Penelitian ini juga tidak mempertimbangkan banyak alasan selain vaksinasi yang dapat mempengaruhi tingkat diabetes tipe I di berbagai negara. Kemudian, pada tahun 2002, Dr Classen menyatakan bahwa vaksinasi anak-anak Finlandia dengan vaksin Hib menyebabkan kasus klaster diabetes 3 tahun kemudian, dan bahwa eksperimennya pada tikus di atas mengkonfirmasi hubungan ini. Silakan unduh pernyataan lengkap paragraf ini dihttp://www.ncirs.edu.au/immunisation/fact-sheets/diabetes-and-vaccines-fact-sheet.pdf darihttp://www.ncirs.edu.au/)

Dalam dunia riset medis, satu hasil penelitian tidak dapat dianut begitu saja sebagai acuan sebagai sumber penentu keputusan, melainkan harus berdasarkan verifikasi dan kesimpulan akhir dari banyak hasil penelitian. Penelitian kontroversial Classen memicu peneliti-peneliti di berbagai belahan dunia untuk memverifikasi temuan Classen ini dengan penelitian-penelitian mereka kemudian, dengan data yang lebih lengkap, lebih valid dan lebih komprehensif (beginilah cara para peneliti terpelajar 'beradu argumen secara jantan'). Berikut beberapa penelitian tentang hubungan imunisasi antara diabetes tipe I, dan penyakit alergi & autoimmun lainnya yang menjawab pernyataan Classen:

Heijbel H, Chen RT, Dahlquist G. Cumulative incidence of childhood-onset IDDM is unaffected by pertussis immunization. Diabetes Care. 1997 Feb;20(2):173-5. (http://care.diabetesjournals.org/content/20/2/173.full.pdf+html)
--> ConclusionThe comparison of the cumulative incidence of IDDM, up to the age of 12 years, in birth cohorts with high and low exposure to pertussis vaccine does not support the hypothesis that pertussis could induce autoimmunity to the beta-cell that may lead to IDDM.

Nilsson L, Kjellman NI, Bjorksten B. A randomized controlled trial of the effect of pertussis vaccines on atopic disease. Arch Pediatr Adolesc Med 1998 Aug;152(8):734-8 (http://archpedi.ama-assn.org/cgi/reprint/152/8/734.pdf)
--> ConclusionWe found no support for a drastic increase in allergic manifestations after pertussis vaccination. There was a positive association between whooping cough and asthma by 2 1/2 years of age. There seems to be little reason to withhold pertussis vaccination from infants, irrespective of family history of allergy.

Karvonen M, Cepaitis Z, Tuomilehto J.Association between type 1 diabetes and Haemophilus influenzae type b vaccination: birth cohort study.  BMJ1999;318:1169 (http://www.bmj.com/content/318/7192/1169)
--> ConclusionIt is unlikely that H influenzae type b vaccination or its timing cause type 1 diabetes in children.

Hiltunen M, Lönnrot M, Hyöty H. Immunisation and Type 1 Diabetes Mellitus: Is There a Link? Drug Saf. 1999 Mar;20(3):207-12.
--> Conclusionthere is no clear evidence that any currently used vaccine can prevent or induce diabetes in humans

Graves PM, Barriga KJ, Norris JM, Hoffman MR, Yu L, Eisenbarth GS, Rewers M. Lack of association between early childhood immunizations and beta-cell autoimmunity. Diabetes Care. 1999 Oct;22(10):1694-7.(http://care.diabetesjournals.org/content/22/10/1694.full.pdf)
--> ConclusionThe results suggest that changing the early childhood immunization schedule would not affect the risk of developing beta-cell autoimmunity or type 1 diabetes.

Ryan EJ, Nilsson L, Kjellman N, Gothefors L, Mills KH. Booster immunization of children with an acellular pertussis vaccine enhances Th2 cytokine production and serum IgE responses against pertussis toxin but not against common allergens.  Clin Exp Immunol. 2000 Aug;121(2):193-200.(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1905694/?tool=pubmed)
--> Conclusiondespite the enhancement of type-2 responses to B. pertussis antigens, booster vaccination with Acellular pertussis vaccines (Pa) does not appear to be a risk factor for allergy.

DeStefano F, Mullooly JP, Okoro CA, Chen RT, Marcy SM, Ward JI, Vadheim CM, Black SB, Shinefield HR, Davis RL, Bohlke K; Vaccine Safety Datalink Team. Childhood vaccinations, vaccination timing, and risk of type 1 diabetes mellitus. Pediatrics. 2001 Dec;108(6):E112.
--> ConclusionIn this large, population-based, case-control study, we did not find an increased risk of type 1 diabetes associated with any of the routinely recommended childhood vaccines

Black SB, Lewis E, Shinefield H, et al. Lack of association between receipt of conjugate Haemophilus influenzae type b vaccine (HbOC) in infancy and risk of type 1 (juvenile onset) diabetes: long term follow-up of the HbOC efficacy trial cohort. Pediatr Infect Dis J. 2002;21:568 –569
--> ConclusionWe found no evidence that vaccination with Hib conjugate vaccine in infancy is associated with risk of diabetes later in life.

..dan yang paling dahsyat tentu saja adalah
Anders Hviid, M.Sc., Michael Stellfeld, M.D., Jan Wohlfahrt, M.Sc., and Mads Melbye, M.D., Ph.D. Childhood Vaccination and Type 1 Diabetes. N Engl J Med2004; 350:1398-1404 (http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMoa032665#t=article)
--> ConclusionThese results do not support a causal relation between childhood vaccination and type 1 diabetes.
[penelitian Andres Hviid dan rekan ini merupakan penelitian cohort terbesar yang memfollow-up 4.720.517 orang (!), dengan database yang luar biasa lengkap & komprehensif]

Penelitian-penelitian yang melawan hipotesis bahaya imunisasi oleh Classen ternyata banyak.. Silakan cari di PubMed (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/). Bila masih awam dengan Pubmed silakan cari di situs  Institute for Vaccine Safety(www.vaccinesafety.edu), situs ini milik kalangan akademisi Johns Hopkins yang cukup obyektif dan mampu telusur. Kalau masih kurang, buka daftar link situs tersebuthttp://www.vaccinesafety.edu/links.htm, di situ disediakan link ke banyak situs resmi akademisi & praktisi medis legal yang lain (jelas tidak ada situs organisasi anti vaksin atau pengobatan alternatif semacam NVIC atau whale.to yang ikutan nampang di situ)

Bias Classen

Independensi Bart Classen sangat dipertanyakan. Anda dapat mengeceknya sendiri, meskipun Classen mengaku dalam posisi tidak menentang vaksinasi, tapi websitenya sendiri (vaccine.net) mencantumkan link untuk "more information on vaccine safety and your rights" hanya menuju situs kelompok anti-vaksinasi The National Vaccine Information Center (NVIC), tentu pembaca sudah pernah mendengar tentang organisasi anti-imunisasi ini (silakan lihat http://vaccines.net/newpage114.htm). Baru-baru ini Classen juga aktif terlibat dalam konferensi kelompok penentang imunisasi yang berjudul Vaccine Safety Conference yang diselenggarakan oleh NVIC pada 3-8 Januari 2011 di Jamaika (silakan lihat http://www.vaccinesafetyconference.com/foundations.html). Ada yang ikut ke sana? lihat profil pembicara-pembicara pada situs itu, ahli-ahli anti-imunisasi pada kumpul semua lho.. termasuk Andrew Wakefield; sayang kalau ngga ikut ;p
  
8. Akhir dari telaah tahap II

Maaf bila ternyata isinya kurang humor bagi anda, saya memang bukan Raditya Dika, tapi bagi saya, sumpah isinya ini lelucon. "Bahaya Imunisasi? telaah tahap II" ini sedikit lebih 'berat' dari artikel tahap 1 lalu. Dimaksudkan untuk menunjukkan berbagai variasi 'data-data' invalid yang sering digunakan oleh pegiat anti-vaksin di Amerika, yang kemudian dengan latah dicopy-paste oleh blogger/facebooker/kompasioner (juga penulis buku, semacam ibu Ummu Salamah) di Indonesia, tanpa pandang bulu (emang ada bulunya?), mulai dari yang mudah dibuktikan rekayasa keterlaluannya, hingga yang harus dilawan dengan mengadakan penelitian-penelitian. Juga menunjukkan bagaimana kami, praktisi medis, tidak semudah itu percaya pada sajian data. Menutup telaah tahap ke -2 ini, mari kita lihat dulu paparan hasil penelitian berikut ini:

Berdasarkan penelitian Prof. Dr. dr. Arian, PhD, peneliti ternama di Universitas Gaul Mahal, yang dipublikasikan di Indonesian Journal of Extremely Handsome Practitioners pada tahun 2011, sebanyak 76,3% dari 7632 responden wanita berusia 11-35 tahun di kecamatan Godeang mengakui bahwa dokter Julian Sunan adalah seorang dokter yang tampan

Spesies manusia modern dengan IQ normal yang membaca paragraf pasti langsung percaya bahwa penelitian tersebut adalah rekayasa. Kesan pertama membaca: penelitiannya norak, ngga mungkin banget lah ada penelitian kaya gitu. Tapi apakah yang norak selalu merupakan rekayasa? dan apakah yang rekayasa selalu norak? tentu saja tidak, norak dan rekayasa tidak selalu berkorelasi positif.
Bagaimana bila Prof. Arian ternyata memang merupakan ahli di bidang penelitian kegantengan di UGM? bagaimana bila Indonesian Journal of Extremely Handsome Practitioners memang ada dan diakui secara internasional? bagaimana bila tahun 2011 memang ada penelitian tersebut, yang benar dan sesuai standar di Godeang? bagaimana bila data dan analisis hasil data penelitian memang dipaparkan secara jujur dan benar?
Yang saya tulis pada paragraf di atas jelas lelucon norak. Namun, untuk mengatakan suatu paparan hasil penelitian valid dan reliabel, rekayasa atau, tentu saja tidak hanya melihat dari tingkat kenorakannya. Apalagi untuk menjadikannya dasar penentuan keputusan. Ada prosedur review sistematis (http://en.wikipedia.org/wiki/Systematic_review) tersendiri yang selalu diikuti oleh para akademisi, termasuk kami, para dokter.

Ya, kami juga selalu melakukan prosedur telaah tersebut, tidak hanya melihat suatu paparan hasil penelitian yang cool, keren dan tampak meyakinkan, kemudian kami ikuti sebagai pedoman. Setidaknya itu yang diajarkan pada kami dokter-dokter lulusan universitas negeri yang ndeso di Jogja (jaman saya kuliah dulu sih masih ndeso, tapi sekarang sudah sangat gaul dan mahal). Profesi kedokteran saat ini berlandaskan asasEvidence Based Medicine, harus ada bukti, penelitian, metaanalisis (http://en.wikipedia.org/wiki/Meta-analysis), review sistematis dan diikuti kemudian keputusan kolegium profesi yang harus benar-benar valid dan reliabel untuk melakukan suatu prosedur medis, bukan berdasar sembarang hasil penelitian tampak keren yang dipajang di situs internet. Apalagi mendasarkan diri pada sekedar hasil testimoni alias curhatan, baik korban maupun pelaku, baik pasien ataupun profesor.

Prosedur tersebut memposisikan dokter, perawat, bidan untuk wajib bersikap netral, tidak berpihak kepada yang kontra, maupun yang pro terhadap imunisasi, untuk menghindari bias analisis & pengambilan keputusan. Banyak vaksin yang telah diciptakan di dunia, banyak penelitian yang mendalaminya, dan sejauh yang sudah saya pelajari, hasilnya tidak semua vaksin tersebut aman dan efektif, namun juga tidak semua vaksin berbahaya dan tidak efektif. Anda tentu dapat memakai logika, bagaimana mungkin seorang dokter bisa dikatakan obyektif untuk menilai suatu vaksin aman atau berbahaya, efektif atau tidak, bila sudah memposisikan diri dalam komunitas anti imunisasi?

Silakan diverifikasi data penelitian di atas mengenai ketampanan saya, validkah? akan saya rangsang lagi hasrat muntah anda pada telaah tahap ke III, tentu saja bila mood menulis saya tiba-tiba muncul kembali... ;)

Best regards

Julian Sunan

Mitos, Hoax, dan Fakta Seputar Imunisasi (I)

Sebagai orang tua dan praktisi kesehatan, tentunya akan pernah dan selalu bersinggungan dengan salah satu topik hot yang penting dalam proses tumbuh kembang anak: imunisasi. Imunisasi merupakan suatu proses untuk meningkatkan sistem imunitas atau kekebalan tubuh dengan cara memasukkan vaksin (antigen), berupa virus atau bakteri yang sudah dimatikan, dilemahkan, atau bagian-bagian tertentu dari bakteri atau virus tersebut. Proses ini merupakan suatu pencegahan secara aktif, dengan harapan seseorang dapat membentuk kekebalan (antibodi) tertentu sebagai upaya untuk menghadapi serangan kuman di masa yang akan datang.

Dalam beberapa kurun waktu terakhir, topik imunisasi ini menjadi salah satu topik terpanas di kalangan orang tua, terutama pasangan usia muda, terlebih yang memiliki akses lebih terhadap jutaan informasi yang berseliweran di dunia maya. Setiap orang tua tentunya mengharapkan yang terbaik bagi anak-anak mereka, baik di sini bisa diartikan baik bagi keseluruhan hidup si anak dan berasal dari sumber yang baik (baca: halal) pula. Hal ini pun juga masuk sebagai kriteria imunisasi, terlebih beredar kabar burung bahwa imunisasi ternyata berdampak buruk bagi si anak dan bahan baku vaksin berasal dari bahan yang diharamkan (nah lho!). Gimana ga pusing denger informasi macam begini... Apalagi kalau udah terlanjur jadi galauers. Sementara kita juga tidak bisa menutup mata bahwa di beberapa daerah di Indonesia (termasuk di kota saya, sad!) sedang terjadi wabah atau outbreak penyakit-penyakit yang bisa dicegah dengan imunsasi, yang bahkan sudah terhitung hilang selama beberapa dekade terakhir. Tentunya belum lepas dari ingatan kita tentang kejadian luar biasa (KLB) difteri yang terjadi di Aceh dan Sumatera Barat di akhir tahun 2014, yang menyebabkan kematian pada dua orang anak tanpa riwayat imunisasi sama sekali dan puluhan penderita rawat inap yang harus diisolasi di ruang rawat khusus difteri.

Menyikapi simpang siur akan benar tidaknya informasi seputar imunisasi, ada salah satu artikel kampanye anti-vaksin yang cukup spektakuler (http://un2kmu.wordpress.com/2010/04/19/mengungkap-konspirasi-imunisasi-dan-bahaya-vaksin), yang saya lihat ternyata hasil copas sana-sini dan terjemahan lepas dari beberapa website anti-vaksin berbahasa asing. Artikel-artikel bernada serupa juga dapat kita temukan di banyak situs lain yang mungkin hari ini tak terhitung jumlahnya. Saya merasa makin miris, karena tidak sedikit juga orang tua, praktisi pendidikan, bahkan praktisi kesehatan yang mungkin jadi korban akibat 'keganasan' kampanye hitam anti-vaksin yang tidak bertanggung jawab. 

Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat saya terhadap hasil karya salah satu teman sejawat yang menurut saya sangat menarik dan berimbang dalam meng-counter artikel-artikel para antivaks, dalam postingan kali ini saya muat kembali tulisan dari dr. Julian Sunan yang membahas tentang telaah 'bahaya imunisasi'. Simak kelanjutan kisahnya :)

"Bahaya Imunisasi" Telaah Tahap I


Jujur saja, saya tergelitik untuk menulis lagi gara-gara kejadian kemarin saat jaga Pameran Pembangunan & Potensi Daerah Kabupaten Sleman, dimana saya diminta menjadi Sales Promotion Boy (SPB, oh yes, I’m still a boy!) pada stand Dinas Kesehatan. Saat itu ada mbak-mbak PNS dari stand sebelah yang bertanya-tanya tentang imunisasi dan betapa gerakan anti imunisasi sudah merebak di internet, bahkan ada pula seminar-seminarnya di institusi perguruan tinggi, dan ngga tanggung-tanggung, pembicaranya bahkan ada yang dokter pula. Lalu, penasaran, sore tadi saya membuka Google dan mencoba mencari situs-situs anti imunisasi dan vaksinasi tersebut, dan hasilnya.. hampir rahang bawah saya copot karena mangap terlalu lebar: betapa banyaknya! jauh lebih banyak daripada situs yang mempromosikan imunisasi. Saya baca dan baca, rata-rata isinya sama, artikel yang sama, dicopy paste berulang-ulang dari satu situs ke situs yang lain dari satu blog ke blog yang lain. Yang membuat saya tambah mangap dan tergeleng-geleng, artikel tersebut seolah-olah benar-benar evidence based, mencatut nama ahli-ahli, penelitian-penelitian, data dan angka, meyakinkan nian. Coba saya cungkil separuh kesini (dari salah satu artikel di blog penentang vaksin anak negeri yang populer di Google, http://un2kmu.wordpress.com/2010/04/19/mengungkap-konspirasi-imunisasi-dan-bahaya-vaksin/)

====================================================================

Mengungkap Konspirasi Imunisasi dan Bahaya Vaksin


Imunisasi dan Konspirasi di dalamnya
Jika kita merunut sejarah vaksin modern yang dilakukan oleh Flexner Brothers, kita dapat menemukan bahwa kegiatan mereka dalam penelitian tentang vaksinasi pada manusia didanai oleh Keluarga Rockefeller. Rockefeller sendiri adalah salah satu keluarga Yahudi yang paling berpengaruh di dunia, dan mereka adalah bagian dari Zionisme Internasional.
Kenyataannya, mereka adalah pendiri WHO dan lembaga strategis lainnya :

The UN’s WHO was established by the Rockefeller family’s foundation in 1948 – the year after the same Rockefeller cohort established the CIA. Two years later the Rockefeller Foundation established the U.S. Government’s National Science Foundation, the National Institute of Health (NIH), and earlier, the nation’s Public Health Service (PHS).
~ Dr. Leonard Horowitz dalam “WHO Issues H1N1 Swine Flu Propaganda”

Wah hebat sekali ya penguasaan mereka pada lembaga-lembaga strategis. 
Dilihat dari latar belakang WHO, jelas bahwa vaksinasi modern (atau kita menyebutnya imunisasi) adalah salah satu campur tangan (Baca : konspirasi) Zionisme dengan tujuan untuk menguasai dan memperbudak seluruh dunia dalam “New World Order” mereka.

Apa Kata Para Ilmuwan Tentang Vaksinasi?
“Satu-satunya vaksin yang aman adalah vaksin yang tidak pernah digunakan.”
~ Dr. James R. Shannon, mantan direktur Institusi Kesehatan Nasional Amerika

“Vaksin menipu tubuh supaya tidak lagi menimbulkan reaksi radang. Sehingga vaksin mengubah fungsi pencegahan sistem imun.”
~ Dr. Richard Moskowitz, Harvard University

“Kanker pada dasarnya tidak dikenal sebelum kewajiban vaksinasi cacar mulai diperkenalkan. Saya telah menghadapi 200 kasus kanker, dan tak seorang pun dari mereka yang terkena kanker tidak mendapatkan vaksinasi sebelumnya.”
~ Dr. W.B. Clarke, peneliti kanker Inggris

“Ketika vaksin dinyatakan aman, keamanannya adalah istilah relatif yang tidak dapat diartikan secara umum”.
~ dr. Harris Coulter, pakar vaksin internasional

“Kasus polio meningkat secara cepat sejak vaksin dijalankan. Pada tahun 1957-1958 peningkatan sebesar 50%, dan tahun 1958-1959 peningkatan menjadi 80%.”
~ Dr. Bernard Greenberg, dalam sidang kongres AS tahun 1962

“Sebelum vaksinasi besar besaran 50 tahun yang lalu, di negara itu (Amerika) tidak terdapat wabah kanker, penyakit autoimun, dan kasus autisme.”
~ Neil Z. Miller, peneliti vaksin internasional

“Vaksin bertanggung jawab terhadap peningkatan jumlah anak-anak dan orang dewasa yang mengalami gangguan sistem imun dan syarat, hiperaktif, kelemahan daya ingat, asma, sindrom keletihan kronis, lupus, artritis reumatiod, sklerosis multiple, dan bahkan epilepsi. Bahkan AIDS yang tidak pernah dikenal dua dekade lalu, menjadi wabah di seluruh dunia saat ini.”
~ Barbara Loe Fisher, Presiden Pusat Informasi Vaksin Nasional Amerika

“Tak masuk akal memikirkan bahwa Anda bisa menyuntikkan nanah ke dalam tubuh anak kecil dan dengan proses tertentu akan meningkatkan kesehatan. Tubuh punya cara pertahanan tersendiri yang tergantung pada vitalitas saat itu. Jika dalam kondisi fit, tubuh akan mampu melawan semua infeksi, dan jika kondisinya sedang menurun, tidak akan mampu. Dan Anda tidak dapat mengubah kebugaran tubuh menjadi lebih baik dengan memasukkan racun apapun juga ke dalamnya.”
~ Dr. William Hay, dalam buku “Immunisation: The Reality behind the Myth”

Dan masih banyak lagi pendapat ilmuwan yang lainnya.
Dan ternyata faktanya di Jerman para praktisi medis, mulai dokter hingga perawat, menolak adanya imunisasi campak. Penolakan itu diterbitkan dalam “Journal of the American Medical Association” (20 Februari 1981) yang berisi sebuah artikel dengan judul “Rubella Vaccine in Susceptible Hospital Employees, Poor Physician Participation”. Dalam artikel itu disebutkan bahwa jumlah partisipan terendah dalam imunisasi campak terjadi di kalangan praktisi medis di Jerman. Hal ini terjadi pada para pakar obstetrik, dan kadar terendah lain terjadi pada para pakar pediatrik. Kurang lebih 90% pakar obstetrik dan 66% parak pediatrik menolak suntikan vaksin rubella. 

====================================================================

Stop. Ini baru separuh artikel pembuka. Cukup meyakinkan bukan? Sudah pernah baca?

Ya, saya juga bukan ahli vaksin, bukan ahli imunisasi, yang juga sahih untuk menganalisis artikel di atas. Saya hanya dokter PNS muda di Puskesmas yang tidak begitu terpencil dari kota Yogyakarta untuk disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Tapi setidaknya saya pernah belajar 6 tahun dan terus berlanjut hingga sekarang mengenai metode kedokteran. Dan selama masa belajar itu saya pernah (kalau tidak lupa) diajarkan tahap pertama dalam pembelajaran: mencari referensi yang sahih, tidak bias/tendens, valid dan reliable. Dan tahap pertama pembelajaran saya itulah yang akan sedikit saya bagikan pada anda, siapa tahu saya nanti beneran bisa dapat tanda jasa dari anda ;).

1.     Leonard Horowitz
Tentang Dr. Leonard Horowitz yang penulis sebutkan di atas: entah darimana ia dapat gelar DR. di depan namanya. Karakter ini dalam search google dapat anda temukan ratusan dalam situs anti imunisasi yang artikelnya dicopy paste itu. Lihat di situs asing, ia terlibat dalam situs-situs yang menolak pengetahuan & teknologi modern. Yang paling jelas kalau di follow up, ternyata si Horowitz ini sangat berperan dalam situs FluScam.com, situs yang benar-benar membolak-balikkan fakta pengobatan modern, menolak imunisasi, yang ujung-ujungnya menawarkan pengobatan alternatif. Silakan buka situsnya, dan link situs lainnya, Leonard Horowitz ini ternyata populer juga sebagai semacam penyembuh spiritual di Amrik sana. Dia bahkan menyebut dirinya seorang sakti, semacam mengaku nabi, bahkan mengklaim ada ‘malaikat’ menuntunnya, secara tertulis pada bukunya Walking on Water di tahun 2006. Tuntunannya semacam ini:
  • 5-steps you can take to prompt miraculous healings.
  • The LOVE frequency to radiate affection and resolve troubled relationships.
  • Key changes you can make to overcome self-defeating patterns to prosper in all ways.
  • How to sustain and celebrate LOVE as a core creative force.
  • Master the mystery of sex, love and your true male/female identity.
  • Easily and inexpensively produce “holy water” critical for natural healing.
  • The use of music, foods, language, prayer and faith to heal your life.
  • The true meaning of your life.
  • How to prosper, more than ever, by understanding the laws of nature, attraction, giving and receiving.
Kaya judul-judul buku kacangan yang dijual 10ribuan. Pesan di dalamnya gampang, sudah bisa ditebak, lupakan teknologi, ciptakan penyembuhan dari diri sendiri (wow!). Dia akan menunjukkan gimana caranya, cukup bayar sekian dolar, via transfer di rekening bla-bla-bla. Buka saja FluScam.com dan ikutilah seluruh anjuran Kiai Dr. Leonard Horowitz, pasti manjur..

2.     Dr. James Shannon
Setelah dilacak-lacak tentang quote dan Dr. James R. Shannon mantan direktur National Health Institute (NIH), ternyata koneksi keduanya cuma ditemukan di situs-situs anti vaksinasi saja. Di situs anti vaksinasi asing kopiannya sebagai berikut “Dr. James R. Shannon, former director of the National Institute of Health reported in December, 2003 that “the only safe vaccine is one that is never used”.
Memang ada mantan direktur NIH yang bernama Dr. James Augustine Shannon, lahir tahun 1904, tapi beliau telah meninggal tahun 1994 lalu di usia 89 tahun. Obituarinya bisa dilihat di http://www.nap.edu/readingroom.php?book=biomems&page=jshannon.html
Sejauh ini belum ada berita yang mengabarkan Dr. James Augustine Shannon bangkit dari kubur, lalu mengganti nama tengahnya, dan kemudian di tahun 2003 berpidato “the only safe vaccine is one that is never used, dude!”. Ya, koneksinya cuma ketemu di situs-situs anti vaksinasi saja, yang semuanya menulis mantan direktur NIH Dr. James R. Shannon
Mungkin ada direktur NIH bernama Shannon yang lain? sudahlah, coba cek di daftar direktur NIH http://www.nih.gov/about/almanac/historical/directors.htm
Dengan kata lain, quote James Shannon yang dicopy paste berjuta kali itu cuma tipuan belaka

3.     Richard Moskowitz
Richard Moskowitz lahir pada tahun 1938, dan kuliah di Harvard (BA) dan New York University (MD). Setelah selesai sekolah kedokteran dia kemudian mengikuti 3 tahun studi pascasarjana di bidang Filsafat di University of Colorado. Dia mengambil magang di Rumah Sakit St. Anthony, Denver, dan telah mempelajari kedokteran keluarga sejak tahun 1967, serta (katanya) membantu 800 kali kasus kelahiran di rumah. Dengan latar belakang kedokteran oriental dan bentuk-bentuk penyembuhan alami, Dr Moskowitz belajar homeopati dengan George Vithoulkas di Yunani dan Rajan Sankaran (dan lain-lain, entahlah saya ngga kenal) di India.
Dia telah mempraktekkan metode klasik tersebut secara eksklusif sejak 1974, dan telah mengajar secara luas pada mata pelajaran homeopati dan yang berkaitan dengannya (pengobatan alternatif). Silakan searching, di internet banyak nama dokter Richard Moskowitz, tapi yang dicuplik pendapatnya di situs-situs anti vaksinasi adalah dokter Moskowitz yang ahli homeopati ini. Jadi, sudah jelaslah ia adalah praktisi homeopati, sudah jelas bukan ahli vaksin atau imunisasi, dan tidak mewakili institusi Harvard University. Sudah jelas pula titik bias pendapatnya pada kasus imunisasi.

4.     dr W. B. Clarke
Aktor fiktif lain, siapa itu dr W. B. Clarke? yang katanya seorang dokter di Indiana di tahun 1900an (iya, tahun 1900, belum ada laptop dan FB saat itu; yang dikutip di atas sana sebagai ahli kanker dari Inggris? keliru mengutip kayaknya si mas). Orangnya saja sudah ngga jelas. Silahkan coba untuk menemukan biografinya dan artikel aslinya yang menyatakan "Cancer is essentially unknown prior to the obligation of smallpox vaccination was introduced. I had faced 200 cases of cancer, and none of those affected by cancer do not get vaccinated before”, anda hanya akan menemukan website-website komunitas anti-vaksin lain yang mengulang-ulang kutipan itu, lagi dan lagi, tanpa menunjukkan sumber dan artikel yang asli. Selain Dr W. B Clarke ahli geologi terkenal (itu lhoo, lihat di wiki), tidak ada ahli lain yang bernama W. B Clarke yang dapat anda akui quote dan artikel-artikelnya sebagai seorang dokter dan ahli kanker yang sahih. Tolong perhatikan bahwahttp://www.whale.to/ yang merupakan sumber dari berbagai artikel anti vaksinasi adalah merupakan situs pengobatan alternatif, anda pasti tahu apa yang mereka selalu katakan tentang imunisasi

5.     Harris L. Coulter, PhD
Ya, Anda dapat menemukan ini di wiki: Harris L. Coulter, PhD (8 Oktober 1932 -) adalah seorang sejarawan medis dan dosen yang telah menerbitkan tulisan di berbagai bidang termasuk obat homeopati, kanker, dan apa yang dianggapnya sebagai bahaya vaksinasi. Coulter meraih gelar PhD pada 1969 dari Columbia University, NY, dalam disertasi berjudul “Political and Social Aspects of Nineteenth-Century Medicine in the United States: The Formation of the American Medical Association and its Struggle with the Homeopathic and Eclectic Physicians” dari disertasinya saja sudah terlihat menentang sisi medis. Coulter telah dianggap "sejarawan homeopati terkemuka akhir abad 20." Nah!
Karya Coulter yang paling signifikan adalah empat jilid risalah tentang sejarah kedokteran Barat,  Divided Legacy: A History of the Schism in Medical Thought, yang memerinci dua jalur yang berbeda pada pemikiran dan praktek medis sejak zaman Hippocrates hingga saat ini : pendekatan rasional dan pendekatan empiris seperti yang diamati dalam sejarah filosofi.
Coulter telah bertugas di berbagai panel penasihat medis, dan telah memberikan masukan tentang konflik antara American Medical Association (AMA) dan homeopati. Dari tahun 1965 sampai 1975, Coulter adalah direktur publikasi untuk American Foundation for Homeopathy, dan 1983-1989 ia menjabat di dewan editorial Journal of the American Institute of Homeopathy. Coulter juga anggota dewan penasehat dari Campaign Against Fraudulent Medical Research. Coulter fasih berbahasa Jerman, Perancis, Spanyol, Latin, Rusia, Hongaria, dan Serbo-Kroasia.
Pandangan Coulter telah dikritik, misalnya tentang ide-idenya tentang bahaya vaksinasi. Yah, pendapat apa sih yang anda harapkan dari ahli homeopati mengenai imunisasi?

6.     Bernard G. Greenberg, PhD
Bagi anda yang tertarik, inilah referensi yang lengkap bagi seluruh dunia (hehe) untuk melihat (dan untuk menunjukkan bagaimana komunitas anti vaksin mendistorsi kebenaran) suatu bagian dari diskusi telah dipublikasikan dengan menutup keseluruhan isi diskusi, dengan tujuan pembohongan publik.
Quote di atas dikutip dari diskusi panel yang berjudul "The Present Status of Polio Vaccines" dengan moderator: Herbert Ratner, MD, panelis:  Herald R. Cox, ScD, Bernard G. Greenberg, PhD, Herman Kleinman, MD, dan Paul Meier, PhD. Telah dipublikasikan di Illinois Medical Journal. Agustus, 1960. pp 84-93. (Diskusi Panel diedit dari transkrip yang dipresentasikan sebelum Section on Preventative Medicine and Public Health pada 120th Annual Meeting of the ISMS di Chicago, 26 Mei 1960.). Dapat dicari review diskusinya pada jurnal tersebut.
Posisi Dr Greenberg tidak menyatakan bahwa vaksin polio tidak efektif, posisinya adalah bahwa itu belum ‘sangat’ efektif. Dia juga tidak membuat pernyataan bahwa vaksin tersebut berbahaya.
Berikut adalah beberapa kutipan dari beliau tentang tren polio: "Without a doubt, the increasing trend has been reduced to some extent by the Salk vaccine."
"However, any future substantial reduction in this trend will require a more potent vaccine, not simply vaccinating more people. If there were no other vaccine, complete vaccination of all susceptible persons in the population with the Salk vaccine would be justifiable."Potensitas (kekuatan) vaksin di sini yang dimaksudkan adalah fungsi untuk meningkatan jumlah antigen virus yang dilemahkan dalam vaksin Salk, atau menggunakan virus hidup seperti vaksin Sabin.
"Today it may be a serious mistake to be ultraconservative in accepting the new live virus vaccines under the impression that there is no hurry because an almost equivalent immunizer exists in the Salk vaccine. A delay in accepting and promoting better vaccines will be a costly one." Greenberg mengatakan ini pada tahun 1960  (pada tahun 1961 vaksin monovalen Sabin mendapat lisensi). Dalam pernyataanya Dr Greenberg percaya vaksin Sabin adalah jawabannya, dan lebih baik dari vaksin Salk yang karena kendala teknis (virus propagasi dalam kultur sel) menghambat vaksin Salk untuk menjadi cukup kuat. Lihatlah, Greenberg tidak melarang vaksinasi kan?
Di kemudian hari, virus tersebut diadaptasikan dengan kultur sel microsphere terus menerus dalam sel Vero hingga dapat menghasilkan 10^9 virus per ml - dan itulah yang digunakan dalam vaksin polio (IPV) hingga hari ini. Dengan kemampuan untuk menghasilkan sejumlah besar virus dalam kultur sejak awal tahun 1970an, dan dengan diberantasnya polio liar di Amerika Serikat, IPV mengantikan OPV pada tahun 2000 untuk meniadakan kasus langka dari perubahan patogenik kembali dari vaksin Sabin. Thanks to dr. Greenberg.

7.     Neil Z. Miller & Barbara Loe Fisher
Neil Z. Miller & Barbara Loe Fisher adalah promotor gerakan anti vaksin sejati, mereka meneliti (hingga mempublikasikan riset yang menunjukkan keburukan vaksin di jurnal ilmiah, meskipun penuh rekayasa) untuk komunitas anti vaksin, apakah anda berharap mereka akan berkomentar netral dan obyektif?. Coba anda memasukkan keyword vaksin di google, akan anda temukan situs di daftar teratas bernama "National Vaccine Information Center " (NVIC), seperti pusat informasi vaksin beneran ya, jangan salah, organisasi dan situs tersebut didirikan oleh Barbara Loe Fisher dan merupakan salah satu anti-vaksin kelompok tertua dan paling berpengaruh di AS, baru-baru ini bekerja sama dengan Joe Mercola untuk bekerjasama mempromosikan paham anti-vaksin. Maka kalau baca di situ dijamin artikel-artikelnya yang anti vaksin jauh lebih profesional daripada artikel yang di atas. Tapi ingat siapa pembuatnya, memang tujuannya kan ke arah sana.

8.     William Howard Hay, MD
Ada juga di wiki. Sang 'legendaris' William Howard Hay, MD (1866 - 1940)! adalah salah satu aktivis pengobatan alternatif ternama, terutama melalui diet. Awalnya dia memang seorang dokter, tertular penyakit Bright (atau jaman sekarang disebut sebagai nefritis – peradangan pada ginjal). Dengan jantung bengkak dan hampir mati, putus asa karena tidak tertolong dengan metode medis saat itu, Dr Hay mulai mencoba makan hanya makanan alami, (entah kenapa, beruntungnya) kondisinya membaik,  menciptakan program diet Hay kemudian hari dan menjadi seorang naturalis. Dia tidak pernah menulisImmunisation: The Reality behind the Myth, tapi kutipan di atas adalah bagian pidatonya di hadapan The Medical Freedom Society (komunitas pengobatan alternatif lain) pada tanggal 25 Juni 1937 (3 tahun sebelum meninggal beneran, sudah tua bangeet, bayangkan baru sampai di mana teknologi kita tahun itu) di Pocono, Pennsylvania. Anda dapat dengan mudah mencari pidato epiknya yang mencantumkan quote yang dikopi di atas, pidato yang menjadi semacam kitab suci bagi komunitas anti-vaksin dan pengobatan alternatif

9.     “Rubella Vaccine in Susceptible Hospital Employees, Poor Physician Participation”
OMG, itu adalah kebohongan lain oleh komunitas anti vaksin! publikasi JAMA berjudul “Rubella Vaccine in Susceptible Hospital Employees, Poor Physician Participation”, pada tahun 20 Februari 1981 diambil secara sangat parsial dan sangat didistorsi. Baca keseluruhan artikel asli penelitian tersebut di PubMed pleaseeeee... anda pasti akan tertawa

Itu hanya separuh pembahasan dari lelucon komunitas anti-vaksin. Banyak yang kemudian mencampuradukkan dengan dalil agama, silakan. Tapi ingat juga, karya komunitas anti vaksin yang anda campur adukkan asalnya juga dari mana. Lucu kan, bilang anti Amerika anti Yahudi, anti barat, tapi artikel dan penelitiannya yang memperkuat dalil ngopi juga dari sana. Harus terbuka juga, bagaimana bila ternyata para komunitas anti-vaksin tersebut justru yang berupaya melemahkan bangsa kita, justru berkebalikan dengan yang selama ini anda pikirkan. Pertanyaannya kemudian mudah, referensi sebenarnya gampang di cari, kalau memang ada bukti mari berdebat secara ilmiah, jangan langsung percaya sama artikel yang darimana entah kemana tujuannya.

Tunggu paruh kelanjutan artikel yang menguncang iman dan menggoyahkan nalar (halah) ini setelah muncul mood saya untuk menulis lagi ;)

Best regards,
Julian Sunan

Senin, 15 Juli 2013

Dilema: Jadi Dokter atau Dosen? (part1)

Bismillahirrohmaanirrohiim...
Sebenarnya dua hal di atas merupakan sesuatu yang tak pernah terfikirkan olehku, namun ternyata saat ini saya menjalani keduanya.
Nah, kemarin saya iseng melakukan survei melalui twitter dan BBM, "Manakah yg harus ditinggalkan antara dosen dan dokter?"

Inilah beberapa hasil polling twitter, kebanyakan responden adalah laki-laki:
"Tinggal kan sj dosen, lebih baik fokus ke dokter. Seiring perjalann waktu hetti akan mnjadi dosen min bwt diri sndiri n kelrga"

"Kenapa tidak keduanya? Kalo saya melihat dokter yang bukan dosen kurang update sedangkan dosen yang bukan dokter kurang klinis"

"Dijalani 22 nya kak"

"dosen aja. Lebih cocok jd dokter keknya :D"

Dan ini hasil melalui BBM, sengaja saya pilihkan responden para ibu rumah tangga (IRT) yang saat ini menggeluti dosen dan mengesampingkan profesi dokternya:
"Awalnya tidak kepikiran u jd dosen, tetapi setelah dijalani ternyata nyaman dan lebih cocok ke nurani. Memang kebanyakan org awan pasti menyuruh memilih dokter, orang tua pun memaksa untuk praktek. Tapi aku lebih nyaman jadi dosen, bs bareng suami dan anakku lebih lama.Tapi sekali lagi itu konsekuensi yg harus diterima. Toh ilmu kita kepake ngajar itu jd ilmu yg bermanfaat, salah satu amalan yg tidak pernah putus meskipun kita telah tiada."

"Jadi dosen lebih nyantai, nek jaga klinik iku terikat waktu, selain itu jadi dosen bikin awet muda."

"karena aku suka ngajarin org di jaman kuliah, maka aku memilih jadi dosen. Kalo jaga klinik semua jenisnya sudah dijalani, mulai ptt, jaga RS, klinik di rumah. Ndak suka pacuan adrenalinnya. selalu deg2an nunggu kasus yg datang. Kalo jaga RS bs dipanggil sewaktu-waktu ninggalin keluargamu. Kalo ngajar, ilmu yg sama bisa difikir pelan dan tenang. Kalo aku memilih jd dosen atau jaga praktek yg tidak terikat institusi spt buka praktek d rumah, tapi jeleknya praktek di rumah itu sama aja, pasien dtg sewaktu2, ndak profesional. Lagi asyik2 main sama anak2, sdh jelas ditulis hari libur, ttp aja datang. Ya itu memang sudah konsekuensi jd dokter, tapi kalau sdh urusan keluarga itu jadi prioritas utama. Karena pernah pasien dtg saat aku sedang menyusui anakku, ya sdh aku tinggal si anak dan dia nangis.. jadi ga tega, makanya drpd jatuhnya tidak ikhlas menolong pasien lebh baik ditutup saja."

"Ya tentu dokter yg dtinggalkan itulah makanya berhenti dr praktek. Dokter waktu kerjanya ga jelas, siang, sore, malam, ga bisa dalam keadaan lelah, kerjaannya beresiko. Sedangkan pekerjaan IRT juga waktunya ga jelas, ketika anak masih kecil ya begadang, kalau praktek pulang ke rumah bawa kuman. Tapi kalau ngajar waktu bisa di atur, jam bs disesuaikan."

Sedangkan jawaban dari teman laki-laki yang profesinya dokter:
"Aku mau istriku mengurus anak-anaknya, makanya aku ga mau punya istri dokter dek, beban ke ortunya, masa iya mereka sudah menyekolahkan mahal-mahal, kita larang anaknya untuk jadi dokter. Jadi amannya mencari yg non dokter."

"Istriku aku suruh berhenti praktek, buat apa? uang nya ga seberapa, badannya capek, kasihan, belum lagi harus ngurusin rumah dan aku. Biar aku saja yg praktek, banting tulang cari uang."

"yah suruh berhenti praktek lah, urus anak-anak, percuma ibu bapaknya dokter, berpendidikan tinggi kalau anaknya di urus dg pembantu yg SD aja ga tamat, mau jadi apa anaknya?"

Nah, kalo para pembaca (khususnya yang sedang menggeluti bidang yang sama) gimana nih? Mengalami juga dilema yang dirasakan teman saya ini? :)

-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ini hasil tulisan dari dr. Hetty dengan pengeditan seperlunya, bisa langsung dicek di TKP berikut...
http://www.sakura21saa.com/2013/03/antara-dokter-dan-dosen.html#.Ud7Vt6x34oE

Sabtu, 22 Juni 2013

Apel Dapat Membersihkan Batu Empedu: Mitos atau Fakta?

Wike Astrid Cahayani

Sebagai lanjutan dari artikel yang saya tulis sebelumnya tentang penyakit batu empedu, saya ingin menguraikan sedikit hal mengenai aspek penanganan batu empedu. Dalam artikel sebelumnya, saya sempat menuliskan terdapat tiga jenis tatalaksana yang dapat dilakukan untuk mengeliminasi batu empedu, yaitu prosedur bedah (laparoskopik), penggunaan shockwaves untuk menghancurkan batu, serta obat-obatan atau zat pelarut batu. Pilihan bedah laparoskopik saat ini merupakan prosedur yang paling direkomendasikan untuk menghilangkan batu empedu. Akan tetapi, mungkin bagi sebagian orang prosedur ini tetaplah terasa horor dan menyakitkan, sehingga acapkali mereka berusaha mencari prosedur lain yang dianggap lebih tidak invasif namun efektif. Salah satu yang sering kita dengar adalah pemanfaatan terapi alternatif, seperti pijat refleksi, akupuntur, bekam; atau penggunaan obat-obatan herbal dan pembenahan pola nutrisi.

Dari sejumlah pengobatan alternatif dan pendekatan nutrisi yang saya ketahui, salah satu yang paling populer di mesin pencari saat ini adalah pembersihan batu empedu menggunakan jus buah apel segar selama kurun waktu tertentu. Berikut prosedur pembersihannya menurut beberapa sumber (yang lebih nge-trend dengan istilah gallbladder flush atau liver flush atau liver cleansing):
 1. Selama lima hari berturut-turut, Anda diharapkan meminum empat hingga lima gelas jus buah apel segar setiap hari, atau makanlah empat atau lima buah apel segar, tergantung selera Anda. Jenis apelnya bisa apel yang mana saja, tapi ada yang menyarankan apel  yang terasa agak masam dan airnya tidak terlalu banyak (tidak juicy). Apel berkhasiat melembutkan batu empedu*. Selama masa ini, Anda boleh makan seperti biasa.
2. Pada hari ke-enam jangan makan malam. Jam 6 petang, aduklah satu sendok teh garam Inggris (magnesium sulfat) dengan segelas air hangat. Jam 8 malam lakukan kembali hal yang sama. Magnesium sulfat berkhasiat membuka pembuluh-pembuluh kandung empedu*. Jam 10 malam, campurkan setengah cangkir teh minyak zaitun (atau minyak wijen) dengan setengah cangkir sari jeruk segar (ada yang menggunakan perbandingan minyak zaitun : jus jeruk/jus lemon = 2/3 cup : 1/3 cup). Aduklah secukupnya sebelum diminum. Jus jeruk atau jus lemon dapat menghilangkan rasa mual saat meminum minyak zaitun dalam jumlah besar. Minyak zaitun sendiri diklaim dapat melumasi batu-batu empedu yang berguna untuk melancarkan keluarnya batu empedu*.
3. Setelah meminum ramuan tadi, Anda disarankan untuk tidur dan berbaring miring sebelah kiri (ada sumber lain yang menyebutkan sebelah kanan). Keesokan harinya, Anda mungkin akan mengalami mulas sepanjang hari dan akan ke belakang selama beberapa kali. Menurut beberapa sumber dan beberapa herbalis, hal itu wajar dan merupakan proses detoksifikasi*. Pada umumnya, seseorang yang menjalani terapi ini akan menemukan “batu-batu” berwarna kehijauan dalam limbah BAB yang biasanya mengambang.

Dari uraian tersebut, terdengar lebih menarik, sederhana, murah, mudah, serta aman dibandingkan prosedur bedah yang lebih invasif. Cara tersebut juga memiliki kelebihan karena langsung “terlihat hasilnya” setelah meminum campuran garam Inggris-jus jeruk-minyak zaitun. Akan tetapi, karena latar belakang pendidikan saya mengharuskan segala informasi kesehatan selayaknya berbasis bukti dan dapat dipertanggungjawabkan, hal ini kemudian mendorong saya untuk mencari sumber-sumber lain yang juga akurat dan berimbang (hehe, #smile#).

Alhasil, dari beberapa search engine dan juga journal search engine, saya menemukan beberapa artikel dan jurnal penelitian yang membahas mengenai pemanfaatan buah apel untuk menghilangkan batu empedu (ataupun melembutkan batu, whatever). Akan tetapi, setelah saya baca-baca lagi, ternyata tidak semua sumber tersebut didasarkan pada prosedur baku penelitian ilmiah, namun beberapa hanya berdasar pada pengalaman pribadi yang kurang lebih sama dengan uraian saya di atas. Begini kisahnya….

Salah satu jurnal keluaran Lancet tahun 1999 (kurang tepat sih kalo disebut jurnal, mungkin bagi kita ini lebih seperti surat pembaca, dan yang nulis kebetulan adalah praktisi kesehatan) menyatakan bahwa salah seorang wanita telah mencoba terapi jus apel tersebut dan berhasil menemukan ‘bebatuan kehijauan’ keesokan pagi pada BABnya. Setelah dikonfirmasi di rumah sakit pendidikan daerah setempat, batu tersebut dinyatakan sebagai ‘batu lemak’ (fatty stones). Batu lemak di sini dimaksudkan sebagai benda-benda kecil yang berbentuk seperti batu dengan  lemak sebagai komposisi utamanya. Akan tetapi, tidak ada statement dari RS yang menyatakan bahwa batu lemak tersebut adalah batu empedu.

Lalu, demi mendapatkan hasil pembanding terhadap testimoni tersebut, terdapat beberapa penelitian lain yang coba melakukan hal yang sama. Salah satu hasil penelitian mengemukakan bahwa hasil pemeriksaan mikroskopik terhadap pasien batu empedu yang diterapi dengan jus apel (dengan cara yang sama), menunjukkan bahwa “batu-batu” yang keluar bersama BAB sama sekali tidak mengandung struktur kristal dan mencair menjadi suatu cairan hijau berminyak setelah 10 menit berada dalam suhu 40°C. Melalui suatu metode pemeriksaan kimiawi, “batu-batu” tersebut juga terbukti tidak mengandung kolesterol, bilirubin, maupun kalsium yang biasanya terkandung dalam batu empedu. Di samping itu, 75% materi yang mendominasi “batu-batu”  tersebut adalah asam lemak. Nah, peneliti kemudian melakukan eksperimen lain dan menemukan bahwa apabila kita mencampur suatu volume yang sama dari asam oleat (komponen utama dalam minyak zaitun) dengan jus lemon dan sedikit larutan kalium hidroksida, akan menghasilkan beberapa bentukan bola-bola kecil keputihan yang sifatnya padat. Jika bola-bola tersebut dikeringkan pada suhu kamar, maka akan semakin padat dan mengeras mirip batu.

Para peneliti tersebut kemudian menyimpulkan bahwa “batu-batu hijau” yang keluar bersama BAB merupakan hasil kolaborasi dari enzim lipase dan campuran triasilgliserol (lemak) dari minyak zaitun, yang kemudian menghasilkan asam karboksilat rantai panjang. Proses tersebut berlanjut dengan reaksi saponifikasi yang kemudian menghasilkan bentukan misel besar dari potassium carboxylates atau “soap stones (potassium ditemukan dalam jus lemon dengan kadar yang tinggi).

Well, gampangnya sih…, jika kita mengkonsumsi regimen terapi yang terdiri atas jus lemon dan minyak zaitun (terlebih dalam jumlah besar, seperti yang disarankan pada terapi alternatif di atas), lalu kita meminum semacam obat pencahar, alhasil di BAB kita akan ada sekumpulan benda asing yang tampak seperti batu-batu kehijauan. Namun, sekalipun kita tidak mengkonsumsi apel, yaitu hanya dengan minum jus lemon dan minyak zaitun, hampir bisa dipastikan bakal ada ‘batu-batu’ tersebut. Nah… inilah yang sebenarnya terjadi, batu-batu itu bukanlah batu yang berasal dari batu empedu, tapi hanyalah hasil reaksi jika jus lemon bertemu dengan minyak zaitun. Berikut saya sajikan gambar si batu yang dari tadi jadi bahan perbincangan kita:
 (Atas) ‘Batu-batu’ kehijauan dari limbah BAB pasien yang mengkonsumsi jus lemon dan minyak zaitun. (Bawah) Batu empedu yang diperoleh dari hasil operasi. (http://www.lancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736%2805%2966373-8/fulltext)

Oia, ada beberapa hal yang agak menggelitik saya tentang beberapa kalimat dalam panduan terapi alternatif jus apel di atas. Ijinkan saya sedikit berkomentar… :)
*Apel berkhasiat melembutkan batu empedu.
Sejauh ini belum ada penelitian yang sampai pada kesimpulan pasti bahwa apel dapat menghancurkan ataupun melembutkan batu yang terdapat dalam kandung empedu. Jikapun memang ada dan bisa demikian, mekanismenya secara jelas tentu perlu kita ketahui bukan?
*Magnesium sulfat berkhasiat membuka pembuluh-pembuluh kandung empedu.
Magnesium sulfat atau yang lebih populer dengan istilah garam Inggris, merupakan salah satu jenis obat pencahar atau pelancar BAB. Tokcer dah buat yang lagi sembelit J. Tapi kalau untuk membuka pembuluh kandung empedu? Hmm, jelas saya meragukan hal tersebut. Pembuluh apa nih yang dimaksud? Jika melihat konteks kalimatnya sih mungkin dimaksudkan si garam Inggris ini bisa membuka saluran antara kandung empedu dengan usus 12 jari atau duodenum, sehingga si batu diharapkan bisa ‘meluncur’ dan keluar melalui usus, hingga akhirnya keluar bersama limbah BAB. Tapi, faktanya saluran yang disebut sebagai duktus koledokus tersebut dalam kondisi normal memang selalu terbuka. Jadi, kurang tepat jika fungsinya untuk itu.
*Minyak zaitun sendiri diklaim dapat melumasi batu-batu empedu yang berguna untuk melancarkan keluarnya batu empedu.
Belum ada informasi valid yang menyatakan bahwa batu empedu dapat dengan sendirinya melewati saluran empedu lalu menuju usus, apalagi dipermudah dengan minyak zaitun. Malah adakalanya batu yang melewati saluran empedu dapat menyumbat dan menyebabkan gejala nyeri hebat di perut yang disebut sebagai kolik bilier. So, kurang masuk akal juga sih jika minyak zaitun dapat ‘melumasi’ batu.
*detoksifikasi
Secara pribadi, saya kurang setuju jika istilah ini dipakai untuk proses yang menurut saya lebih tepat disebut sebagai kondisi yang mendekati diare. Terlebih apabila setelah meminum regimen terapi tersebut, pasien jadi bolak-balik ke belakang hingga jatuh dalam keadaan dehidrasi. Tentunya hal tersebut kurang tepat jika dimaknai sebagai detoksifikasi.

Kesimpulannya, informasi mengenai apel yang mampu menghancurkan batu empedu merupakan mitos belaka. Buah apel, minyak zaitun, dan jus lemon memang jelas bermanfaat baik bagi tubuh. Tetapi, alangkah baiknya segala yang baik tidak dikonsumsi secara berlebihan. Hal yang dapat kita lakukan saat ini adalah dengan mengatur pola hidup sehat, yaitu makan makanan bergizi dan seimbang, istirahat dan berolahraga secara teratur. Kalaupun kita curiga apakah kita memiliki batu empedu atau tidak, sebaiknya dikonsultasikan dengan orang-orang yang ahli di bidangnya, misalnya dokter umum dan juga dokter spesialis penyakit dalam atau bedah. 

Semoga sekelumit informasi ini berharga untuk Anda. Bersikap kritis dan bijaksana dalam menyerap informasi kesehatan tentu tidak ada ruginya. Tetap sehat dan tetap semangat :)