Wike Astrid Cahayani
Sistem saraf merupakan
salah satu sistem yang bertanggung jawab dalam pengaturan fungsi tubuh.
Sebagaimana sistem tubuh lainnya, sistem saraf juga dibangun oleh sel sebagai
satuan unit terkecilnya, yang disebut sebagai sel neuron. Sel neuron merupakan
unit fungsional dasar dari sistem saraf yang bertugas menerima dan meneruskan
sinaps, sehingga tercapai komunikasi dan interaksi antara individu dengan
lingkungan sekitarnya (Guyton dan Hall, 2007).
Selain neuron, terdapat
sel-sel lain yang membantu memenuhi peran sistem saraf sebagai pengatur fungsi
tubuh, yang disebut sebagai sel neuroglia (sel glia). Sel glia berperan penting
dalam sistem saraf, antara lain menyokong terjadinya homeostasis, fiksasi bagi
sel neuron, memberikan proteksi, serta suplai nutrisi dan oksigen pada sel
neuron. Dibandingkan sel neuron, jumlah sel glia lebih mendominasi di sistem
saraf pusat, di mana jumlahnya dapat mencapai 90% dari seluruh sel saraf.
Meskipun demikian, oleh karena berukuran relatif lebih kecil dan tidak memiliki
akson dan dendrit sebanyak sel neuron, sel glia hanya memenuhi sekitar separuh
dari volume otak (Purves et al., 2001).
Selama lebih dari
seratus tahun, para peneliti memahami bahwa sel glia berbeda dari sel neuron
oleh karena sel glia tidak berpartisipasi langsung dalam penghantaran sinaps.
Akan tetapi, terdapat penelitian pada tahun 2010 yang menyimpulkan bahwa sel
glia (astrosit) juga berperan dalam mengontrol fisiologi pernapasan (Gourine et al., 2010), serta membantu terbentuknya koneksi sinaps antar sel neuron
(Wolosker et al., 2008).
Pada sistem saraf pusat
terdapat beberapa macam sel glia, antara lain astrosit, oligodendrosit,
mikroglia, dan sel ependimal (ependimosit). Ependimosit merupakan sel-sel yang melapisi
ventrikel otak yang berisi cairan serebrospinal dan kanalis sentralis medula
spinalis (Li et al., 2009).
Ependimosit berbentuk kuboid atau kolumner dan terdapat silia pada bagian
apikalnya, di mana silia tersebut membantu sirkulasi cairan serebrospinal yang
beredar di sistem saraf pusat. Di samping itu, juga terdapat mikrovili pada
bagian apikalnya yang berfungsi mengabsorbsi cairan serebrospinal. Selain
bertugas mengatur dan mengabsorbsi, sekelompok ependimosit bersama dengan
kapiler darah membentuk suatu sistem yang disebut sebagai pleksus koroid yang
dapat memproduksi cairan serebrospinal (Guyton dan Hall, 2007).
Oleh karena berperan
sebagai barier antara cairan serebrospinal dengan darah, dibutuhkan suatu
mekanisme yang dapat mempertahankan integritas ependimosit dengan baik.
Integritas ependimosit ini sangat bergantung pada organisasi unik yang dibangun
oleh mikrofilamen (Li et al., 2009).
Adanya defek pada mikrofilamen akan menyebabkan gangguan pada fungsi
ependimosit sebagai epitel pada ventrikel maupun kanalis sentralis. Sementara
itu, filamen aktin (F-actin) telah
diketahui sebagai komponen utama dari mikrofilamen. Pada level mikroskop
cahaya, baik filamen aktin maupun monomernya, sebagian besar terdeteksi pada
bagian apikal dari ependimosit. Jalinan filamen aktin apikal tersebut
menampakkan adanya perbedaan dari aspek regional yang terkait dengan bentuk,
ukuran, dan perkembangan ependimosit (Li et
al., 2007, 2008). Namun, oleh karena minimnya lokalisasi filamen aktin yang
sifatnya presisi pada ependimosit, mengakibatkan peran filamen aktin pada
ependimosit masih menjadi sebuah teka-teki.
Untuk mengetahui peran
filamen aktin pada ependimosit, Li dan kolega (2009) meneliti tentang
lokalisasi filamen aktin dan relasi spasial antara filamen aktin dengan
komponen sitoskeleton lain pada ependimosit. Akan tetapi, selain karena
ukurannya yang relatif kecil dan sensitivitasnya terhadap proses fiksasi dan
dehidrasi, adanya komponen sitoskeleton yang sangat berlimpah dalam suatu sel
mengakibatkan filamen aktin menjadi sangat sulit dipelajari. Untuk mengatasi
hal tersebut, Li dan kolega (2009) menggunakan suatu metode deteksi yang
menggabungkan pelabel fluoresen FITC (Fluorescein isothiocyanate) dengan
phalloidin, di mana phalloidin telah dikenal sebagai penanda filamen aktin
dengan spesifisitas yang sangat tinggi. Li dan kolega (2009) menerapkan metode
imunohistokimia dengan penggunaan FITC-phalloidin dan antibodi terhadap FITC
(anti-FITC) karena material dan protokol tersebut dapat diterapkan pada pengamatan
dengan mikroskop cahaya maupun mikroskop elektron.
Metode Penelitian Li et al. (2009)
·
Hewan coba
Hewan coba yang
digunakan adalah tikus Sprague-Dawley
berjenis kelamin betina dan berjumlah tujuh ekor. Penggunaan hewan coba dalam
penelitian telah memenuhi kelaikan etik dari institusi yang bersangkutan.
·
Pengamatan dengan Mikroskop Fluoresen
Metode imunohistokimia
diterapkan pada preparat jaringan tikus yang mengandung ependimosit dan pleksus
koroid. Antibodi primer yang digunakan adalah antibodi monoklonal
anti-α-tubulin yang mendeteksi mikrotubulus, antibodi monoklonal anti-vimentin
yang mendeteksi filamen intermediet vimentin, antibodi poliklonal (guinea pig) terhadap sitokeratin 8/18,
dan antibodi monoklonal anti-pan sitokeratin. Bufer fosfat (PB) 0,1 M digunakan
sebagai kontrol terhadap antibodi primer.
Adapun antibodi
sekunder yang digunakan adalah antibodi sekunder yang dikonjugasikan dengan
probe Alexa Fluor, yang meliputi Alexa 594-goat
anti-guinea pig IgG antibody yang mendeteksi anti-sitokeratin 8/18 guinea pig, serta Alexa 594-goat anti-mouse IgG antibody yang
mendeteksi antibodi monoklonal anti-α-tubulin, antibodi monoklonal
anti-vimentin, dan anti-pan sitokeratin. Selanjutnya, diaplikasikan
FITC-phalloidin selama satu jam, kemudian direaksikan dengan 4-6-diamidino-2-phenylindole
(DAPI) yang digunakan untuk mewarnai nukleus.
Preparat kemudian di-mounting dengan Immu-Mount dan diperiksa dengan laser
scanning confocal microscope dengan panjang gelombang 358 nm untuk DAPI,
488 nm untuk FITC, dan 594 nm untuk Alexa 594 nm.
·
Pengamatan dengan Mikroskop Elektron
Transmisi
Pada pengamatan
preparat tikus dengan mikroskop elektron, digunakan metode avidin-biotin-peroxidase complex (ABC method). Sebelum dibloking dengan larutan yang mengandung bovine serum albumin (BSA), diberikan
perlakuan dengan 3% H2O2 pada preparat untuk
menghilangkan peroksidase endogen. Setelah proses bloking, preparat diinkubasi
dengan FITC-phalloidin. Kemudian, preparat di-mounting dan diperiksa dengan laser
scanning confocal microscope dengan panjang gelombang 488 nm.
Selanjutnya, preparat
dibilas dengan PB dan dipindahkan dari kaca objek. Sampel diinkubasi dengan
anti-FITC yang dikonjugasikan dengan biotin selama 2 hari dan dilanjutkan
dengan metode ABC selama 1 jam. Setelah itu, diberikan substrat DAB agar
terjadi aktivitas peroksidase.
Beberapa preparat yang
terwarnai melalui pemberian DAB difiksasi dengan glutaraldehid yang mengandung
asam tannit, kemudian difiksasi dengan OsO4. Perlakuan tersebut
bermanfaat melindungi filamen aktin dari destabilisasi selama proses osmikasi
dan dehidrasi. Selanjutnya, preparat yang terwarnai oleh DAB dan prreparat yang
tidak terwarnai didehidrasi dengan ethanol.
Kemudian, kedua jenis preparat
tersebut dipotong dengan ultramikrotom. Preparat yang tidak terwarnai akan
diwarnai dengan 4% uranil asetat dan 0,3% sitrat, lalu diperiksa dengan
mikroskop elektron transmisi. Adapun sampel yang terwarnai oleh DAB juga
diperiksa dengan mikroskop elektron transmisi tanpa kontras logam berat.
Hasil Penelitian Li et al. (2009)
·
Pengamatan dengan Mikroskop Fluoresen
terhadap Filamen Aktin, Mikrotubulus, dan Filamen Intermediet di Ependimosit
Gambar 1. Hasil pengamatan dengan mikroskop
fluoresen yang menggambarkan lokalisasi filamen aktin, α-tubulin, dan vimentin
di kanalis sentralis.
Dari gambar 1A dan 1D, terlihat bahwa region apikal
ependimosit pada kanalis sentralis terwarnai dengan jelas dengan pewarnaan FITC-phalloidin.
Filamen aktin tampak membentuk struktur seperti cincin di bagian apikal
ependimosit, sedangkan bagian lateral sel tampak kurang memberikan sinyal
fluoresen.
Pada gambar 1 B,
α-tubulin di kanalis sentralis terdominasi di protrusi sitoplasma ependimosit. Pelabelan ganda menunjukkan bahwa
struktur yang menonjol ke dalam lumen tersebut tidak mengandung filamen aktin
(Gambar 1C). Sitokeratin tidak
menunjukkan adanya reaksi imunohistokimia di kanalis sentralis terhadap anti-sitokeratin
8/18 maupun anti-pan sitokeratin (data tidak ditampilkan). Sebaliknya, vimentin ditemukan sebagai
komponen filamen intermediet yang utama (Gambar 1E). Filamen vimentin yang terletak di
regio apikal juga terlihat melingkar dengan filamen aktin, dan sebagian tampak tumpang
tindih dengan cincin filamen aktin (Gambar 1F). Bundel filamen vimentin tampak
seperti struktur akar yang menyebar dari regio apikal ke zona subependimal.
Pada pleksus koroid, pewarnaan FITC-phalloidin
menunjukkan gambaran sabuk cerah halus dan tidak terputus sepanjang perbatasan
apikal (Gambar 2A dan 2D). Sitoplasma dari ependimosit tampak kurang terwarna, namun
terdapat beberapa sinyal fluoresensi di stroma pleksus koroid. Sitoplasma perinuklear
dari ependimosit pada pleksus koroid terlabel dengan anti-α-tubulin secara
intens (Gambar 2B), tetapi protrusi untuk α-tubulin tampak kurang terlihat pada
permukaan luminal dari pleksus koroid (Gambar 2C). Sitokeratin 8/18 ditemukan sebagai komponen
utama filamen intermediet pleksus koroid, dan terlokalisasi dalam sitoplasma
perinuklear ependimosit koroid (Gambar 2E). Di
sisi lain, sinyal positif bagi vimentin hanya teramati pada stroma tapi tidak teramati
di ependimosit koroid (data tidak ditampilkan). Pelabelan ganda menunjukkan
bahwa α-tubulin dan sitokeratin terdistribusi di bawah jaringan filamen aktin
apikal, dengan co-lokalisasi parsial filamen aktin di bagian perinfer jaringan filamen
aktin apikal (Gambar 2C dan 2F).
Gambar 2. Hasil pengamatan dengan mikroskop fluoresen yang menggambarkan lokalisasi filamen aktin, α-tubulin, dan vimentin di pleksus koroid.
·
Lokalisasi Filamen Aktin di Ependimosit
yang Terdeteksi Melalui Mikroskop Elektron Transmisi
Melalui
metode berbasis FITC-phalloidin dan anti-FITC, pelabelan fluoresensi dari filamen
aktin yang dikonversi menjadi produk reaksi DAB dapat diamati dengan mikroskop
cahaya. Distribusi keseluruhan produk reaksi untuk filamen aktin sejalan
dengan yang diperoleh dari hasil pewarnaan FITC- phalloidin dan hasil
pengamatan dengan mikroskop konfokal (Gambar 3 dan 4). Kekhasan konversi
ini selanjutnya dikonfirmasikan dengan menghilangkan FITC-phalloidin (Gambar 3A
dan 3E) atau dengan menghilangkan anti-FITC (Gambar 3B dan 3F) dalam prosedur imunositokimia. Wilayah
apikal ependimosit hasil reaksi peroksidase/DAB terlabel secara intens, baik pada
kanalis sentralis (Gambar 3) maupun pleksus koroid (Gambar 4). Seperti yang
diamati dengan mikroskop konfokal, bagian lateral sel pada kanalis sentralis menunjukkan
pewarnaan yang kurang intens. Hampir tidak ada perbedaan yang bermakna
dalam distribusi filamen aktin yang terlihat pada sampel dengan perlakuan H2O2
(Gambar 3C dan 3G) maupun tanpa H2O2 (Gambar 3D dan 3H), meskipun
penggunaan H2O2 masih sering digunakan dalam prosedur
imunositokimia. Oleh karena itu, hasil yang diperoleh dari sampel tanpa perlakuan
H2O2 juga ditampilkan dalam penelitian Li et al. (2009).
Gambar 3. Perbandingan pewarnaan filamen aktin di kanalis sentralis dengan pengamatan mikroskop fluoresen dan mikroskop cahaya.
Gambar 4. Perbandingan pewarnaan filamen aktin di
pleksus koroid dengan pengamatan mikroskop fluoresen dan mikroskop cahaya.
Di bawah mikroskop elektron, produk reaksi untuk filamen
aktin terutama terlokalisasi pada daerah apikal di kanalis sentralis (Gambar
5). Mikrovili terlabel secara dari ujung bawah ke dalam sitoplasma
apikal. Di bawah mikrovili, ada jaringan filamen aktin yang terlabel
secara intens dan tampak melingkar, berhubungan dengan sitoplasma melalui intermediet junctions (Gambar 5A, 5C,
dan 5D). Daerah sitoplasma dari intermediet
junctions menunjukkan adanya penebalan berwarna gelap (panah dalam Gambar
5D).
Gambar 5. Lokalisasi ultrastruktural filamen aktin
di kanalis sentralis dari hasil pengamatan dengan mikroskop elektron.
Dengan membandingkan gambar hasil pengamatan
mikroskop fluoresen dan mikroskop elektron, jaringan filamen aktin yang tampak
melingkar, yang disebut terminal web,
terlihat sebagai struktural yang ekuivalen (dari batas luar cincin filamen
aktin), sedangkan lebar cincin filamen aktin terbukti sebagai jarak antara terminal web dengan ujung mikrovili
melalui pengamatan mikroskop cahaya (Gambar 5A dan 5B).
Tidak
seluruh sitoplasma antara mikrovili dan terminal
web terlabel sempurna. Bagian distal dari silia yang menonjol ke lumen
tampak kurang terwarna (Gambar 5A), tetapi basal
bodies tampak terwarna gelap (Gambar 5C). Filamen intermediet tidak terlabel,
tetapi filamen intermediet sering ditemukan
terhubung dengan bundel filamen aktin (Gambar 5D).
Gambar 6 (kiri): Hasil pengamatan kontrol negatif
dengan mikroskop elektron. Tidak tampak adanya pelabelan pada regio apikal di
kanalis sentralis dari kontrol negatif. Gambar 7 (kanan): Hasil pengamatan dengan
mikroskop elektron yang menunjukkan daerah kapiler (inset). Pelabelan filamen
aktin secara intens terlihat kontinyu di sepanjang tepi luminal dari sel
endotel (panah).
Di sisi lain, tidak terlihat adanya pelabelan pada
kontrol negatif, meskipun terminal web
juga terlihat di daerah apikal kanalis sentralis (Gambar 6).
Pembuluh darah dengan berbagai ukuran tampak pada substansia nigra korda
spinalis, yang menunjukkan pelabelan filamen aktin yang sempurna di bawah
mikroskop konfokal, sehingga digunakan sebagai kontrol positif. Pengamatan
kapiler di tingkat ultrastruktural mengungkapkan pewarnaan yang kontinyu dan
intens di tepi luminal dari sel endotel (Gambar 7).
Pada pleksus koroid,
mikrovili terlabel secara intens, sedangkan di sebagian sitoplasma tampak
kurang terwarna dengan baik (Gambar 8A). Ependimosit koroid yang ditandai
dengan sejumlah besar mikrovili pleomorfik, memperlihatkan adanya bulatan pada
bagian ujung apeks. Filamen aktin terlihat di sepanjang mikrovili, tapi lebih sering
tidak tampak pada bulatan di bagian ujung apeks. Silia jarang
ditemui. Meskipun ada pewarnaan yang tidak sempurna yang memperluas gambaran
mikrovili, tidak ada terminal web
yang cukup teramati di bawah mikrovili (Gambar 8B dan 8C). Hasil tersebut
juga telah dikonfirmasi dengan kontrol negatif (Gambar 8D).
Gambar 8. Hasil pengamatan dengan mikroskop elektron
menunjukkan lokalisasi filamen aktin pada pleksus koroid.
Dari hasil penelitian
Li et al. (2009) dapat disimpulkan
bahwa terdapat beberapa perbedaan pada komposisi sitoskeleton dan organisasi
dalam dua jenis sel (ependimosit di kanalis sentralis dan ependimosit di
pleksus koroid). Pertama, ependimosit
di kanalis sentralis hanya berisi vimentin tetapi tidak sitokeratin, sehingga
membedakannya dari ependimosit koroid, meskipun kedua sitokeratin 8/18 dan
vimentin pernah dilaporkan terdapat pada dinding ventrikel serebral tikus. Vimentin
tersusun sebagai jaringan yang terpolarisasi di sekitar kanalis sentralis,
sedangkan sitokeratin tampak lebih merata di sitoplasma perinuklear ependimosit koroid. Perbedaan kedua adalah protusi yang
tersusun dari mikrotubulus jumlahnya jauh lebih berlimpah di kanalis sentralis,
tetapi tidak didapatkan pada pleksus koroid. Hal
ini sejalan dengan fakta bahwa ependimosit koroid memiliki silia yang lebih
sedikit dibandingkan ependimosit kanalis sentralis. Selain itu, meskipun filamen aktin
terlokalisir terutama di sitoplasma apikal ependimosit, apikal filamen aktin di
kanalis sentralis memiliki gambaran seperti cincin, sedangkan filamen aktin di pleksus
koroid tampak sebagai organisasi yang halus dan tidak terputus.
Pada akhirnya,
penelitian Li et al. (2009) telah
menunjukkan gambaran ultrastruktural dari filamen aktin pada kanalis sentralis
yang berhubungan dengan intermediate
junctions di antara sel-sel yang berdekatan. Jaringan filamen aktin
tersebut disokong oleh filamen intermediet yang tersusun dari vimentin. Penelitian
Li et al. (2009) juga menyimpulkan
peran dari filamen aktin yang berada pada sisi apikal. Bersama dengan filamen
intermediet, filamen aktin dapat mentransmisikan tegangan dari satu sel ke sel
yang lain, sehingga berperan dalam mempertahankan integritas struktural dari kanalis
sentralis.
Dari segi metode,
penelitian Li et al. (2009) merupakan
penelitian yang menarik oleh karena menggabungkan pengamatan mikroskop cahaya,
mikroskop fluoresen, dan mikroskop elektron transmisi. Di samping itu, prosedur
imunohistokimia yang digunakan dalam penelitian diuraikan dengan sangat detail,
sehingga memudahkan peneliti lain untuk menggunakan metode yang sama maupun
melakukan modifikasi terhadap metode yang digunakan. Penelitian ini tidak hanya
menyimpulkan dari segi struktur sitoskeleton yang menyusun ependimosit di
kanalis sentralis maupun pleksus koroid, tetapi juga berusaha mengaitkan hasil
penelitian dengan teori-teori yang sudah ada mengenai kemungkinan peran dari
filamen aktin pada ependimosit, sehingga hal ini menjadi nilai tambah bagi
penelitian Li et al. (2009).
Referensi:Guyton
A.C. dan Hall J.E. 2007. Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran, Edisi 11. Jakarta: EGC.
Gourine A.V., Kasymov V.,
Marina N., et al. 2010. Astrocytes
control breathing trough pH-dependent release of ATP. Science. 329: 571-575.
Li
Y.C., Bai W.Z., Hashikawa T. 2007. Regionally varying F-actin network in
the apical cytoplasm of ependymocytes. Neurosci
Res 57: 522-530.
Li
Y.C., Bai W.Z., Hashikawa T. 2008. Postnatal reorganization of F-actin in the
central canal of the spinal cord in the rat. Brain Res. 1239: 100-106.
Li
Y.C., Bai W.Z., Sakai K., dan Hashikawa T. 2009. Fluorescence and Electron
Microscopuc Localization of F-actin in the Ependymocytes. J Histochem Cytochem. 57: 741-751.
Purves
D., Augustine G.J., Fitzpatrick D., et
al (eds). 2001. Neuroscience, 2nd
ed. Sunderland (MA): Sinauer Associates.Wolosker H., Dumin
E., Balan L., Foltyn V.N. 2008. Amino acids in the brain: d-serine in
neurotransmission and neurodegeneration. FEBS
J. 275: 3514-3526